spot_img

Politik Upah, Antara Kesejahteraan dan Pemulihan Ekonomi Pasca Pandemi

Oleh: Abdul Haris*

SETIAP tahun, sudah tidak asing lagi di telinga kita mendengar buruh yang menuntut kenaikan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK). Hiruk pikuknya membuat dua sisi: suka dan duka.

Dari sisi suka, para buruh merupakan rakyat kecil yang notabene telah bekerja di sebuah perusahaan, meminta kelayakan atas hasil jerih payah mereka. Sementara dari sisi duka, jika upah ditaikkan, para pengusaha terus memikirkan bagaimana menaikan target penjualan perusahaan.

Sebagai seorang pekerja di salah satu perusahaan yang ada di Tangerang, penulis merasa gembira jika ada buruh yang demo menuntut kenaikan UMK. Walaupun tidak besar, tetapi itu cukup untuk beli susu anak dalam jangka waktu satu minggu ke depan.

Namun, di sisi lain, penulis khawatir terjadi pesimisme terhadap pemilik perusahaan yang ada di area Jabodebek-Banten. Bagaimana jika mereka semua ini pindah ke Jawa Tengah atau Jawa Timur?

Baca Juga

Karena di sana UMK-nya sangat murah, hanya 50% dari Jakarta. Mungkin karena biaya hidup lebih kecil dari kota-kota besar. Lima ribu perak pun bisa mendapatkan satu bungkus nasi putih dilengkapi paha ayam.

Memang betul, jika upah naik maka daya beli masyarakat akan ikut naik pula, dan UMKM nasional akan terbantu. Sehingga lowongan pekerjaan akan terbuka. Sebaliknya , jika upah masyarakat terbilang kecil, daya beli akan berkurang.

Sayangnya ada hal lain yang harus kita pandang bersama sebagai acuan perspektif yang berbeda. Karena sekecil-kecilnya upah buruh, mereka akan tetap membutuhkan sandang dan pangan. Walau cicilan mobil tidak terbayar. Ya begitulah harus ada yang dikorbankan untuk kepentingan yang lebih luas lagi.

Indonesia, khususnya di Jabodebek-Banten sedang mulai bangun dari keterpurukannya akibat dua tahun melawan Covid-19. Maka banyak hal yang harus dibenahi dari sisi ekonomi.

Bukan hanya kenaikan upah agar para buruh dapat hidup lebih layak lagi, tetapi bagaimana para pekerja yang dirumahkan dapat dipanggil kembali oleh perusahaan-perusahaan yang tadinya mem-PHK mereka semua.

Ini juga harus dipikirkan bersama. Sebagai ikhtiar kita membantu saudara-saudari yang masih dirumahkan.

Oleh karena itu, apabila upah tidak dinaikin maka perusahaan yang sudah berpuluhan tahun berbisnis di Jabodebek-Banten akan memikirkan ulang untuk tetap bertahan di sini, di kota industri.

Fokus bersama ialah bagaimana saudara-saudari kita yang sampai sekarang terkena PHK. Atau masih dirumahkan agar kembali bekerja di perusahaan-perusahaan tersebut.

Foto: Ilustrasi UMK (Istimewa).

Langkah Pemerintah dalam Menahan Kenaikan Upah Buruh

Dasar dari tuntutan kenaikan upah itu, bisa jadi timbul karena harga bahan kebutuhan pokok masyarakat naik. Atau bisa jadi masyarakat yang ingin menaikan gaya hidup lebih layak lagi.

Maka dari itu, sembari menunggu perbaikan revisi dari UU Cipta Kerja Tahun 2019 yang sedang dibuat oleh DPR-RI bersama pemerintahan pusat, baiknya seluruh stakeholder yang terkait dalam pengaturan harga bahan-bahan pokok masyarakat harus mencari solusi. Agar tidak terjadi lonjakan harga di tengah-tengah masyarakat.

Pastikan bahwa seluruh harga bahan kebutuhan masyarakat terutama yang dasar itu dapat dijangkau dengan kemampuan masyarakat berdasarkan Upah Minimum Kabupaten/Kota yang mereka dapatkkan saat ini.

Saran ini bukan hanya janji politik yang membual, tapi harus dilaksanakan dengan sebenar-benar oleh pemerintah. Dalam hal ini baik Kementrian Perdagangan melalui Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok (SP2KP), maupun pemerintah daerah atau instansi lain.

Ikhtiar Pengusaha dalam Menangani Kenaikan UMK

Dalam menghadapi buruh yang menuntut kenaikan upah kerja, perusahaan perlu membuat strategi untuk menanggulangi persoalan semacam ini. Misalkan dalam produksi perlu menaikkan target, atau di dalam penjualan perlu menaikkan kualitas barang dan jasa agar bisa menjual lebih mahal dari harga biasa.

Tentu tidak mudah, perlu pertimbangan yang luar biasa oleh manajemen perusahaan. Sebab dampaknya akan merugikan perusahaan apabila semua pelanggannya kabur cari barang dan jasa yang lebih murah. Lagi-lagi itu semua perlu peran tim pemasaran yang bekerja dengan sekuat tenaga.

Atau cara lain yang dapat dicontoh oleh perushaan di Indonesia. Ada kisah dari Seattle Amerika Serikat. Pada tahun 2015, pucuk pimpinan perusahaan pembayaran kartu di Seattle, Amerika Serikat menetapkan seluruh karyawannya yang berjumlah 120 orang harus menerima gaji minimum US$70.000 atau sekitar Rp1 miliar per tahun.

Tapi di Indonesia tidak perlu sebanyak itu untuk membagikan gaji pimpinannya kepada karyawan, cukup 1% atau 2% saja dari gaji pimpinan. Misalkan senilai 50 juta perbulan. Maka tidak menutup kemungkinan para karyawan mengalami kesetaraan ekonomi.

Artinya ada langkah-langkah filantropi dari pimpinan perusahaan apabila ada kelebihan pendapatan dari si pimpinan atau perusahaan itu sendiri. Dalam istilah di beberapa perusahaan, namanya sharing profit.

*Penulis merupakan Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Bima Tangerang. 

Loading

VINUS TV

BERITA TERBARU

IKLAN

spot_img
spot_img

BERITA TERPOPULER

IKLAN

spot_img

BERITA TERKAIT

Mantra Kepemimpinan Dedi Mulyadi

Jebakan Nostalgia Media Sosial

Bahlil dan Polemik Gas Melon

Politik Matahari Kembar

IKLAN

spot_img

SEPUTAR BANTEN

IKLAN

spot_img

SEPUTAR DESA

Masyarakat Pasir Bolang Demo Alfamart