Oleh: EKO SUPRIYATNO, M.Si.,M.Pd.
DARI catatan DMI, tidak ada orang tertular Corona saat di masjid. Orang yang dinyatakan menderita Covid-19 itu sebelumnya sudah terinfeksi di tempat lain dan kemudian masuk ke masjid.
Kepastian tak ada penularan Covid-19 di masjid itu sudah dikonfirmasi pengurus DMI di seluruh Indonesia. Dewan Pengurus Masjid itu melaporkan tidak ada penularan Corona di dalam masjid.
Masjid memang sudah ditetapkan sebagai salah satu klaster penularan Covid-19 karena dianggap sebagai tempat berkumpulnya orang. Namun, masjid selama ini tidak pernah menjadi episentrum atau pusat penyebaran Covid-19.
Kepulauan Riau bersama Yogyakarta dan Bali telah ditetapkan Pemerintah Pusat, sebagai percontohan New Normal. Kepri sendiri akan memulai New Normal dari tempat ibadah.
Selanjutnya, Masjid akan diperbolehkan menggelar shalat berjamaah. New normal dalam arti aktivitas bisa berjalan, tetapi mengikuti pola dan perilaku standar Covid.
Mengapa Masjid?
Di wilayah Indonesia yang hampir dua juta kilometer persegi, dihuni oleh 270 juta jiwa, terdapat kurang lebih 800 ribu masjid dan musala. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan jumlah masjid terbanyak sedunia. Artinya, kalau dirata-ratakan, setiap 220 orang di suatu daerah pasti ada masjid.
Ya, masjid dengan sel-sel jaringan koordinasi yang dimilikinya. Masjid bisa menjadi titik dalam meredam dampak penyebaran virus corona dan membangun daya tahan dan imunitas masyarakat dalam beragam sektor, bisa kesehatan maupun secara ekonomi.
Saatnyalah kini sel-sel jaringan masjid ini bergerak. Bila ada 800 ribu masjid dan musala, berarti ada 800 ribu titik koordinasi dan komunikasi.
Andaikan dari jumlah tersebut hanya 10 persen saja yang bisa diandalkan, itu berarti ada 80 ribu masjid dan musala yang bisa diberdayakan dengan melakukan beragam program melawan Covid-19.
Yang dibutuhkan sekarang adalah menggerakkan 80 ribu masjid atau musala ini dalam satu titik komando dan koordinasi. Ada kepengurusan masjid di dalamnya, ada manajemen pengelolaan masjid yang bisa dimaksimalkan.
Jaringan koordinasi, komunikasi, dan informasi dari satgas masjid ini bertugas mendata warga sekitar masjid yang rentan terdampak Covid-19 secara kesehatan maupun ekonomi.
Dari data yang ada bisa diketahui kekuatan masjid dalam menyalurkan bantuan, termasuk membuat jaringan antarmasjid untuk saling membantu jika dibutuhkan.
Jaringan koordinasi, komunikasi, dan informasi dari satgas masjid ini bertugas mendata warga sekitar masjid yang rentan terdampak Covid-19 secara kesehatan maupun ekonomi. Berikutnya adalah mendata donatur.
Satgas masjid melawan Covid-19 bertugas mencari dan menggalang bantuan. Mana saja warga yang berkemampuan menyumbang dalam bentuk bahan pangan dan sejenisnya. Dari sini kemudian dipikirkan seperti apa manajemen distribusi bantuan yang akan dilakukan.
Masjid juga bisa berperan membangkitkan kesadaran untuk membantu warga yang membutuhkan. Fungsi masjid sebagai titik pasokan dan jaringan distribusi ketahanan pangan pun bisa dilakukan.
Kesadaran yang dibangun tidak hanya melalui skema program melainkan lewat gerakan-gerakan kultural di berbagai aktivitas masjid.
Bukankah kesadaran adalah proses kerja berkelanjutan dan dapat dibangun melalui media apa saja yang memungkin untuk itu, termasuk media masjid. Bangunan kesadaran kultural biasanya lebih kuat dan langgeng dibanding kesadaran program.
Tak kalah penting adalah menjadikan masjid sebagai sumber informasi tentang corona. Pengurus masjid bisa membagikan informasi rutin mengenai pencegahan maupun kiat-kiat dalam meredam penyebaran virus corona. Melek dan sadar informasi apa itu bahaya Covid-19 bisa dimulai dari masjid.
Bukan tak mungkin pula mengalihfungsikan masjid sebagai tempat isolasi mandiri. Sejumlah masjid memiliki ruang aula yang bisa disekat sebagai bilik-bilik perawatan.
Tentu untuk hal ini harus ada koordinasi yang baik dengan rumah sakit terdekat, petugas kesehatan daerah, pimpinan desa, maupun warga sekitar masjid. Protokol dan standar pencegahan Covid-19 harus benar-benar dijalankan bila opsi ini ingin dieksekusi.
Mengubah Persepsi
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengubah persepsi tentang fungsi masjid. Selama ini, masjid hanya dilihat sebagai tempat salat berjamaah. Tempat beribadah bersama dari satu komunitas. Mulai salat Jumat sampai dengan salat berjamaah lima waktu.
Ada penyempitan persepsi tentang fungsi masjid. Padahal, kalau kita merujuk pada sejarah masjid di zaman Rasulullah, tempat ibadah kaum muslim tersebut menjadi pusat peradaban. Menjadi pusat penyebaran ajaran Rasulullah. Tempat pendidikan sekaligus tempat bertemunya berbagai gagasan untuk kemajuan umat Islam.
Perubahan di dalam masyarakat di sekitarnya. Menjadi bagian dari komunitas untuk membangun sikap gotong royong untuk memperbaiki kualitas hidup mereka.
Ada kelebihan khusus dari masjid dibanding lembaga masyarakat lain. Ia menjadi tempat berkumpul warga muslim setiap hari.
Masjid bisa menjadi pendeteksi paling valid keadaan masyarakat di sekitarnya, terutama para jamaah. Berkaitan dengan banyak hal. Terlebih yang saat ini ramai.
Di Jogokarya, masjid telah berhasil menjadi institusi yang menggerakkan. Setiap pagi orang berbondong-bondong salat Subuh berjamaah.
Masjid menyediakan sarapan pagi bersama. Dengan demikian, jamaah yang akan kerja bisa langsung berangkat kerja. Yang sekolah juga bisa langsung berangkat sekolah setelah berjamaah di masjid.
Perubahan persepsi tentang fungsi masjid akan menjadi semakin bermakna jika diikuti dengan upaya membangun jejaring antarmasjid.
Jejaring tersebut berfungsi memperluas jangkauan manfaat masjid bagi masyarakat di sekitarnya. Melalui jejaring antarmasjid tersebut juga memungkinkan penularan program-program kemasyarakatan masjid.
Masjid sebagai Entry Point
Menjadikan masjid sebagai entry point gerakan New Normal menemukan signifikansi karena beberapa hal:
Pertama, masjid memiliki modal kepercayaan (trust) di masyarakat yang cukup kuat dan sejauh ini belum ternodai. Manajemen masjid cukup sederhana namun transparan.
Kedua, masjid memiliki solidaritas komunitas cukup tinggi. Terlebih di masjid-masjid yang memiliki tradisi keagamaan sama, biasanya rasa solidaritas jauh lebih kental.
Ketiga, masjid memiliki jejaring (networking) cukup kuat. Pada masjid-masjid yang punya kedekatan kultur keagamaan tertentu telah terjalin koordinasi dan komunikasi yang intens.
Proses pertukaran informasi tentang program-program pemerintah juga dapat dilakukan lewat masjid. Dengan demikian tingkat kemanfaatan masjid jauh lebih luas tidak sebatas urusan ubudiyah melainkan juga persoalan-persoalan publik di sekitarnya.
Trust, solidarity dan network sebagai bentuk modal sosial (social capital) masjid memerlukan sentuhan pengembangan dari berbagai arah, termasuk dari gerakan New Normal.
Hubungan simbiosis mutualisme akan terjalin jika hal itu bisa direasilisasikan. Terhadap masjid memperoleh keutamaan setidaknya untuk dua hal:
Pertama, masjid dapat memperluas fungsi kemanfaatannya pada persoalan-persoalan publik yang terjadi di sekitarnya.
Kedua, masjid dapat mengembalikan fungsi utamanya sebagai pusat gerakan kemaslahatan umat, dan dengan demikian kesan tentang masjid hanya sebatas tempat melaksanakan amaliyah ubudiyah dapat dikikis.
Dibutuhkan langkah gandeng tangan antar pengurus masjid untuk mempercepat perubahan persepsi fungsi masjid. Sekaligus diperlukan kerja sama antarmasjid untuk mempercepat kesadaran untuk menjadikan masjid sebagai pusat peradaban dalam meningkatkan kualitas hidup jamaahnya.
Jika semua itu bisa dilakukan, masjid akan menjadi instrumen di dalam masyarakat untuk kemajuan mereka.
Menjadi tempat berkumpul dari komunitas terkecil dalam masyarakat tersebut, pusat penyebaran inovasi baru, pusat gotong royong warga untuk memecahkan persoalan mereka bersama, dan penggerak kemajuan masyarakat.
Melihat hal itu, masjid sangat mungkin dan bahkan harus mampu menjadi pusat gerakan New Normal. Dan kalau sejumlah masjid bergandeng tangan melakukan hal tersebut, maka akan menjadi instrumen penting mengaktualisasikan Islam rahmatan lil alamin.
*Penulis adalah Pengurus Dewan Masjid Indonesia (DMI) Kabupaten Pandeglang.