Oleh: Febriyanti Pogaria Simanullang
Bullying merupakan suatu perlakuan atau tindakan negatif yang dilakukan dengan menyakiti dalam bentuk fisik maupun batin. Hal ini biasa dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang terhadap korbannya yang kurang secara fisik atau mental.
Di mana perlakuan tersebut dilakukan secara berulang-ulang tanpa ada perlawanan dari sang korban. Tujuannya ialah untuk membuat korban merasa menderita.
Perlakuan bullying yang diterima oleh korban akan sangat mempengaruhi dalam waktu yang lama. Walaupun perlakuan bullying yang ia terima sudah lewat namun tidak akan mudah baginya untuk kembali seperti semula karena ia sempat mengalami penindasan, maka akan sulit baginya membangun hubungan baik dengan orang lain.
Karena korban selalu merasa cemas akan mendapatakan perlakuan tidak menyenangkan jika ia berhubungan dengan orang lain.
Belakangan ini begitu banyak kasus bullying yang muncul di Indonesia baik di dunia nyata maupun maya. Perlakuan ini bisa terjadi pada siapa saja dan dimana saja.
Namun perlakuan ini lebih banyak terjadi pada anak-anak dan sangat disayangkan kejadian tersebut kerap terulang di dunia pendidikan.
Tidak hanya antar siswa saja yang saling membully, murid terhadap guru pun kerap ditemukan di sekolah.
Sebenarnya negara sudah mengatur tindak bullying dalam Undang-Undang. Menurut pasal 1 angka 16 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak:
“Kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan secara melawan hukum.”
Berdasarkan pernyataan tersebut jika dihubungkan dengan pengertian kekerasan dalam UU Perlindungan Anak, maka dapat disimpulkan bahwa perbuatan tersebut termasuk dalam bentuk kekerasan terhadap anak.
Maka dari itu, bagi yang melanggarnya akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72 Juta.
walaupun sudah ada regulasi yang mengatur tentang perundungan tersebut, akan tetapi masih banyak kasus bullying di Indonesia. Khususnya dalam dunia pendidikan.
Dalam hal ini siapa yang perlu disalahkan regulasinya, peraturan sekolahnya, dan atau para gurunya?
Menurut pandangan penulis yang perlu diperbaiki dalam menangani kasus bullying yaitu adanya kerjasama antara pemerintah, sekolah, dan orang tua dalam mendidik anak.
Misal Komisi Penyiaran Indonesia atau KPI harusnya lebih bijak dalam menayangkan tayangan pada anak, karena kebanyakan anak melakukan kekerasan karena terinspirasi dari apa yang mereka lihat di telivisi.
Salah Satu Contoh Kasus Perundungan di Dunia Pendidikan
Perlakuan bullying yang dialami seorang siswa di SMP N 16 Kota Malang dilakukan oleh teman-temannya sendiri sebanyak 7 orang. Dari tindakan tersebut korban mengalami luka fisik. Yaitu korban harus kehilangan jari tengah tangan kanannya karena harus diamputasi.
Selain mengalami kekerasan fisik, siswa tersebut juga mengalami gangguan psikologis berupa rasa trauma karena harus menerima kenyataan jarinya diamputasi.
Tentunya kasus seperti ini harus ditindak secara proporsional. Siapa yang bertindak maka dia juga yang harus bertanggung jawab atas tindakannya sendiri. Dan hal ini akan mencoreng dunia pendidikan di Indonesia.
Mirisnya dalam contoh kasus di atas adalah pelaku perundungan masih banyak di bawah umur. Dengan demikan aturan sanksinya pun berbeda dengan orang dewasa, seperti tata cara persidangan dan sebagainya.
Namun jika kedua belah pihak (pelaku dan korban) sepakat untuk menyelesaikan kasus ini secara kekeluargaan, maka kasus ini tidak sampai pada persidangan cara penyelesian demikian tidak membuat orang merasa jera.
Maka dari itu, para pihak baik pemerintah maupun sekolah sudah seharusnya membuat peraturan yang tegas terhadap tindakan bullying. Dan guru harus lebih terbuka terhadap siswanya.
Orang tua harus lebih sering memberikan perhatian terhadap Sang Anak, dan selalu memantau kegiatan anak dalam menonton acara televisi dan gadget yang dapat menyesatkan pola pikir anak untuk melakukan kejahatan.
Serta yang paling penting adalah perhatian orang tua terhadap anaknya guna mecegah hal-hal yang tidak diinginkan.
*Penulis adalah Mahasiswa FKIP PPKn Universitas Pamulang