
BANTEN | Kang Sukiman, Alumni Sekolah Demokrasi, soroti penanganan Covid-19 di Banten. Mengingat hampir 1 tahun pandemi menggerus banyak sektor kehidupan.
Berbagai kebijakan telah dikeluarkan Gubernur Banten. Salah satunya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang tak kunjung usai. Namun, penyebaran Covid-19 terus mengalami kenaikan.
Kondisi ini sangat dirasakan seluruh lapisan masyarakat. Terutama soal penanganan pasien Covid-19. Seperti pasien penyakit tertentu, diklaim positif Covid-19 serta pemulasaraan jenazah pasien Corona yang tidak sesuai syariat.
Baca Juga
- Masih Ingat Jasad TKW Dalam Koper? Hari Ini Dipulangkan Dari Kota Makkah
- Andre Make Up, Dari Hobi Datangkan Rezeki
“Perlu dievaluasi, anggaran yang begitu besar terkesan tidak diimbangi dengan sistem yang mapan,” ujaranya kepada Vinus pada Senin, (01/02).
Tak hanya soal penanganan pasien Covid-19, Alumni Sekolah Demokrasi Angkatan IV ini juga memberi catatan buramnya dunia pendidikan saat pandemi. Khususnya terkait sistem daring.
Perubahan secara cepat dari Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) melalui tatap muka menjadi daring, tidak disertai dengan kemampuan SDM mumpuni. Selain itu, soal sarana dan prasarana juga tidak mendukung.
Banyak tenaga pendidik kelimpungan ketika harus mengoperasikan berbagai peralatan pendidikan berbasis daring. Belum lagi bagi sekolahan yang berada di pedesaan. Umumnya para siswa tidak mengerti teknologi dan minim jaringan.

Di sisi lain, Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) misalnya, para wali murid diwajibkan untuk membayar sesuai biaya normal. Dengan kata lain, tidak mengalami penurunan meski sistem belajar dilakukan dari rumah dan secara daring.
Masih menurut Sukiman, hal ini sangat tidak rasional. Semestinya kewajiban SPP di sekolah ada penyesuian kondisi. Terutama sekolah swasta. Lantaran di beberapa yayasan pendidikan mendapat kucuran dana BOS secara rutin.
Demikian juga perguruan tinggi, baik negri maupun swasta. Uang semester tidak ada penurunan nilai. Padahal jelas, mahasiswa atau orang tuanya juga terdampak.
“Kondisi seperti ini tentu sangat membebani masyarakat. Apalagi bagi para orang tua yang terkena PHK, sungguh ironi,” ungkapnya prihatin.
Tak heran, pria yang aktif di Perekat Demokrasi ini mengatakan aneh soal penanganan pandemi ini. Dengan budget yang begitu berlimpah, tapi pelaksanaannya penuh kerancuan di mata masyarakat.

Hal ini diperparah dengan kebijakan pemerintah yang tidak melibatkan legeslatif. Jelas-jelas DPRD memiliki kapasitas pengawasan atas segala program eksekutif. Namun, kurang sekali dilibatkan.
“Semestinya, untuk pengawasan harus dibentuk oleh legeslatif di masing-masing tingkatan. Fakta yang terjadi, satgas Covid-19 ditunjuk dari kalangan birokrat,” sambungnya.
Lebih lanjut, pria asal Kecamatan Pasar Kemis Kabupaten Tangerang ini mengatakan, DPRD harus diikutsertakan dalam pengawasan anggaran. Sebab, realokasi anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) untuk penanganan Covid-19 rawan terhadap penyalahgunaan.
“Sungguh para anggota legeslatif pusat dan daerah benar-benar ditinggalkan. Ada apa dari semua ini,” tanyanya. |We