Oleh: Endi Biaro
Ramalan kuno seolah terbukti.
Buku The Celestine Propechy, karya James Redfield, mengungkap akan adanya kegelisahan mendalam para insan di abad ini. Sumber informasi buku itu, berasal dari khasanah lokal di Amerika Latin, tepatnya Peru.
Tiap isi batok kepala manusia di dunia, hari ini, tergulung oleh berlapis-lapis kecemasan. Atau kata Filsuf Idealis, David Hume: we live in the bundles of conceptions.
Malah sejumlah riset membuktikan, saat ini, setiap orang (per hari) berhadapan dengan puluhan ribu informasi (mayoritas informasi jelek, yang menjengkelkan).
David Hill bahkan berani sesumbar: jumlah bit informasi yang kita terima per hari, adalah sama dengan jumlah informasi yang diterima orang-orang dahulu, selama 10 tahun.
Dulu, seorang Gubernur Jenderal Batavia, harus menunggu selama enam bulan, untuk bisa membaca sepucuk surat, yang berisi informasi pemecatan dirinya dari Ratu Belanda.
Kini, anak TK di siang hari sembari santap siang, sudah mampu browsing ratusan ragam informasi via gawai.
Masalahnya antara Tsunami informasi dengan daya seleksi di benak orang, kerap tak imbang.
Orang lebih bersikap “repleksif” (bereaksi spontan tanpa nalar), dan tak mampu bersikap “refleksi” (kemampuan merenung, menganalisis).
Kata lainnya, struktur mental kita dalam menerima, mengolah, melibatkan diri, dan menolak terpaan informasi, berada pada titik lemah.
Padahal yang benar, perlu adanya previous to influence alias daya tangkal terhadap pengaruh gulungan informasi.
Perkara pokok ini sebenarnya ribuan tahun lalu sudah diingatkan oleh Sayidina Ali Bin Abi Thalib, “Siapa yang tidak mengisi harinya dengan informasi kebenaran, maka benaknya akan dipenuhi oleh kebatilan”.
Fenomena di Indonesia cocok dengan asumsi Ali.
Tabiat pembelajar yang lemah, malas baca, enggan menekuni ilmu, melahirkan mental asal-asalan. Akhirnya: kebatilan begitu laku, diburu, digemari. Kebohongan, gosif, lelucon batil, informasi hoax, begitu dominan, karena bangsa ini malas membaca kebenaran.
Sialnya kebatilan malah difabrikasi, melalui big agen, dengan jaring-jaring kekuasaan maha lebar. Mereka malah dipelihara negara, sebagai influencer.
Hasilnya dahsyat. Bangsa ini terpojok dalam bias kesadaran (resah, marah, panik). Muaranya melahirkan kecemasan.
Apapun kasus yang meletup, maka diskusi publik yang mengemuka adalah respon emosional, menyingkirkan dalil intelektual. Sampah buzzer lebih berpengaruh, sementara informasi sahih tersingkirkan.