Oleh: Hamdani
TEPAT di hari pahlawan 10 November 2019, kembali saya membuka tulisan yang sudah dua bulan lalu selesai, namun belum sempat dimuat. Sebuah tulisan kecil tentang pahit getir masa pendudukan Belanda di Sragen yang ditulis saat perjalanan pulang dari Sragen menuju Bandara Adi Sumarmo, Solo.
Setelah sebelumnya kami mengakhiri kegiatan Workshop Pengembangan Kurikulum Perguruan Muhammadiyah dan Aisyiyah di Surabaya, seorang sahabat mengajak saya untuk berkunjung ke keluarganya di Sragen. Sangat menarik tawaran itu, kami pun bergegas menuju Kabupaten Sragen dengan menumpang Bus “Eka”. Sesampainya di pertigaan Sragen, kami dijemput oleh dua orang laki-laki yang tidak lain adalah ayah dan kakanya.
Sragen, sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah yang terletak 30 km sebelah timur Kota Surakarta. Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Grobogan, sebelah timurnya berbatasan dengan Kabupaten Ngawi, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Karang Anyar dan sebelah baratnya berbatasan dengan Kabupaten Boyolali.
Sragen dikenal dengan sebutan Bumi Sukowati, nama yang digunakan sejak masa kekuasaan Kerajaan (Kasunanan) Surakarta. Nama Sukowati diadopsi dari sebuah nama seorang pangeran yang hidup semasa kerajaan Mataram, yakni Pangeran Sukomati. Sejarah berdirinya Kabupaten Sragen merupakan napak tilas perjuangan adik dari Pangeran Pakubuwono II dalam melawan penjajahan Belanda.
Mendengar penuturan sejarah kehidupan masyarakat di Sragen, cukup mengiris hati. Masyarakat yang mayoritas petani saat pendudukan Belanda, dengan sumber penghasilan utamanya berasal dari sektor pertanian tebu dan padi. Sebagian besar masyarakat bekerja menjadi buruh di pabrik penggilingan tebu dan sebagian bekerja menjadi petani di kebun sendiri. Untuk mengurus pertaniannya sendiri tidak ada keleluasaan, karena masyarakat harus bekerja penuh waktu pada perusahaan milik Belanda.
Tidak ada pilihan, dalam seminggunya masyarakat harus bekerja selama enam hari untuk Belanda. Satu harinya diberikan keleluasaan untuk mengerjakan pertanian sendiri. Sangat tertindas saat itu, masyarakat tidak bisa menolaknya. Jika saja berani menolak, perlakuan kasar dan hukuman akan diterimanya. Masyarakat pribumi hanya bisa pasrah dan meratapi nasib.
Kehidupan ekonomi begitu sulitnya, untuk kebutuhan makan pun seadanya. Tidak ada lauk, cukup makan dedaunan yang dibuat diurab untuk konsumsi sehari-hari. Jenis daun ple`an yang dikonsumsi, rasanya bau dan tidak enak. Inilah kenyataan yang dirasakan bagi golongan petani. Berbeda dengan golongan Demang yang bekerja untuk Belanda, kehidupannya cukup menak.
Cerita orang tua dulu, bisa makan singkong dan ubi saja sudah bersyukur. Saking sulitnya, masyarakat terpaksa mengkonsumsi bonggol pisang dan batang pepaya yang dikupas dan diambil bagian dalamnya. Yah itu lah cerita orang tua dulu. Memang keadilan saat itu sangat mahal, amat sulit dirasakan oleh masyarakat. Untuk bertahan hidup, masyarakat makan apa adanya.
Tidak saja dalam penghidupan, pendidikan pun tidak mudah dirasakan pribumi saat itu. Pendidikan hanya bisa dinikmati golongan keluarga Demang yang bekerja untuk Belanda. Bagi masyarakat bawah, amat sangat sulit merasakannya. Bukan tidak ingin, tapi memang sulit untuk mengenyam pendidikan bagi masyarakat kelas bawah pada masa pendudukan Belanda.
Pertanian di Sragen cukup produktif, namun faktanya kehidupan ekonomi masyarakat tidak semakin membaik. Bahkan wilayah ini juga menjadi salah satu pusat perkebunan dan pabrik penggilingan tebu terbesar, setelah Solo Madu dan Tasik Madu di Karang Anyar. Masyarakat dipaksa untuk bekerja kepada Belanda sebagai pengangkut beban. Jika mereka tidak kuat Manggul “angkat beban”, oleh tentara Belanda malah akan ditambah bebannya dua kali lipat.
Perlawan pribumi kepada Belanda, dimulai ketika Suekarno mulai menggelorakan semangat perjuangan kemerdekaan. Ternyata, tidak mudah melawan taktik cerdik Belanda. Selain membangun kekuatan ekonomi, Belanda juga membangun pusat pertahanan dan keamanan. Sebut saja pabrik penggilingan tebu yang dibangun oleh Belanda, selain sebagai pusat produksi juga sebagai pusat pertahanan.
Pabrik tersebut memiliki kolam pembuangan air limbah, dimana bagian bawah kolam dibangun ruang sebagai pusat pertahanan dan keamanan untuk menghindari penyergapan mendadak dari masyarakat setempat. Beberapa kali pengintaian dan penyergapan dilakukan oleh masyarakat pribumi kepada Belanda di pabrik penggilingan tebu, selalu saja gagal karena keamanannya sulit ditembus.
Banyak kisah pilu semasa Belanda. Namun sepeninggalnya, banyak bangunan milik Belanda yang bisa dialih fungsikan menjadi sarana pemerintahan. Di sekitar Sragen masih nampak jelas peninggalan bangunan asli bergaya arsitektur Belanda yang kini diabadikan dengan nama “Oemah Londo”. Ada juga penggalan cerita yang selalui dikisahkan, tentang bendungan yang gagal dibangun oleh Belanda karena salah perhitungan.
Dikisahkan oleh warga setempat, semacam ada perdebatan yang cukup alot dari para arsitek Belanda. Satu arsitek bersikukuh akan membangun bendungan di tempat tersebut, satu arsitek lagi justru menolaknya. Arsitek Belanda yang menolaknya, sampai bersumpah serapah “jika bendungan ini sampai selesai dibangun, arsitek tersebut akan buang air besar disitu dan membersihkannya pergi dulu ke Belanda”.
Cerita ini terus dikisahkan sebagai cerita rakyat dari generasi ke generasi, hingga sampai pada puncak kemerdekaan. Sebuah perjuangan yang panjang, pahit getir sangat dirasakan oleh masyarakat, terutama di Sragen. Karena jasa pahlawan, kini kami bisa merasakan kemerdekaan dan mengisinya dengan berbagai karya.
*Dr. Hamdani, SE., MM., M.Pd., M.Ak
Dosen Tetap Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Muhammadiyah Tangerang