Oleh: Apipudin*
TOLERANSI dapat menjadikan perdamaian bagi masyarakat, khususnya di Indonesia. Secara terminologi, toleransi adalah suatu sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok atau golongan yang berbeda dalam suatu masyarakat.
Dalam perspektif agama, toleransi berperan penting, karena setiap agama sangat menjunjung tinggi perdamaian. Agama tidak diperbolehkan menjadi alasan perang, kebencian, permusuhan, dan ekstremisme.
Indonesia adalah Negara yang heterogen. Di dalamnya terdapat berbagai macam agama, suku, dan kaya akan budaya. Saat ini, tercatat enam agama yang diakui di Indonesia. Yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghuchu.
Agama Islam, menjadi mayoritas dengan jumlah pemeluknya sebesar 87%, Protestan 7%, Katolik 3%, Hindu 1,7%, Buddha 0,7%, dan Konghuchu 0,5%.
Baca Juga
- Pujasera Cisoka Dikeluhkan Pembeli, Gunakan Permen Sebagai Alat Transaksi
- 32 Mahasiswa Banten Dapat Beasiswa CSR
Selain agama, sukunya pun beragam. terdapat 10 suku, diantaranya Jawa, Sunda, Batak, Minang, Betawi, Bali, Dayak, Bugis, Ambon, dan Asmat.
Dari 10 suku tersebut, terdapat tiga suku yang memiliki populasi terbanyak, yaitu Suku Jawa; dengan jumlah penduduknya sebesar 40,2%, suku Sunda 15, 5%, dan suku Batak 3,6%.
Dengan disajikannya berbagai macam agama dan suku, tentunya mengakibatkan pandangan keberagamaan yang berbeda serta karakter kesukuan yang berbeda. Artinya, pertikaian atas nama agama akan sering terjadi. Gesekan antar agama ini mengakibatkan tidak harmonisnya hubungan antar manusia.
Seperti yang terjadi di Kabupaten Tolikara, Papua. Insiden pembakaran Masjid pada tanggal 17 Juli 2015 mengakibatkan konflik antar umat beragama. Insiden tersebut terjadi pada saat umat Islam sedang melaksanakan salat Idulfitri.
Terjadinya insiden itu dikarenakan perayaan dua acara besar umat Islam dan Kristen pada satu waktu dan tempatnya berdekatan. Akibatnya, satu orang tewas dan 153 lainnya terluka.
Kemudian di Tanjung Balai, Sumatera Utara, terjadi insiden pembakaran Vihara pada tanggal 20 Juli 2016. Insiden tersebut terjadi dikarenakan seorang yang beragama Buddha meminta umat muslim untuk mengecilkan volume suara masjid. Untungnya, tidak ada korban jiwa dalam insiden tersebut.
Belum lagi Konflik antara suku Dayak asli dan warga migran dari Madura, yang terjadi di Sampit, Kalimantan Tengah pada 18 Februari tahun 2001 yang memakan banyak korban.Tercatat 500 korban jiwa telah gugur dan 100.000 warga Madura kehilangan tempat tinggal.

Selain itu, banyak juga warga Madura yang ditemukan di penggal kepalanya oleh suku Dayak. Insiden tersebut dilandasi oleh meninggkatnya populasi warga Madura di Kalimantan Tengah pada tahun 2001 sebesar 21%. Kemudian timbul ketidakpuasan suku Dayak atas persaingan yang agresif.
Baru baru ini, seorang tokoh Islam, Miftah Maulana Habiburrahman yang kita kenal dengan Gus Miftah, di hujat Netizen Kafir dan sesat setelah memberikan ceramah di Gereja beberapa waktu lalu.
Padahal, menurut pengakuannya, ia hanya di undang untuk memberikan ceramah tentang kebangsaan dan tidak ada relevansinya dengan peribadatan.
Gambaran kasus di atas adalah tiga dari sekian banyaknya konflik Agama dan Suku yang terjadi di Indonesia. Kita tahu bahwa adanya konflik karena adanya perbedaan, tetapi tidak semua perbedaan mengakibatkan adanya konflik. Disitulah pentingnya toleransi.
Selain itu, dalam nash dijelaskan bahwa, “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku (QS. Al-Kafirun: 6)”. Dalam konteks agama, kita diajarkan untuk saling menghargai. Sebab saling menghargai merupakan salah satu entitas dari hubungan horizontal antara manusia dengan manusia (Habluminannas).
Di tengah konflik agama yang berkepanjangan, rasanya kita perlu belajar kepada tokoh Nahdltul Ulama (NU). Salah satunya seperti Abdurrahman Wahid, atau yang biasa kita kenal dengan sebutan Gus Dur.
Gus Dur pernah berkata, “tidak penting apapun agama atau sukumu, kalau kamu bisa melakuakan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak akan tanya apa agamamu.”
Sudah seharusnya perbedaan suku dan agama yang Indonesia miliki dijadikan sebagai persatuan, bukan perpecahan. Sebab, adagium mengatakan, bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.
* Penulis adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Fiqh Syeikh Nawawi Tanara (STIF Syentra).