spot_img

Polemik Pengadaan Sepeda Listrik, Pengamat Kebijakan Publik: Itu Biasa

Foto: Pengamat Kebijakan Publik UNMA Banten, Eko Supriatno.

PANDEGLANG | Pro dan kontra soal pengadaan sepeda listrik untuk Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) di Kabupaten Pandeglang dinilai hal yang biasa.

Hal ini diungkapkan oleh Pengamat Kebijakan Publik Universitas Mathla’ul Anwar  (UNMA) Banten Eko Supriyatno kepada Vinus, pada Selasa (30/08).

Menurut Eko sapaan akrabnya, adanya polemik di masyarakat Kabupaten Pandeglang terkait pengadaan sepeda listrik ini merupakan hal yang biasa.

Baca Juga

“Ini biasa. Bagi yang pro, tentunya program ini sangat bagus. Bisa memfasilitasi alat transportasi bagi RT dan RW. Namun sebaliknya. Bagi yang tidak mendukung, persoalan lain dianggap lebih urgent. Misal: Masih banyak jalan rusak,” ungkap Eko.

Masih menurut Eko, adanya ketidakpuasan dalam sebuah kebijakan merupakan hal yang biasa, walau sering kali menimbulkan konflik dari para pihak yang berkepentingan.

Meski demikian, lanjut Eko, pada akhirnya kebijakan yang dibuat tetap berjalan. Ketidakpuasan bisa berujung pada aksi. Itulah demokrasi.

“Buktinya, mayoritas fraksi sepakat mendukung program ini. Kuatnya dukungan tersebut tidak hanya terlihat secara politik, tetapi juga bentuk legitimasi untuk program sepeda listrik ini,” ujar Eko.

Lebih lanjut, Dosen Ilmu Pemerintahan ini memberikan saran agar Bupati Pandeglang setidaknya harus melihat tiga prinsip dasar dalam menyikapi pro dan kontra program sepeda listrik tersebut.

Menurut Eko, pertama, Bupati Irna seyogyanya bergerak cepat menjadikan fokus utama yakni: Merajut kembali sinergi komunikasi politik dengan DPRD dan pimpinan partai politik.

Foto: Sepeda Listrik (Istimewa).

“Sinergi komunikasi politik ini, bertujuan agar terjadi sinkronisasi program antara kepentingan masyarakat di Dapil legislatif serta penyusunan RKPD Pandeglang ke depan,” ucapnya.

Masih kata Eko, Bupati Irna seyogyanya juga mengajak lembur jajaran ASN dalam rangka membenahi kinerja birokrasi dan penyusunan KUA-PPAS APBD tahun 2022, serta peraturan bupati (Perbup) untuk mencairkan anggaran wajib dan mengikat.

“Bukankah juga ada regulasi yang mengatur LAKIP yang penilaian kinerjanya bukan hanya berdasarkan new public management (tata kelola berdasarkan kepentingan publik). Tetapi, sudah mengarah kepada tata pelayanan yang lebih partisipatif dan deliberatife,” kata Eko.

Selain itu, Pembina pada Future Leader for Anti-Coruption (FLAC) ini juga mengingatkan pemerintah daerah agar bergerak cepat dalam hal kolaborasi dan akselerasi. Baik dengan tokoh masyarakat, institusi, maupun lembaga, dalam upaya membangun government public relations.

Sesuai etika komunikasi politik, menurut Eko, tidak elok mendelegitimasi langkah kepala daerah dalam menata bangunan birokrasi. Justru yang dibutuhkan saat ini adalah setiap pihak saling memberikan dukungan. Minimal memberi kesempatan.

“Kita berharap, semua berjalan dengan fungsinya. Proses pengawasan oleh semua pihak, baik DPRD maupun masyarakat sipil harus tetap berjalan. Tidak boleh acuh apalagi apatis. Itulah demokrasi,” tutup Eko. |HR

Loading

VINUS TV

BERITA TERBARU

IKLAN

spot_img
spot_img

BERITA TERPOPULER

IKLAN

spot_img

BERITA TERKAIT

IKLAN

spot_img

SEPUTAR BANTEN

IKLAN

spot_img

SEPUTAR DESA

Masyarakat Pasir Bolang Demo Alfamart