
USAI pengumuman hasil tes tertulis calon anggota Panitia Pengawas tingkat kecamatan atau Panwascam untuk Pemilu tahun 2024 di Kabupaten Pandeglang, muncul beragam reaksi dari masyarakat. Seperti halnya yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswa.
Mereka melakukan unjuk rasa di depan kantor Bawaslu Kabupaten Pandeglang. Tuntutan yang mereka suarakan adalah demi transparansi, Pokja pembentukan Panwascam harus membuka rincian perolehan nilai hasil test tertulis.
Padahal, Pokja tidak mencantumkan rincian nilai karena regulasi mengaturnya: perkara nilai merupakan informasi yang dikecualikan. Sama halnya dengan tanggapan masyarakat yang masuk kepada Pokja tentang informasi para peserta. Ia bersifat terbatas.
Andai tidak ada regulasi yang melarangnya, Pokja tanpa diminta akan melakukannya. Pun tanggapan masyarakat. Tetapi ia hanya diketahui oleh tim penguji dan peserta bersangkutan. Tidak boleh ada pihak lain yang turut dan larut mengetahuinya.
Baca Juga
- Gaduh Seleksi Panwascam Akibat Tuntutan Miskin Referensi
- Kristen Ortodoks Syria dan Islam, Serupa Tapi Tak Sama
Jadi, tuntutan pembatalan surat pengumuman tentang hasil CAT yang karena tidak mencantumkan rincian nilai tes tertulis para peserta, lalu dianggap tidak transparan, tidak bisa dipenuhi Pokja. Sekali lagi, karena perkara rincian nilai merupakan informasi yang dikecualikan.
Pada poin kedua, pendemo menuntut agar Bawaslu Kabupaten Pandeglang mewujudkan demokrasi yang bersih, bermartabat, dan berintegritas. Perihal ini sejatinya sudah menjadi bagian dari komitmen anggota Bawaslu di berbagai tingkatan sejak mereka dilantik. Poin ini, kami sepakat.
Lalu pada poin ketiga, pendemo menuntut agar Bawaslu Kabupaten Pandeglang harus taat asas kepatutan. Entah kemana arahnya. Tapi bila boleh menafsir apa maksudnya, maka kinerja anggota Bawaslu Kabupaten Pandeglang yang on the track adalah wujud kerja professional, yang adalah salah satu indikator kepatutan.
Yang keempat, pendemo menuntut agar Bawaslu Kabupaten Pandeglang mengevaluasi perekrutan calon Panwascam karena tidak selektif. Mau dikata tidak selektif bagaimana, bila sedari awal pada saat penyerahan berkas dilakukan penelitian administrasi.
Hasilnya, ada beberapa di antara pendaftar yang tidak bisa mengikuti tes tertulis karena tidak lolos seleksi adminitrasi. Lalu, 6 orang yang lolos ke 6 besar adalah orang-orang yang memiliki nilai paling tinggi dari tiap kecamatan. Mereka adalah orang-orang yang sudah membuktikan dirinya dalam aspek kompetensi.
Sementara tuntutan terakhir mereka terkait DKPP yang harus menindak tegas dan memecat oknum-oknum Pokja yang diduga melakukan praktik-praktik kecurangan. Pada poin ini kami sepakat. Tinggal buktikan saja siapa oknum yang melakukan ulah tersebut.
Atas aksi unjuk rasa dan dengan tuntutan tersebut, penulis merespons dengan membuat sebuah tulisan dengan judul “Gaduh Seleksi Panwascam Akibat Tuntutan Miskin Referensi”. Pada tulisan tersebut poinnya adalah saya memaklumi apabila mereka berlaku demikian.
Masih dalam tulisan tersebut, pemakluman itu penulis sampaikan lantaran mereka bisa jadi belum baca atau belum paham regulasi. Misalnya, andai mereka baca dulu dan memahami ada regulasi yang mengatur perihal pengecualian informasi, sejatinya mereka tidak akan melakukan aksi.
Prasangka baik demikian; bahwa aksi itu karena menuntut transparansi. Namun kalau motivasi aksi itu karena ada kekecewaan lantaran tidak lolos ke 6 besar, persoalannya menjadi lain.
Bila alasan terakhir itu juga benar, maka demi memenuhi tuntutan mereka serta dalam rangka membuktikan bahwa pelaksanaan tes dan perolehan nilai begitu transparan, bahkan saya berkeinginan untuk membeber perolehan nilai seluruhnya.
Namun, lagi-lagi bahwa selain itu merupakan informasi yang dikecualikan, penulis malah merasa kasihan sebab khawatir akan ada yang dipermalukan. Bagaimana tidak akan malu. Mengklaim mendapat nilai tinggi dan layak lolos ke tahap berikutnya, sementara “kartu truf” berkata lain.
Rupanya, penjelasan lewat tulisan itu menuai respons dari mereka. Seorang yang mengaku menjadi bagian dari penggerak aksi itu membuat tulisan balasan dengan judul “Khatam Baca Regulasi, Sudahkah Sempurna Dalam Implementasi?”.
Ini keren. Sungguh keren. Masih jarang orang yang mau dan mampu merespons dengan cara berdialektika seperti ini. Penulis sangat menaruh apresiasi atas cara orang ini dalam merespons sebuah pendapat dan atau sebuah penjelasan.
Merespons tulisan dengan cara tulisan itu akan menumbuhkan dialektika. Dialektika itu akan menghasilkan solusi. Dialektika itu bagus dan produktif. Berbeda dengan cara orang yang merespons dengan gaya ceplok-batok. Yang hanya berhenti di sebatas debat kusir. Dan itu tidak produktif.
Sebuah tulisan direspons dengan tulisan lagi, itu adalah cara setara dan seimbang. Kalau sebuah tulisan dibalas celoteh ceplok-batok, itu seperti petinju Klitchko ditantang Pacquiao. Dan kita sudah bisa memperkirakan, pada akhir pertarungan siapa yang akan tersungkur mencium kanvas.
Jadi, sekali lagi, penulis sangat menaruh apresiasi atas cara yang bersangkutan dalam merespons penjelasan lewat sebuah tulisan. Dengan judul tulisan yang rumusannya begitu bagus, penulis berharap akan mendapatkan respons yang isinya juga sebagus rumusan judulnya.
Namun sayang, ketika dibaca paragraf per paragraf, kalimat per kalimat, hingga kata per kata, tidak menemukan respons yang substantif atas tulisan sebelumnya. Hingga pada bagian akhir tulisan, hampir seluruhnya di luar ekspektasi.
Usai membaca hingga bagian akhir, mendadak merasa seperti fansnya Lesti Kejora ketika mengetahui bahwa ia memaafkan kesalahan Rizky Billar. Bukankah pemirsa maunya agar kasus itu dilanjutkan hingga si ringan tangan itu mendapat balasan setimpal?
Penonton dibuat kecewa. Begitu pun penulis. Pada tanggapan itu tiada kata, kalimat, apalagi bagian paragraf, yang langsung merespon tulisan sebagai jawaban atas tuntutan pada aksi unjukrasa yang dilakukan sebelumnya.
Tulisannya malah banyak didominasi dengan jargon. Jargon-jargon penuh semangat, seperti mahasiswa yang baru belajar pada semester awal dengan mata kuliah baru pengantar. Dan itu bahkan dimulai sejak kalimat pembuka. Mari kita bedah.
“Riuhnya ruang publik dengan beragam narasi adalah indikator hidupnya demokrasi. Partisipasi masyarakat dalam mengawal suksesi Pemilu sudah menjadi keniscayaan”. Selain rumusan kalimat ini cuma jargon, juga ada kesalahan substansi. Tak ada istilah “suksesi Pemilu”. Logical fallacy ini.
Selebihnya, hanya rangkaian kalimat yang malah membuat saya sendiri menganggukkan kepala, karena setuju atasnya. Bagaimana tidak. Dia kemudian menjelaskan asas dan prinsip penyelenggara Pemilu yang bagi saya itu merupakan makanan keseharian.
Baca Juga
Penulis tidak bermaksud mengatakan bahwa narasi seperti itu seperti “mapatahan ngojay ka meri”. Penting juga sih buat saya agar ini menjadi cara pengingat bagi saya untuk berkomitmen sebagaimana janji dan sumpah jabatan; dua hal yang ternyata ada juga dalam tulisannya, yang bagi saya bukan barang baru.
Pada bagian selanjutnya, memaparkan tentang pentingnya penyelenggara Pemilu untuk mandiri, jujur, adil, keterbukaan, profesionalitas, dan akuntabilitas. Lalu menyertakan pula pentingnya independensi dan integritas. Sekali lagi, ini perkara familiar dalam keseharian penulis.
Lanjutnya, “kekhataman dalam membaca sebuah regulasi harus dibarengi dengan implementasi yang baik dan benar, sebagai tanggungjawab moril”. Atas statement ini saya cukup angguk, karena merasa sepakat atasnya. Tapi, jangan pula karena judul tulisan saya pakai diksi itu lantas memaksa dengan diksi “kekhataman” juga. Bacanya terasa aneh.
“Lebih jauh daripada itu untuk memastikan sebuah lembaga dapat steril dari kontaminasi berbagai kepentingan cabang kekuasaan manapun implementasinya harus benar-benar terlaksana dengan sempurna dan paripurna”. Atas bagian ini penulis gideg.
Sebagai dosen pengampu mata kuliah Filsafat Ilmu dan Logika yang pernah diajarkan kepada mahasiswa FISIP UNMA Pandeglang sejak tahun 2004 hingga tahun 2015, penulis merasa harus belajar lagi untuk bisa memahami pilihan kata ilmiah dan substansi yang dituju. Kali ini saya gagal paham.
Pada bagian selanjutnya, tulisan ini memberikan stigma bahwa adalah sebuah anomali ketika pelaksanaan tersebut (entah mana yang dimaksud) tidak berbanding lurus dengan adanya beberapa catatan tentang beberapa pelanggaran yang ada”. Sekali lagi, penulis tak bisa menangkap maksudnya.
Di akhir tulisan, dia menutupnya dengan mengatakan “Intervensi dari elit politik yang mencoba untuk mendikte Bawaslu, sehingga tidak berlebihan jika ada yang menyebut Bawaslu sebagai macan kertas”. Kalimat ini bahkan tidak lengkap. Karena tidak menggambarkan bagaimana sikap Bawaslu atas dikte elit yang dituduhkan.
Dari seluruh isi tulisannya, tak satu pun yang nyambung sebagai respons atas tulisan saya. Kan begini; unjuk rasa menuduh ada kecurangan, karena tidak transparan, tersebab nilai tak dicantumkan. Penulis jawab, bahwa itu diatur regulasi, bagian dari informasi yang dikecualikan.
Semula penulis mengira dalam tulisannya akan merespons balik tentang ini. Tapi nyatanya tiada satu pun counter atas penjelasan. Itu hanyalah sekumpulan rumusan kalimat normative yang sejatinya perkara umum yang sudah lazim diketahui dan dipahami.
By the way, sekali lagi sungguh penulis merasa senang dengan caranya merespons lewat tulisan walau isinya di luar ekspektasi. Cara merespon tulisan dengan tulisan lagi merupakan tradisi sangat baik, karena itu mencerminkan kecendekiaan, sebagai ciri utama mahasiswa yang adalah insan akademik.
Teruslah suarakan idealisme, karena itu qulil haq walau kana murran; berani menyuarakan kebenaran walapun terasa pahit. Tapi jangan lupa, saat menyuarakan sesuatu yang menurut saudara benar, bekali dulu diri saudara dengan pengetahuan dan pemahaman. Caranya, khatam baca referensi. Wallahualam.
*Ditulis oleh: Ocit Abdurrosyid Siddiq. Kordiv SDMO Bawaslu Provinsi Banten.