
PEMILIHAN Umum (Pemilu) hampir usai. Namun ada dua pertanyaan mendasar. Bisakah memuaskan publik? Atau peserta Pemilu itu sendiri? Atau justru terbalik. Begitu mengecewakan.
Pelaksanaan Pemilu di Kabupaten Tangerang misalnya, semakin hangat akhir-akhir ini, terutama saat melihat berita online. Dijejali kabar tak sedap. Dari berbagai persoalan. Mulai dugaan penggelembungan suara sampai money politic.
Padahal hasil pemungutan dan rekapitulasi sudah selesai. Akan tetapi, sampai saat ini masih ada peserta pemilu yang masih melaporkan adanya indikasi kecurangan hasil Pemilu ke Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU) Kabupaten Tangerang.
Terkesan biasa saja memang. Namun menjadi tidak biasa dan mungkin sedikit menarik perhatian publik lantaran laporan muncul setelah pleno KPU Kabuapaten Tangerang. Bukan pada saat tahapan.
Baca Juga
Pemilu merupakan instrumen terpenting dalam negara demokratis. Pemilu menurut Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Kalimat klise dan tak asing di telinga saat mendengar istilah itu. Sementara demokrasi sendiri bisa dimaknai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dalam hal ini, rakyat menjadi penentunya.
Harris G. Warren memaknai Pemilu sebagai mekanisme dan kesempatan bagi warga negara untuk memilih dan memutusan pejabat pemerintah. Dalam hal ini, Pemilu diartikan sebagai sarana.
Berdasarkan pendapat tersebut, dapat dikatakan bahwasan Pemilu merupakan suatu cara menentukan wakil-wakil yang akan menjalankan roda pemerintahan. Wakil rakyat yang akan mengurus hajat hidup orang banyak.
Pelaksanaan Pemilu harus disertai dengan kebebasan dan dengan menjunjung tinggi asas-asas pemilu. Semakin tinggi tingkat
kebebasan dalam pelaksanaannya, maka akan semakin besar penerapan asas-asas Pemilu. Dan tentu akan semakin baik pula penyelenggaraannya.
Dari persoalan di atas, kita bisa menarik simpulan, bahwa jika ada indikasi kecurangan Pemilu, maka lembaga penyelenggara pemilu, dalam hal ini Bawaslu Kabupaten Tangerang harus reaksi cepat menindaklanjutinya dengan seadil-adilnya.
Mengingat secara kelembagaan, Bawaslu harua bersifat aktif. Tidak boleh pasif, jika memang ada indikasi kecurangan Pemilu, sesuai dengan pasal 93 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan peraturan lainya haruals bertindak.
Sekadar contoh, beberapa hari lalu, ramai beredar melalui media online, salah satu Caleg peserta Pemilu melapor ke Bawaslu Kabupaten Tangerang terkait adanya dugaan kecurangan pemilu. Publik lantas melihat reaksi badan pengawas Pemilu dalam merespons aduan tersebut.
Meski sudah diplenokan, setidaknya Bawaslu bereaksi cepat memberikan respons dan tanggapan sebagai bentuk komitmen kelembagaan dalam melaksanakan pengawasan pemilu. Tidak sekadar menerima laporan dan lantas diam.
Apalagi terkait dugaan penggelembungan suara, ini masuk dalam kecurangan Pemilu luar biasa bahkan mungkin terdapat
sanksi pidana di dalamnya, dan mungkin juga patut diduga ada pihak-pihak tertentu yang terlibat secara sistematis dan masif. Ini perlu diurai agar ada kepastian hukum.
Adapun dalam perjalanannya, jika memang terbukti terdapat kecurangan hasil pemilu, jangan sampai menjadi bom waktu dikemudian hari. Bawaslu tidak boleh berdim diri. Ini tidak baik untuk masa depan demokrasi.
Publik berharap Bawaslu Kabupaten Tangerang segera mengambil sikap dengan tegas karena menjaga nama baik lembaga sebagai pengawal demokrasi sekaligus sebagai bentuk pertanggungjawaban moril pada publik.
Demokrasi akan selalu indah saat para pemangku kebijakan selalu istiqomah menjaga amanah dan terus menjunjungtinggi asas-asas Pemilu. Namun faktanya, hari ini kita melihat kenyataan, ternyata tak seindah yang dibayangkan.
Bawaslu sepertinya mati suri. Keberadaanya tak ubah seperti dalam pertandingan sepak bola: mereka sekadar dukuk di tribun, sebagai penonton. Publik tidak menyaksikan kerja-kerja kongkrit. Sebatas rutinitas belaka.
*Penulis merupakan pendiri Benteng Rakyat Tangerang (Bentang)