spot_img

Perceraian Akibat Ekonomi, Dampak Buruk Ketidakhadiran Negara Saat Pandemi

Foto: Ilustrasi pertengkaran suami istri (Istimewa).

NEGARA kita tercinta belum sepenuhnya terbebas dari Virus Corona. Sejak awal Maret tahun 2020 masuk wilayah Indonesia. Hingga kini kasusnya masih cukup tinggi. Memaksa masyarakat untuk berdamai dengan cara menyesuaikan kondisi yang ada.

Masyarakat jadi terbiasa menggunakan masker, menjaga jarak, menghindari kerumunan, hingga rajin mencuci tangan. Korban dari keganasan virus jenis ini sungguh luar biasa, mulai harta benda hingga nyawa.

Banyak rakyat meninggal dunia dalam kurun waktu dua tahun akibat virus, bahkan ekonomi bangsa sampai porak poranda. Tidak sedikit pengusaha kecil hingga besar terpaksa gulung tikar. Tak terhitung kepala keluarga yang kehilangan mata pencaharian karena di-PHK.

Baca Juga

Akibatnya, pengangguran semakin banyak dan kesempatan mencari kerja semakin sulit. Sebab tidak tersedianya lapangan pekerjaraan, apalagi bagi yang sudah berumur dan tidak memiliki keahlian khusus.

Bagi yang ingin mencoba buka usaha selalu terkendala modal. Sehingga memperburuk ekonomi keluarga dan muncul berbagai konflik dalam keluarga. Tak jarang hingga berujung pada perceraian.

Sekadar contoh, kasus perceraian yang masuk ke Pengadilan Agama Tangerang, sepanjang tahun 2021 sebanyak 4.564 kasus. Jumlah tersebut naik 14 persen dibanding tahun 2020 lalu.

Jumlah paling banyak kasus perceraian diajukan oleh pihak istri, yakni sebanyak 2.678 perkara. Sementara gugatan talak dari pihak suami 867 perkara.

Berdasarkan fakta tersebut, tentu membuat kita miris, di saat kondisi pandemi seharusnya suami istri bersinergi untuk mengatasi masalah. Bukan sebaliknya, memilih untuk berpisah.

Dalam sistem kapitalis sekuler kita dipaksa dijauhkan dari ajaran agama. Akibatnya masyarakat dalam bertindak tidak lagi merujuk pada ajaran agamanya, tapi cenderung berfikir pragmatis.

Memang perceraian merupakan hal yang diperbolehkan oleh agama, tetapi perceraian merupakan perkara yang dibenci Allah Swt. Andai setiap ada masalah selalu melibatkan agama, niscaya perceraian bisa dihindari dan diminimalisir.

Sebagaimana sabda Rasulullah saw:

“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan ditanya tentang kepemimpinannya. Seorang kepala negara adalah pemimpin, suami pemimpin dalam rumah tangga, istri pemimpin atas rumah suami dan anak-anaknya. Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya.” (HR. Bukhari).

Berdasarkan dalil di atas, tentu kita sadar sesungguhnya kita semua adalah pemimpin, dan tentunya apapun yang kita perbuat akan ada konsekuesinya di hadapan Allah Swt.

Sebagai kepala negara bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya. Maka harus memastikan seluruh rakyatnya bisa terpenuhi segala kebutuhan primer. Apabila sampai ada rakyat yang terlantar tentu berat pertanggungjawabannya di hadapan Allah Swt. 

Foto: Ilustrasi perceraian (Istimewa).

Seorang suami juga berkewajiban menjaga, melindungi serta mencukupi semua kebutuhan keluarga. Oleh karenanya suami wajib bekerja dan pemerintahlah yang berkewajiban menjamin ketersediaan lapangan pekerjaraan bagi para kepala keluarga.

Begitu pula bagi istri, berkewajiban mengurus dan mengatur rumah tangga, termasuk menjaga dan mendidik anak-anaknya. Sehingga anak bisa tumbuh kembang dengan penuh rasa bahagia.

Jadi baik kepala negara, suami, maupun istri sama-sama menyadari akan tanggung jawab dan kewajibannya. Namun yang terjadi saat ini justru sebaliknya.

Negara terkesan abai dengan hajat dan urusan rakyatnya. Mulai masalah pandemi yang belum bisa diatasi, sulitnya mencari lapangan pekerjaraan, mahalnya berbagai bahan pokok, yang semakin menambah beban bagi rakyatnya.

Ditambah lagi pemimpin keluarga/suami yang kurang ilmu dan iman, sehingga mudah emosi. Serampangan dalam bersikap dan mengambil keputusan. Tak jarang menyakiti sang istri dan anak-anaknya.

Begitupun istri yang seharusnya memiliki sifat keibuan yang lembut, penyayang dan pemaaf, dalam kondisi tertekan dan lemah iman, akan mudah terpancing emosinya dan tak jarang anak dijadikan tempat pelampiasan.

Dan bila masalah tidak segera diselesaikan, maka perceraian yang jadi pilihannya.

Jadi selama kita jauh dari ajaran agama, kasus perceraian akan terus meningkat. Dan korban utama dari setiap perceraian adalah anak. Apabila kondisi keluarga dalam suatu negara rapuh, maka kondisi bangsa juga menjadi lemah.

Negara bisa dikatakan kokoh apabila kokoh pula setiap keluarga di dalamnya. Dan keluarga bisa kokoh apabila, seluruh anggota keluarga dapat terpenuhi dengan baik semua kebutuhan primernya.

Dan itu semua bisa terwujud apabila mulai dari kepala negara, hingga rakyatnya sama-sama menyadari hakikat akan kewajiban. Dan sanggup melaksanakan setiap amanah yang diembannya.

Sebab kita semua akan kembali kepada Allah Swt dan bertanggung jawab atas semuanya. Wallahualam bissawab.

Ditulis oleh: Erna Ummu Aqilah.

Loading

VINUS TV

BERITA TERBARU

IKLAN

spot_img
spot_img

BERITA TERPOPULER

IKLAN

spot_img

BERITA TERKAIT

Bahlil dan Polemik Gas Melon

Politik Matahari Kembar

Mengakhiri Feodalisme Birokrasi

Krisis Keteladanan Pejabat Negara

Jokowi di Persimpangan: Golkar atau Gerindra?

IKLAN

spot_img

SEPUTAR BANTEN

IKLAN

spot_img

SEPUTAR DESA

Masyarakat Pasir Bolang Demo Alfamart