Oleh: Ubaidillah*
PERUBAHAN merupakan sesuatu yang pasti. Menerima perubahan bisa dimaknai kuat, menolaknya berarti lemah. Setiap hari, gerak perubahan itu terus terjadi.
Bagi pemuda, perubahan merupakan suatu yang dinanti. Umur sekian harus selesai kuliah, sudah menikah lantas punya anak. Selanjutnya menata karir dan hidup mapan.
Begitu rapih sebuah rencana. Namun, bagaimana jika rencana itu tidak sesuai dengan kenyataan?
Baca Juga
- Refleksi 7 Tahun UU Desa: Ingat, Desa Membangun, Bukan Membangun Desa
- Masih Ingat Polemik Pasar Sentiong? Ternyata Masih Belum Selesai, Kades Tobat Keluhkan Sikap Pemda
Ketika tidak sesuai dengan kenyataan, mulailah membandingkan keadaan. Dari sini asal mula muncul kesedihan. Berujung stres dan depresi. Terus-menerus memikirkannya.
Mari kita perjelas. Perubahan merupakan kepastian yang melahirkan ketidakpastian. Ketidakpastian melahirkan ketakutan, sementara ketakutan melahirkan konflik. Dan konflik melahirkan derita.
Gagasan tentang perubahan itu sendiri pertama kali dikatakan oleh Heraclitus. Dia menyatakan, panta rei kai uden menei (semuanya mengalir dan tidak sesuatu pun yang tetap tinggal).
Air sungai yang kita injak kemarin sesungguhnya tidak sama dengan hari ini. Karena setiap hal selalu berubah, maka terjadi semacam “perang” (polemos) antara dua situasi, di mana yang satu menggantikan yang lain.
Hari ini, umur 25 misalnya. Apakah masih sama saat usia 5 tahun? Jelas berubah, bukan? Terkadang banyak yang menerima perubahannya itu, tapi ada juga yang menolak.
Jika dahulu kita sangat imut, disenangi banyak orang. Sekarang lihat diri kita, apakah masih disenangi seperti dulu? Jangan-jangan ada yang cacat dalam fisik kita.
Bisa jadi dahulu hidup kita mapan, serba ada. Namun, sekarang menjadi sampah masyarakat, hidup menganggur, serta tidak punya skill.
Sikap pribadi dalam melihat perubahan reaksinya berbeda-beda. Ada yang kawatir, cemas, takut, bahkan prustasi. Bagus jika sebaliknya: optimis, bahagia, senang, dan barangkali gembira.
Negatifnya kadang berbuah konflik tak berkesudahan. Mengutuk diri, menyalahkan orang, dan tidak terima. Juga merasa terancam. Takut nama baiknya tercoreng, kekuasaannya hilang, jatuh miskin, dan ancaman lainnya yang sulit diterima.
Karena enggan menyikapinya. Ada yang marah, iri, dengki, kesal, jengkel, sampai menaruh benci yang mendalam. Terjadi konflik tak berkesudahan. Seolah harus ada orang yang disalahkan. Di wilayah ini bisa saja Tuhan menjadi sasaran.
Jika perubahan mengancam posisi, itu akan menjadi derita. Karena ketidaksiapan kita sebagai manusia.
Kita ambil contoh kasus Mentri Sosial. Sepertinya ada yang merasa terganggu dengan gerakan mantan Walikota Surabaya di Jakarta: blusukan.
Lantas, mengapa niat baik Risma seolah tidak diterima. Ada apa? Mungkin pendukung Anis takut popularitasnya tergantikan. Ya, bisa jadi. Siapa yang tidak gelisah jika ada pesaing.
Bukankah sang Mentri itu bilang bahwa Ia tak berniat merangkai skenario apapun ketika bertemu para pemulung? Aksi blusukan dilakukan secara spontan dan tidak masuk sebagai agenda resmi.
Seperti dikatakan Wagub DKI Jakarta, blusukan atau cek lapangan itu sesuatu yang baik. Karena setiap pemimpin tidak boleh dan tidak cukup hanya melihat data serta hanya mendengarkan laporan sepihak.
Tapi begitulah perubahan, banyak orang berharap bisa menjadi pahlawan. Tampaknya ada orang yang tidak mau jika pahlawan itu adalah orang lain.
Aksi blusukan Risma menghadirkan kepanikan. Memang menerima fakta itu berat, bisa panik, juga gelisah. Di wilayah ini sering terjadi distorsi persepektif. Karena adanya fakta yang tidak mau diterima.
Dalam hal ini penulis sepakat dengan pernyataan Wagub DKI Jakarta, blusukan itu sesuatu yang baik. Jika demikian, maka Bu Risma harusnya disupport, bukan malah dipolisikan. Bahkan, jika perlu, Presiden juga kembali blusukan. Seperti yang dilakukan dulu. Di Solo dan Jakarta.
Saya setuju ada pemimpin yang mau silaturrahmi. Datang menengok dan melihat keadaan. Ketimbang duduk melihat data.
Dengan begitu, hidup terasa menggembirakan. Seperti diungkapkan Anggota DPR RI Dedi Mulyadi: Yang takut dituntun, yang bodoh diarahkan. “Nulung kanu butuh, nalang kanu susah, nyaangan kanu poekeun, mere kanu daek, nganterkeun kanu sieun”.
Perubahan menuntut kita untuk bisa setia kepada fakta. Contoh di atas hanyalah sebagai ilustrasi, betapa takutnya orang terancam akan popularitas “nama”.
Terkadang kita hanya perlu mengakui dan menerima kenyataan apa adanya. Berdamailah. Dengan begitu, kita akan selalu siap menerima segala arah gerak perubahan.
*Penulis adalah mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Banten.