BELAKANGAN, kita sering melihat pemuda yang kerap lalu-lalang. Hilir mudik. Pindah dari satu, ke tempat lain. Padahal jika dipelajari, tidak memahami tugas dan fungsinya. Kurang begitu mengerti peran yang harus dimainkan.
Dalam dinamika kehidupan, harusnya kita mengetahui dengan pasti peran pemuda. Terlebih adanya keharusan turut serta dalam pergerakan dan pembangunan. Baik negara maupun daerah. Namun realitas yang berjalan, cenderung mengalami distorsi.
Seorang pemuda harus memiliki pemikiran yang progresif, intelek, moral, jiwa tangguh, sekaligus pendirian yang teguh. Itu identitas pemuda sesungguhnya. Terpatri segala karakter positif.
Fakta yang ada, berbanding terbalik. Generasi milenial umumnya memiliki sifat yang cenderung apatis. Tidak peduli terhadap persoalan sosial, individualis, juga malas berfikir. Bagaimana dengan wacana dialektiaka seperti menulis dan diskusi? Pemuda kebanyakan malah betul-betul tidak tertarik.
Padahal, jika melihat sejarah bangsa ini, pemuda memiliki peran yang sangat besar bagi kemerdekaan Indonesia. Mereka menjadi penggerak kebangkitan bangsa. Adanya desakan kepada Presiden Soekarno untuk mempercepat pembacaan teks proklamasi adalah bukti kongkrit. Sebuah momen yang sangat penting bagi negeri ini: kemerdekaan Indonesia.
Selain itu, ada tonggak sejarah maha penting bagi kebangkitan bangsa; Sumpah Pemuda. Perhelatan terbesar awal abad ke-19 itu merupakan keputusan Kongres Pemuda Kedua. Diselenggarakan selama dua hari, 27-28 Oktober 1928. Berlokasi di Batavia. Saat itu pemuda betul-betul berada dalam posisi yang strategis. Memerankan fungsinya.
Sejak itu, setiap tanggal 28 Oktober diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda. Mengahasilkan setidaknya tiga butir. Ditulis Moehammad Yamin; bertanah satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu: Indonesia
Bertanah satu. Bahwa setiap pemuda Indonesia berjuang hingga darah penghabisan untuk menjunjung tinggi tanah air Indonesia. Pemuda saat itu gigih dalam berjuang. Merebut kemerdekaan. Yang hampir 3,5 abad direnggut kolonial.
Berbangsa Indonesia. Para pemuda berjuang untuk membela bangsa Indonesia. Agar kemudian memiliki jati diri yang sesuai dengan tradisi yang sudah melekat ratusan tahun silam. Pemuda dalam hal ini, merasa perlu hadirkan jati dirinya. Sebagai bangsa Indonesia.
Terakhir, berbahasa Indonesia. Kumpulan kepulauan ini memiliki keragaman budaya, suku, dan bahasa, sehingga bahasa Indonesia digunakan sebagai media pemersatu. Menyatukan dari ujung timur dengan barat. Utara dan selatan. Menjadi bagian tak terpisahkan.
Bagaimana dengan posisi pemuda hari ini? Pandangan penulis, ada semacam kenyataan, yang mana pemuda cenderung tidak peduli. Sikap masa bodoh sudah menjadi semacam tabiat. Cuek pada permasalahan sosial yang ada di lingkungan daerahnya. Juga terlalu apatis. Tidak memikirkan pembangunan.
Dewasa ini, kita lebih sering melihat para pemuda berada di bioskop atau cafe. Mereka rela ngantri berjam-jam untuk sekadar mendapat tiket CGV misalnya. Sibuk menata fasion yang tranding dan modis. Terbuai dalam dilema sinetron. Senang berurusan dengan kekerasan.
Era gedget ini, pemuda lebih asik dengan medsos. Jika duduk berempat, tegur sapa dan canda gurau tidak begitu utama. Semua membungkuk di hadapan handphone. Apalagi untuk diskusi. Sesuatu yang jarang dan langka ditemui. Android menjadi semacam kegandrungan.
Pemuda hari ini terus sibuk dengan hal-hal yang berkaitan dengan dunia. Pragmatis, dan mendasar pada benefit semata. Gerak dan tingkahnya melulu dilandasi oleh apa yang ia terima. Bukan apa yang bisa diberikan. Betul-betul salah kaprah.
Jarang sekali mendengar pemuda yang peduli dan memberi kontribusi terhadap pemikiran. Memberi pandangan dan gagasan bagi pembangunan daerah misalnya. Pemuda semakin jauh dari kesetiakawanan. Mereka sibuk dengan dunianya masing-masing.
Padahal, pemuda adalah salah satu bagian yang menjadi ujung tombak dalam perjuangan rakyat. Sebagai Agen perubaha sosial. Agent of change dan agent of control inilah dua gelar yang diberikan masyarakat pada pemuda yang melambangkan kekuatannya. Jika berfungsi, efeknya begitu dahsyat. Bagi daerah maupun masyarakat sekitar.
Meminjam isitlah Tan Malaka: Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah lantas menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak di berikan sama sekali.
– Oleh:Muhamad Riziq Shihab (Penulis adalah Sekretaris PC IPNU Kabupaten Tangerang)