SUASANA Idulfitri tahun ini, 01 Syawal 1444 H begitu beda. Istimewa dan pas. Karena dua hari seusai merayakan lebaran, bertepatan pula dengan hari kelahiran Gerakan Pemuda Ansor.
Setelah sebulan lamanya, berjuang mengendalikan hawa nafsu. Kini saatnya meraih kemenangan. Kemenangan ini sering kita rasakan, setiap tahunnya, sebagai keistimewaan.
Dan, sebagai umat Islam, tentu tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk bersilaturahmi bersama handai taulan, berbagi, saling berbaikan dan bermaafan. Mengisi hari raya dengan gembira.
Untuk itulah, kemudian orang ramai, menyebutnya dengan tradisi mudik Lebaran. Momentum inilah yang kita rasakan begitu mendalam dan berbeda. Namun, di sini, penulis tidak sedang membahas itu lebih jauh. Karena, sudah banyak bertebaran para da’i atau penulis, yang menerangkan, tentang hikmah Idulfitri ini.
Kelahiran Ansor
Sebagai kaum Muda Nahdliyyin, sudah barang tentu, kita tergerak dan tidak pernah lupa dengan momen di mana organisasi kepemudaan itu dilahirkan. Yah, organisasi yang dibidani Mbah Wahab Hasbullah inilah, yang sampai saat ini, tetap konsisten dan setia. Menjaga keutuhan NKRI yang berasaskan nilai-nilai ahlussunah wal jama’ah.
Baca Juga
- Seri Pengajian Ramadan: Mewaspadai Riya Terselubung
- Seri Pengajian Ramadan: Meninggalkan Kemubahan untuk Peningkatan Maqom
Sebagai badan otonom atau Banom NU yang ber-jam’iyyah, diniyyah, dan ijtima’iyyah, Ansor dulu pernah bernama Ansoru Nahdlatul Oelama (ANO). Dan tahun ini, tepat memasuki usianya yang ke-89 tahun. Dari dulu hingga sekarang, Ansor masih tetap konsisten. Tidak pernah tanggung-tanggung dalam berkontribusi memperjuangkan agama dan mengawal keutuhan Republik Indonesia.
Sejarah mencatat, bahwa organisasi yang didirikan pada tahun hijriah 10 Muharam 1353 ini, diwarnai oleh semangat perjuangan, nasionalisme, pembebasan, dan epos kepahlawanan.
Dan tepat pada hitungan kalender masehi, 24 April 1934, Ansor terlahir dalam suasana keterpaduan. Antara kepeloporan pemuda pasca sumpah pemuda, semangat kebangsaan, kerakyatan, dan sekaligus spirit keagamaan.
Karenanya, dalam catatan sejarah; Laskar Hizbullah, Barisan Kepanduan Ansor, dan Banser (Barisan Serbaguna) adalah bentuk perjuangan Ansor yang tak terelakkan. Apalagi saat melawan penjajahan dan penumpasan G 30 S/PKI, peran Ansor begitu menonjol.
Dengan berprinsip pada, Tasamuh: Sikap terpuji; Tawasut: Tidak memihak; Tawasut: Tidak ekstrem; dan I’tidal: Tegak lurus dan adil. Keberadaan Ansor, yang saat ini dinakhodai Gus Yaqut sekaligus Menteri Agama RI, selalu berupaya mencitrakan Islam sebagai agama ramah dan inklusif.
Hal itu bisa kita lihat, mulai dari Pimpinan Pusat, Wilayah, Cabang, Anak Cabang, sampai ke Pimpinan Ranting (Desa). Ansor, semenjak kelahirannya di Banyuwangi, Jawa Timur, terbukti serentak hadir dan turut andil dalam menghiasi tumbuh kembangnya dinamika keumatan dan kebangsaan sampai di seluruh Indonesia.
Terlebih seperti saat ini, memasuki era Generasi Society 5.0, menjalankan tugas dan misi Ansor bukanlah perkara mudah, banyak tantangan dan rongrongan, baik yang terang-terangan maupun yang terselubung, terutama dari ideologi ekstrem.
Militansi untuk Negeri
Dalam kondisi pelik begitulah, satu-satunya cara terbaik, adalah dengan selalu berkomitmen pada jamaah. Yaitu bersama dan membela kepentingan masyarakat banyak.
Sebagaimana pernah disebutkan oleh KH Said Aqil Siradj (Mantan Ketum PBNU) bahwa, Ansor harus tampil di garis depan perjuangan NU untuk membentengi ajaran Islam ahlussunnah wal jamaah. Sebab, ajaran ini adalah misi kenabian. Secara qaulan, wa fi’lan, wa taqriran (sabda, tindakan, dan kesepakatan).
Senada dengan pernyataan di atas, KH. Yahya Cholil Staquf meyakini bahwa proses kaderisasi yang dilakukan Ansor, bakal menjadi garda terdepan dalam menjalankan tugas atau misi-misi NU. Terutama berkaitan dengan agenda pemberdayaan sumber daya manusia (SDM) dan memperkuat keislaman dan kebhinekaan.
“Gerakan Pemuda Ansor adalah elemen kinetik dalam Nahdlatul Ulama, komponen yang paling banyak bergerak,” tulis Gus Yahya sapaan akrab KH. Yahya Cholil Staquf (Ketua Umum PBNU 2021-2026) dalam satu cuitan Twitternya.
“Mau tidak mau kalau Nahdlatul Ulama punya kerjaan, seharusnya yang paling banyak bergerak adalah Ansor,” tambahnya.
Dengan demikian jelas, Ansor bukan hanya sebatas Ansaru (Penolong) Nahdlatul Ulama, akan tetapi lebih jauh lagi menjadi Ansarul Islam, Ansarullah, dan Ansarul Wathan (pembela tanah air).
Dalam mengemban amanah yang tidak ringan itu, yakni: tanggung jawab agama, negara, dan bangsa. Prof. Dr. Misri A. Muchsin, Ketua LP Maarif PWNU Aceh, seperti dilansir NU Online, dalam hal ini menuliskan:
Ansor NU perlu mengerahkan sekuat tenaga, mengingat peran besar yang diemban cukup berat, yakni sebagai syuhudu hadhari (penggerak peradaban) bangsa, bahkan berperan sebagai syuhud tsaqafi (penggerak intelektual) dalam membangun dan menyangga bangsa ini.
Selain pentingnya penguatan dan pengembangan kualitas sumber daya kader. Muchsin, yang juga sebagai Dosen UIN Ar-Raniry Banda Aceh ini, melanjutkan: Ansor harus senantiasa aktif terlibat dalam dinamika sosial yang sedang berkembang, baik pada tingkat lokal, regional, bahkan tingkat nasional dalam kerangka dasar keagamaan dan kebangsaan.
Dalam melaksanakan itu semua, imbuhnya, Ansor harus memantapkan dirinya terhadap Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) sebagai manhajul fikr yaitu metode berpikir yang digariskan oleh para sahabat Nabi dan Tabi’in.
Nalar Gerakan Ansor
Dalam pergerakan organisasi, Ansor selalu membekali diri dengan sikap kehati-hatian, kejelian, kecermatan serta kearifan dalam memahami dinamika sesuai isyarat zaman. Sebagaimana kaidah fikih, mengatakan:
تصرف الإمام منوط بالمصلحة الرعية
(Tasharruful Imam Manuthun bil Maslahathir Ro’iyah). Artinya: Kebijakan seorang pemimpin haruslah berlandaskan kepada kemaslahatan orang banyak atau masyarakat.
Sehingga, ketika Ansor berusaha melakukan penguatan terhadap ideologi kader, visi-misi, interpretasi, persepsi dan orientasi organisasi, maka sudah sepatutnya-lah, harus ditindaklanjuti melalui gerakan, tindakan, aksi dan reaksi organisasi.
Dari kaidah tersebut, sungguh relevan apa yang telah diposting, pada 31 Agustus 2018, oleh akun Twitter @Official Gerakan Pemuda Ansor, dalam Pesan Gerakan Gus Yahya untuk Banser.:
(1) Rapatkanlah barisan wahai para pejuang negeri dan benteng para ulama. Dengarkan dan patuhi aba-aba;
(2) Kalian dilatih untuk menjaga Negara dan mencegah kerusakan. Kalian bukan gerombolan gagah-gagahan. Kalian tidak seperti mereka, kumpulan sangkrah got pecundang peradaban;
(3) Kalian bertindak saat diperlukan, bergerak dengan ukuran, mengarah tepat sasaran. Irama sesuai aba-aba;
(4) Menang-kalah kalian bukan demi pribadi atau kelompok, tapi demi semua, termasuk mereka juga, yang memusuhi kalian karena mereka terjebak angkara dan kebodohan;
(5) Bekal utama kalian adalah kebersihan hati dari rakus dan jumawa, serta kelapangan dada menghadapi si bodoh dan si dengki;
(6) Semoga Allah memelihara ingatan kalian akan cita-cita peradaban, melindungi kalian sepanjang jalan, mengaruniai kalian dengan yang jauh lebih agung dan indah daripada sekedar terima kasih manusia. Amin.
Dengan demikian, menghadapi dinamika realitas zaman yang terus bergerak, nalar gerakan Ansor ini harus seirima dengan perwujudan dan perubahan yang melahirkan sikap proaktif, kritis, humanis, professional, dan inovatif. Berangkat dari itu semua, maka upaya merealisasikan ideologi berbasis kaderisasi akan mudah terwujud.
Kaderisasi Berbasis Realitas
Menurut Ruchman Basori, (2021). Sebagai bentuk penegasan eksistensi kaum muda yang berkhidmah untuk bangsa. Maka visi besar kaderisasi Ansor perlu dikawal dengan baik. Antara dunia nyata dan dunia maya, antara online dan offline atau media luring dan daring. Melalui empat misinya, yaitu:
Pertama, merevitalisasi nilai dan tradisi Islam ahlussunnah wal jama’ah melalui internalisasi nilai dan sifat Rasul dalam Gerakan Pemuda Ansor.
Kedua, memperkuat sistem kaderisasi dengan membangun disiplin organisasi dan kaderisasi yang berbasis profesi. Program kaderisasi ideologis seperti PKD, PKL dan PKN untuk kalangan Ansor dan Diklatsar, Susbalan dan Susbanpim untuk Banser. Hal ini harus massif dilakukan. Sementara kaderisasi berbasis profesi dilakukan dengan cara mendistribusikan kader ke pelbagai sektor khidmah berbangsa, seperti di lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Ketiga, memberdayakan potensi kader dengan menjadikan organisasi sebagai sentrum lalu lintas, informasi, peluang usaha, dan stakeholder.
Keempat, mengakselerasi kemandirian organisasi melalui pemanfaatan teknologi informasi, dan mengoptimalisasi jaringan dan amal usaha organisasi. (Ruchman Basori, Sindo, 2021).
Dengan demikian, Ansor, sebagai generasi penerus bangsa, yang memiliki kader di berbagai penjuru Nusantara, memiliki andil besar dalam berperan sebagai: Agen Perubahan, Agen Pembangunan, dan Agen Pembaharuan.
Tiga peranan ini mesti diinternalisasikan dengan ikut mendukung perubahan-perubahan dalam lingkungan masyarakat, baik secara nasional maupun daerah. Terutama dalam pengembangan potensi dan produktifitas generasi muda Indonesia.
Perenungan Harlah ke-89 Ansor
Memaknai Hari Lahir ke-89 Gerakan Pemuda Ansor harus dimulai dari kesadaran diri: Dari hati sanubari yang paling dalam. Ia harus punya syarat nilai, namun strategis. Sebagaimana kita maknai lebaran di setiap tahunnya.
Usia 89 merupakan usia yang sangat matang dan mantap. Berisi, dan penuh hikmah. Tidak ada pilihan kecuali fokus pada perbaikan diri, integritas, dan kualitas kader, yang berkomitmen terhadap organisasi. Terlebih lagi, bagi kader-kader Ansor-Banser yang lulus kaderisasi: baik PKD, PKL, Diklatsar atau Susbalan dan seterusnya.
Kini tidak bisa ditawar-tawar, Kader Ansor harus bisa menjadi cerminan bagi kader-kader organisasi lain. Intinya, pengurus Ansor itu “ngurusi.” Bukan malah menjadi “urusan.” Apalagi justru menjadi benalu bagi kemajuan Ansor.
Menjelang seabad usia Ansor, hendaknya Ansor masa kini, mampu mengisi kegiatan-kegiatan yang bermanfaat untuk kebesaran Ansor, seperti meminimalisir konflik internal pengurus.
Sebab perubahan global di era Society 5.0 seperti sekarang ini sudah tak terbendung. Saatnya sahabat Ansor menyambutnya dengan percaya diri, tidak gagap. Sehingga organisasi Ansor sudah tidak lagi dipandang sebelah mata. Berjalan sesuai dengan visinya, yaitu terwujudnya Gerakan Pemuda Ansor yang teguh dan mandiri sebagai pengawal eksistensi Islam ahlussunnah wal ajama’ah dan NKRI.
Dan tentu saja, lagi-lagi, itu semua takkan bisa terbukti selain kembali kepada komitmen awal perjuangan kala organisasi ini dilahirkan. Yakni, terlahir sebagai organisasi kepemudaan, kemasyarakatan, kebangsaan, dan keagamaan yang berwatak kerakyatan.
Oleh karenanya, di setiap perjuangannya itu butuh ketelitian, menghitung situasi dan kondisi, di samping kebulatan niat yang disertai tawakal.
Dalam hal ini, patut kita renungkan Trilogi Perjuangan Nahdlatul Ulama, yang dulu pernah dicetuskan oleh KH. Idham Chalid, yaitu: Sadar akan prinsip kita sendiri, sadar akan prinsip orang lain, dan sadar akan situasi dan kondisi.
Banyak orang senang menjabat sebagai pengurus, tapi tidak senang mengurus. Menjadi seorang pengurus tentu saja harus mau mengurus, harus bekerja menurut tugasnya. Ketika ini terjadi, lalu apa senangnya menjadi pengurus ketika tidak bersedia mengurus?
K.H. Hasyim Muzadi (Mantan Ketua Umum PBNU) dalam persoalan ini menegaskan, pengurus seperti ini hanya menjadi pengurus yang tidak ada maknanya.
Ber-Ansor itu bukan tentang siapa menjabat apa. Tetapi, ber-Ansor itu adalah tentang kesiapan kita dalam berbakti. Bukan memandang, pemimpin kita hari ini status sosialnya sebagai apa? Tapi seberapa jauhkah, kita konsisten membela kepentingan orang banyak. Siapkah kita komitmen membela kepentingan umat dan bangsa.
Jadi, apabila bersedia menjadi pengurus, maka kita harus mempunyai ruh al-jihad yang dimulai dari diri sendiri (ibda binafsik) dan meminta nasihat dari hati nurani (istafti qalbaka).
Pengurus harus bisa menjadi contoh kebaikan bagi masyarakatnya. Apa yang dikerjakan pengurus harus berdasarkan panggilan hati yang bersih supaya bernilai ibadah dan barakah.
إذا صلح بدايته صلح نهياته
“Ketika mulainya dengan (niat) baik, (dikerjakan dengan baik), maka akan berakhir dengan baik pula.”
Mengakhiri tulisan ini, maka dapat diintisarikan, bahwa refleksi Harlah ke-89 Ansor, yang kebetulan tepat dengan suasana Idul Fitri 1444 H, hendaknya kita jadikan Kemenangan Fitri sebagai kematangan berorganisasi, yang konsisten membela kepentingan bangsa dan berbakti untuk negeri. Dengan perbaikan dimulai dari diri sendiri, atas izin Allah SWT. ma’unah (pertolongan) berangsur-angsur akan mendampingi kita.
Dalam al-Ma’idah ayat 105:
يا ايها الذين امنوا عليكم أنفسكم لا يضركم من ضل إذا اهتديتم إلى الله مرجعكم جميعا فينبئكم بما كنتم تعملون
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian; tiadalah orang yang sesat itu akan memberikan bahaya kepada kalian apabila kalian telah mendapatkan petunjuk. Hanya kepada Allah kalian kembali semuanya, maka Dia akan menerangkan kepada kalian apa yang telah kalian kerjakan.”
أصلح لك الناس يصلح لك الناس
“Perbaikilah dirimu sendiri maka orang-orang akan ikut berbenah kepadamu.”
Ansor Maju Satu Barisan
Bela Agama, Bangsa, dan Negeri
Selamat Harlah ke-89 Ansor
Ditulis oleh: Ahmad Syaikhu. Kader Ansor Kabupaten Tangerang.