
MAHKAMAH Konstitusi telah menggelar sidang lanjutan uji materi terhadap tiga undang-undang, diantaranya Pasal 30 ayat (1) huruf d UU No. 16 / 2004 Tentang Kejaksaan RI, Pasal 39 UU No. 31 / 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) khusus frasa “atau kejaksaan”, Pasal 50 ayat (4), khusus frasa “dan/atau kejaksaan” UU No.30/2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Bahwa uji materi sebagaimana maksud di atas terdaftar dengan perkara nomor 28/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh pemohon Advokat M. Jasin Jamaluddin, terkait kewenangan penyidikan kejaksaan dalam tindak pidana korupsi.
Sebagaimana pada intinya, pemohon menilai ketentuan Pasal 30 ayat (1) huruf d UU No. 16 / 2004 Tentang Kejaksaan RI yang memberikan kewenangan penyidikan kepada kejaksaan telah membuat jaksa dapat sewenang-wenang dalam proses penyidikan.
Sebab proses pra-penuntutan atas penyidikan yang dilakukan oleh kejaksaan dilakukan segaligus oleh jaksa. Sehingga tidak ada kontrol lembaga lain.
Baca Juga
Dalam hal ini kejaksaan dianggap terlalu super power dalam melakukan penegakan hukum. Sehingga diferensiasi fungsional sebagaimana diatur di dalam KUHAP tidak berjalan dengan baik.
Bahwa terkait dengan Uji Materi Undang-Undang Kejaksaan RI tentang diferensiasi fungsional yang dimohonkan tersebut, sebagaimana telah diatur dalam KUHAP, yaitu pemisahan kewenangan di masing-masing lembaga seperti penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan.
Hal ini menjadi persoalan yang obscuur libel alias mengaburkan fungsi sebenarnya sebagai penegak hukum modern yang memiliki fungsi kordinasi, sinergitas, dan kolaboratif. Sehingga jika dikaitkan dengan permohonan tersebut dengan diferensasi, maka permohonan pengujian materi Undang-Undang Kejaksaan tersebut telah mencederai konstitusi.
Tidak ada satupun lembaga negara pasca amandemen Undang-Undang Dasar NRI 1945 yang memiliki kewenangan absolut dari sisi penegakan hukum termasuk jaksa sebagai dominus litis ( pengendali perkara ).
Maka dengan upaya Pengujian Materi Undang-Undang Kejaksaan RI dapat menyebabkan terjadinya polarisasi kelembagaan penegak hukum di Indonesia.
Antar lembaga penegak hukum akan terkotak-kotakan fungsinya masing-masing dan menjauhkan sinergitas serta kolaborasi antar lembaga dalam penangan perkara khususnya korupsi. Sehingga dalam penegakan hukumnya akan berpotensi menimbulkan ketidakpastian dan kemanfaatan hukum.
Bahwa dalam hal ini Mahkamah Konstitusi sudah semestinya menolak permohonan pengujian materi tersebut, sebab didasarkan kepada wewenang kejaksaan dalam melakukan penyidikan tidak hanya diatur dalam Undang-Undang Kejaksaan saja, melainkan lebih dari itu juga diatur.
Dalam Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi, Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, dan Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Serta Kejaksaan juga telah memiliki sejarah panjang dalam penyidikan perkara Mega Korupsi, salah satunya pernah menjadi Koordinator Penyidik Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor) pada tahun 1998.
*Ditulis Oleh: Natania Andjali Ramadina Hartawan. Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pamulang.