Oleh: Aa Bass*
BANTEN identik dengan “jawara”. Juga “santri”. Wilayah paling ujung barat pulau Jawa ini menyimpan sejuta cerita, dari klenik hingga kesaktian mandraguna.
Banten dari asal muasal “bantah” atau membantah. Dalam artian berani menolak sesuatu yang dianggap “salah” sekalipun harus nyawa meregang. Karakter orang Banten non kooperatif pada kezaliman. Lebih baik istana hancur lebur daripada jatuh ke tangan musuh.
Banten sebagai negara berdaulat (kerajaan Islam) sempat gemilang pada zamannya, bahkan pada generasi kedua, setelah sultan Hasanuddin turun tahta, Banten tercatat sebagai kota keadaban sekaligus peradaban.
Ini diapresiasi dalam Cerat Centini, banyak pengkaji dari luar Banten, datang untuk mengobati dahaga akan ilmu pengeweruh tentang agama, pun kesakten. Pesantren Karang sebagai pusatnya. Era Cicit Hasanuddin itu Banten intens terhadap pembentukan karakter building atau pemberdayaan sumberdaya manusia.
Baca Juga
Hingga tak heran jika manuskrip warisan cendikiawan Banten itu jumlahnya melimpah ruah, kini tersimpan di museum negeri kincir angin.
Barat dalam hal ini Belanda, menjajah Nusantara tidak serta merta hanya menguras kekayaan negeri nusantara berupa harta benda, tetapi kekayaan intelektual pun mereka boyong.
Kaca pandang kolonialisme selalu memandang rendah bangsa pribumi, bahkan dianggap bodoh, ternyata memiliki makna secara psikologis sekaligus politis agar warga pribumi minder. Di samping secara politis warga pribumi dibuat bodoh.
Tidak boleh sekolah, kecuali kaum ninggrat. Ditambah era dulu yang bisa bersetuhan dengan dunia ilmu pengetahuan memang kaum borju anak raja atau kaum brahmana.
Tak harus diingkari karena jejak hindu memang nyata ada di nusantara. Santri pun sesungguhnya merupakan idiom dari Shastri, bahasa sansekerta yang memilik makna kaum yang membaca, atau dalam hindu mereka yang ahli kitab hindu.
Akses pendidikan era itu mutlak milik kaum bangsawan. Sehingga rakyat jelata tetap saja dalam gurita kebodohan sepanjang masa.
Semburat cinta mulai tampak manakala langit jazirah mekah bak purnama bertabur cahaya. Kala itu terlahir manusia istimewa yang kelak di sebut sebagai nabi akhir zaman.
Kemilau cahaya itu, sesuai hukum kecepatan cahaya memancar sampai Banten. Singkat cerita Abad 13 ajaran Islam secara signifikan telah mengakar bahkan di Jawa berdiri kerajaan Islam.
Islam salah satu kelebihannya tidak mengenal istilah kasta dalam status sosial. Sehingga sekalipun hamba sahaya, atau kaum sudra bisa mulia asalkan berkepribadian luhur dalam tingkah laku.
Dari Islam itu sebagai ajaran, merubah tradisi shastri menjadi santri tempatnya disebut pesantren bisa diakses oleh semua kalangan baik priyai ataupun rakyat biasa. Pesantren pada masa itu mirip, mihrabnya era Rasulullah. Tempat mendadar kaum cerdik pandai sahabat utama.
Tak heran Santri kala itu merupakan agen of change. Sebut saja tokoh-tokoh pergerakan nasional mereka sebelum mengenyang pendidikan Londo adalah santri. Bahkan dalam satu kisah beredar riwayat shahih bahwa Soekarno pernah Riyadhah Bathin, ngelmu di pamuragan.
Jadi, Santri dengan pesantrennya adalah sub kultur yang merupakan warisan leluhur bijak bestari bumi pertiwi bernama Indonesia.
Era Wahidin Halim pesantren masuk program primadona. Kenapa demikian? Barangkali karena selama ini pesantren tradisional hanya dianggap sebagai tempat orang-orang terbelakang. Didatangi hanya waktu pemilu untuk mohon do’a restu kyai, atau agar dianggap saleh mendekat kyai dengan buah tangan sarung bertuliskan tiga huruf. Hanya sebatas itu pesantren dianggap ada.
Tetapi kini seiring zaman ternyata pesantren dengan segala keunikannya, mampu paling tidak sebagai benteng umat dari rongrongan sampah peradaban pun limbah pemahaman agama parsial.
Ternyata santri mampu dengan mudah terhindar dari faham radikalis. Dari itu pengajian model liqo tak pernah mampu mengakar pada mahasiswa yang berlatar belakang pesantren yang mengadopsi kitab kuning ciri khas pesantren Nusantara.
Hibah Pesantren
Banten merupakan salah satu berkah dari reformasi, karena tokoh Banten berjuang menjadikan daerah otonom sebagai provinsi sudah cukup panjang. Melewati dua rezim pemerintahan: Orde Lama dan Orde Baru.
Sebagai daerah otonom lahir di era reformasi tentu ada sejuta harap dalam benak warga Banten. Terkhusus kalangan pesantren.
Jejak pesantren di Banten yang layak jadi cagar budaya, karena merupakan saksi perjalanan juang bangsa masih eksis ada, lengkap dengan tradisi uniknya.
Pesantren di Banten merupakan ikon tersendiri, karena Banten merupakan gudang kyai, sementara pesantren sebagai wadah, sekaligus jejaring bagi kyai satu dan lainya.
Ini yang dinamakan oleh Zamakhsari Dhofeir sebagai jejaring bagi komunitas pesantren. Tak jarang dari satu pesantren ke pesantren lain terjalin ikatan baik malalui ikatan guru- murid (sanad keilmuan), disamping ikatan mertua atau menatu.
Ada juga keterkaitan visiting santri, antara satu pesantren dengan pesantren lain. Bentuknya bisa seperti pasaran biasanya dalam momen bulan suci, atau setelah Idulfutri. Ada juga dalam bentuk berdiaspora antar alumni pesantren satu ke pesantren lain dalam rangka menambah wawasan bidang keilmuan yang berbeda.
Karena tiap pesantren memiliki khas apesialisasi fan ilmu (disiplin keilmuan). Misalnya pesantren Caringin khusus spesialisasi fiqh Fathul Mu’in. Sementara pesantren Kadu Kawang spesialisasinya ilmu nahu yang diulas dalam kitab alfiyah ibn Malik.
Perjalanan nyantri dari satu pesantren ke pesantren lain itu dinamakan “Santri Kelana”. Istilah dalam hasil riset Dhofeir. Dari itu Abuya Dimyati orang tua dari Abuya Muhtadi Pandeglang pun sempat menjadi santri kelana mulai daerah tatar sunda hingga daerah “Ganjar Pranowo”.
Bahkan Syekh Nawawi al-Bantani di samping wilayah Nusantara beliau berkelana sampai negeri di mana baitullah berada. Itu semua ditempuh dalam rangka mengkaji berbagai disiplin keilmuan. Sehingga menghasilkan santri unggul yang komprehensif dalam pemahaman keagamaan.
Kembali kepada pesantren sebagai program “primadona” Wahidin Halim. Ini sesungguhnya langkah awal yang patut diapresiasi. Karena bagaimapun pesantren memiliki andil besar terhadap pembentukan character building masyarakat Banten.
Terlebih Banten memiliki motto “Iman, Takwa, dan Berakhlakul Karimah”. Harapan penulis program primadona pesantren itu tak melulu berupa “recehan”. Melainkan terkait langsung dengan peningkatan keadaban pesantren.
Pesantren mampu menerapkan fiqh thaharah tidak hanya dalam ibadah mahdah, melainkan diterapkan dengan pembiasaan perilaku hidup sehat misalnya. Itu tujuannya.
Dari itu wajar jika ada bantuan penyediaan sarana air bersih plus MCK. Atau wakaf kitab kuning bagi santri, juga kyainya.
Jika pemangku kebijakan ingin memberikan sedikit penghormatan kepada sang kyai atau guru ngaji bukankah bisa dianggarkan dengan istilah insentif kyai dan guru ngaji yg distribusinya bisa langsung ke rekening kyai dibayarkan tiap bulan atau per triwulan.
Itu hanya sebatas catatan, karena warga pesantren se-Banten resah sekaligus gelisah karena dana hibah pesantren bermasalah.
Terkait dana hibah pesantren bermasalah Itu soal lain. Pesantren harus tetap menjadi prioritas. Alasannya karena Banten tanpa pesantren akan tercerabut dari sejarah Banten itu sendiri.
Bahkan penulis berandai, di era WH ini ada pusat kitab kajian kitab kuning ulama Banten. Sehingga kejayaan era cicit Sultan Agung Banten terulang kembali. Banten menjadi pusat peradaban kitab kuning di Nusantara.
Sama seperti jayanya Nusantara ketika masa kerajaan Ho-Ling dan Salakanagara (terkait dengan Banten pra Islam) kerajaan tertua di Nusantara. Kala itupun menjadi pusat peradaban literasi agama Hindu-Budha. Tak heran sisa kejayaannya kini masih bisa kita saksikan yaitu megahnya Borobudur.
Ajaran Hindu Nusantara merupakan khas Nusantara berbeda dengan Hindu di India. Di India seorang raja dari kasta ksatria, tetapi di Nusantara seorang raja sekaligus resi. Juga ada istilah sabda pandita ratu.
* Penulis adalah Koordinator Kajian, Pendidikan, Kaderisasi, dan Pemeliharaan Tradisi RMI PWNU Provinsi Banten. Saat ini menjabat Ketua Lakpesdam PCNU Kabupaten Tangerang.