Oleh: Akhmad Basuni
ZAMAKHSYARI DHOFIER dalam bukunya Tradisi Pesantren menyatakan, pesantren di Nusantara telah eksis sejak tahun 1200 Masehi. Tepatnya pada masa Kesultanan Islam di Lamreh, Sumatra.
Pesantren genuine produk lokal Nusantara telah menancapkan secara kokoh faham Ahlusunnah Waljama’ah yang berbeda dengan pemahaman Islam modern kala itu. Di mana kurangnya menghargai tradisi keagamaan.
Dalam tradisi pesantren, santri memahami agama setelah melalui perjalanan panjang, nyantri dari satu guru ke guru lain, sesuai kompetensi keilmuannya. Mulai dari Nahwu Sharaf, Hadist, Tafsir, Ushul Fiqh, Teologi, Mantiq, sampai Tassauf.
Perjalanan panjang pencarian ilmu itu oleh Zamakhsyari Dhofier disebut sebagai “santri kelana” atau musafir Ilmu.
Di pesantren tradisional semi modern, pengenalan Nahwu Sharaf merupakan unsur terpenting. Kurikulum tingkat dasar pesantren berbasis ilmu Nahwu Sharaf merujuk pada Al-Awamil Syeikh Jurjani, Al-Jurumiyah dan Matan Bina.
Santri juga diwajibkan menghafal nadom maqdsud juga mulhatul i’rab (kaidah-kaidah nahwu juga sharaf).
Seminggu sekali santri harus mempelajari dan menghafal amsilah tasrifiyah. Mulai dari bab-bab tsulasi mujarod, tsulasi madzid, sampai ruba’i mujarod-madzid.
Kajian fikih dasarnya kitab Fathul Qorib dan Riyadul Badiyah. Pengantar dasar akhlaknya Ta’lim Mu’talim. Pengetahuan teologi dasarnya kitab Qotrul Ghais dan Fathul Majid. Pengenalan hadits lebih kepada hadis Fhadoilul Amal semisal Tankihul Qaul.
Santri pemula murni diajarkan penguasaan atas dasar-dasar menahami sumber hukum bukan diajari dogma atas ayat. Dari situ santri digembleng bagaimana mengetahui Mubtada-Khobar, Fi’il-Fail, Maf’ul, Hal, dan lainya melalui i’rab Al-Awamil hingga Jurumiyah.
Sementara santri wustho (menengah) dijenjang ini meningkat kepenguasaan kaidah Nahwu Sharaf dimana pada tingkat dasar hanya menghapal.
Pada fase ini, santri diajarkan memahami pada bahasan yang luas semisal kitab Al-Fiyah Ibn Malik dan Aqilnya sebagai komentar penjabaran kitab Alfiyah.
Santri juga diberikan mutiara nasehit melalui Nashoihul I’bad dan Durrotunnasihin. Diajarkan juga fiqh Kifayatul Akhyar. Aurad-aurad pendukung dipermudahnya belajar “padang ati” sehingga sesekali santri bertirakat dengan cara berpuasa.
Setelah fase wustho, fase selanjutnya yaitu ulya. Pada fase ini santri dipersiapkan menjadi imam (pemimpin). Minimal bagi diri sendiri dan keluarganya.
Tingkatan ini mempelajari kitab Tafsir Jalalein, Tafsir Munir (Syeikh Nawawi Al-Bantani). Dipelajari juga Ihya Ulumuddin dan ragam mazhab, semisal kitab Mizanul Qubro.
Santri ulya juga biasanya mengikuti “pasaran” dari kota satu ke kota lain. Kepada kiyai yang memiliki sanad keilmuan. Momen pasaran ini juga sebagi proses meluaskan jejaring santri. Kalau di perguruan tinggi hampir mirip kuliah umum yang diampu oleh guru besar.
Rangkaian pesantren mulai dari tingkat dasar, wustho, dan ulya yang sudah dilalui tidak otomatis dianggap kompeten dalam agama (faqih).
Sehingga santri harus “mengambah” lagi ke pesantren lain yang spesifik mengkaji disiplin ilmu. Semisal fiqh, alat (ilmu yang mempelajari spesifik gramatika bahasa, termasuk ilmu berlogika atau mantiq), Tafsir, Ushul Fiqh, juga Tauhid.
Proses ini menurut Zamakhsari Dhofier merupakan upaya memperkuat jejaring sesama santri juga kyai.
Karena melalui proses panjang dalam menuntut ilmu, santri mengetahui proses bagaimana hukum itu muncul sebagai kewajiban ataupun anjuran.
Dari itu, tidak sembarang merujuk ayat Al-Quran langsung atau hadits untuk menghukumi suatu masalah. Tetapi santri akan melihat bagaimana tafsir atas ayat itu, juga pendapat para ulama. Yang menjadi rujukan kitab tafsir dan kitab-kitab fikih para ulama mazhab dan para mujtahid.
Jika tidak ditemukan, baru santri melakukan semacam Ijtihad Manhaji, menjadikan rujukan imam mazhab sebagai dasar studi awal sebagai konstruk untuk menememukan hukum baru. Kegiatan ini dalam tradisi pesantren dikenal dengan Bathsul Ma’sail.
Dari sini terpacang pemahaman keagaman luas sekaligus lentur, karena mendialogkan teks suci juga ordonansi agama dengan konteks sosial. Sehingga tidak terpaku kepada Al-Quran dan Sunah secara skriptual atau tekstualis, dengan gampang menuduh kyai-kyai sebagai ahli bidah dan khurafat.
Santri berteologi berdasar al-Qur’an juga Sunah serta interpretasi Abu Hassan Al-Asyar’i dan Abu Mansyur Al-Maturidi. Paham ini menengahi antara Qodiriyah dan Jabariyah. Dalam hukum menganut tradisi mazhab.
Padangan santri dalam keagamaan tidak berkacamata kuda walaupun dicap sebagai kaum tradisionalis. Dalam dunia pesamtren, santri mampu meramu antara ajaran agama dan tradisi lokal yang baik. Karena Islam tak menghapus tradisi baik.
Dari itu ada kaidah ushul Al-Adatu Muhkamatun. Pun adagium yang sangat populer di kalangan santri:
“Al-muhafadah ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah”. Memelihara tradisi yang baik dan mengadopsi kebaruan yang mengandung kebaikan.
Berangkat dari situ kaum pesantren dalam hal ini santri memiliki tradisi akar sejarah panjang memandang segala sesuatu tidak taken for granted. Tetapi selalu mencari alternatif untuk kemashlahatan umat atau kebaikan untuk semesta. Karena esensi agama adalah kemanusian.
Dalam tradisi santri seperti itu, seseorang menyadang santri yang legal secara psikologis untuk mendirikan pesantren dan mendapat penghargaan dari masyarakat sebagai Kyai. Karena keilmuannya.
Jika baru sebatas lulus pesantren dasar, paling umumnya memimpin pengajian taman Qur’an untuk anak-anak dan imam salat. Tidak lebih dari itu.
*Penulis adalah Ketua LAKPESDAM-NU Kabupaten Tangerang.