
Oleh: Endi Biaro*
HANYA di ajang Pilkades, rumah seorang calon pemimpin berubah wujud jadi warung sembako, kedai kopi, atau malah Puskesmas.
Anak tetangga sakit, bukannya ke Puskesmas, malah ke rumah kandidat (minta dibantu alakadar). Tak punya rokok kopi, mampir di salah satu peserta Pilkades. Dan di ujung pertarungan, tumpukan sembako mengisi pojok-pojok rumah Calon Kades.
Ringkas catatan, kediaman Sang Calon tak pernah sepi. Mirip rumah penguasa yang open house di hari raya.
Dari faktor apapun, kompetisi politik Pilkades jauh lebih sengit.
Baca Juga
Bukan hanya adu kekuatan logistik, tapi juga aroma mistik. Tak melulu soal gengsi tapi berjudi (nasib). Belum lagi jika memasukkan perkara arus dukungan, maka keramaian menjadi luar biasa.
Urusan militansi pendukung di Pilkades, bukan kaleng-kaleng. Mereka siap bertaruh apapun. Asal idolanya unggul.
Jika dibandingkan Pilkades, maka Pemilu dan Pilkada, tak ada apa-apanya.
Sebab nyaris tak ada pagar hukum dan penegakan hukum yang mampu memaksa para Calon patuh aturan. Tak jarang video viral bermunculan. Menampilkan polah Calon Lurah yang pamer dolar. Di Pemilu atau Pilkada, tak akan ada kandidat yang punya nyali senekad ini. Lantaran itu artinya mengundang turun tangan Bawaslu.
Kalaupun tunduk aturan, tak lebih pada mekanisme dan prosedur administratif. Semisal di berkas perstaratan atau ikut seleksi tertulis. Di luar itu, main kayu pun hayu!
Secara substansi, demokrasi dalam Pilkades memang tersedia. Kebebasan memilih terjamin. Ruang kontestasi terbuka. Seraya memungkinkan tiap warga negara menjadi pemimpin.
Hanya saja, tiang sangga demokrasi dalam Pilkades terlampau rapuh.
Pertama, ada masalah jaminan kepastian hukum, atas segala perkara pelanggaran dalam Pilkades.
Norma di UU Desa, menyebut: segala permasalahan Pikades diselesaikan oleh bupati.
Jelas unsur subyektifitas, rentang kendali, arus informasi, dan kepastian hukum jadi rendah. Kepala daerah cenderung memilih opsi mengabaikan segala perkara. Yang penting Pilkades segera selesai.
Saluran konflik yang mestinya terlembaga, ada institusi yang mengurusi, serta mekanisme yang ajeg, dalam menyelesaikan sengketa Pilkades, menjadi tak jelas.
Bahkan pelanggaran fatal sekalipun, bisa saja tak diindahkan.
Semisal panitia tak netral, main uang terang-terangan, kampanye tak kenal waktu, sama sekali tak mempengaruhi calon. Bebas saja.
Kedua, karena norma hukum yang sumir (agak buram, multitafsir), lalu aturan teknis di bawahnya juga hanya larangan yang seolah-olah. Tak membuat para calon takut, dan mau menghormati.
Ketiga, penindakan dan pengendalian hukum, tak menyasar pada aspek keadilan, menghukum pihak yang salah, dan berpatok pada pembuktian. Melainkan lebih berat pada soal keamanan.
Jadi titik berat penegakkan dan penindakan, adalah aspek ketertiban dan menghindari keributan.
Mau cara apapun, dalam Pilkades, yang penting suara unggul. Begitu intinya. Di Pemilu dan Pilkada, setidaknya, masih ada rasa takut untuk melanggar secara terang-terangan.
*Ditulis oleh: Endi Biaro, Anggota KPU Kabupaten Tangerang.