Oleh: M. Harikal Ramadhan Pohan*
PEMBAHASAN mengenai sosiologi Islam dan ideologi dunia, pada prinsipanya bukan sesuatu yang baru. Kaum terdidik sudah lama mendalaminya. Namun, sampai saat ini masih tetap menarik untuk diperbincangkan.
Menurut Syarifuddin Jurdi, sosilologi merupakan ilmu sosial yang sekuler. Sudah lama sekali dikenal dan mengaku sebagai sebuah disiplin ilmu yang bersifat value free. Sering diajarkan di bangku pendidikan di Indonesia.
Bicara sosiologi maka tidak lepas dari Auguste Comte. Ia menganggap sosiologi seperti ajaran yang sekuler. Paradigma atau pandangannya merupakan disiplin ilmu yang pada akhirnya membuat beberapa sosiolog atau cendikiawan muslim mencoba membangun antitesis.
Mereka melihat peluang alternatif mengenai bangunan sosiologi yang lebih terintegrasi dengan nilai-nilai keislaman. Dalam konsep ini, pada praktiknya sosiologi Islam jangan sampai menggunakan pendekatan-pendekatan sekuler yang jelas berlawanan dengan syariat Islam itu sendiri.
Namun, pada dasarnya umat Islam dalam kajian sosiologi memerlukan teori yang berangkat dari nilai-nilai agama, tradisi, dan Islam itu sendiri.
Baca Juga
- Memahami Analisis Stilistika, Sebuah Pendekatan Gaya Bahasa Puisi
- Wanita Itu Tulang Rusuk, Bukan Tulang Punggung
Dalam dunia Islam terdapat beberapa tokoh sosiolog yang berjuang untuk bisa keluar dari dominasi barat terhadap ilmu yang telah diajarkan saat ini. Dengan kata lain, ingin melepaskan klaim intelektual negara barat.
Dalam hal ini doktrin dan sejarah Islam lebih ditekankan untuk menjadi ajaran yang mendunia. Karena dalam sosiologi barat, didasari dari empiris atau pengalaman saja. Sedangkan sosiologi itu harus bersifat ilmiah dan objektif tapi bebas nilai. Karena didasari oleh empiris pada akhirnya ilmunya akan bias.
Tetapi ini menjadi tantangan tersendiri bagi umat Islam dalam mengeluarkan konsep mengenai sosiologi Islam. Sebab masyarakat Islam sendiri masih sulit memahami ilmu sosial.
Hal ini lantaran ketertinggalan ilmuan muslim dan masyarakat Islam pada umumnya, dalam memahami fenomena sosial yang berkembang begitu cepat. Dan dampaknya berpengaruh bagi perkembangan ilmu sosial.
Namun, optimisme itu tetap ada sebab untuk memahami persoalan atau masalah yang sedang dihadapi, tersaji dalam dustur ilahi, tinggal bagaimana menggalinya saja. Dalam istilah lain, merujuk kitab suci yang nantinya menjadi langkah awal Islamisasi ilmu pengetahuan.

Dengan demikian, kekuatan Islam dengan konsep orientalisme menyebarkan paham-paham keislaman atau budaya timur akan menjadi tantangan tersendiri. Sebab pada hakikatnya Islam itu bersifat universal, tetapi pada aktualisasi atau pada praktiknya Islam itu bersifat partikular.
Kenyataan yang kita bisa lihat bahwasanya Islam akan dijadikan sebuah konsumsi yang bersifat pribadi. Tetapi tidak bisa dipungkiri, dalam Islam, universalitas dan partikular itu tidak dapat dipisahkan dari kehidupan seorang muslim. Islam bisa diposisikan sebagai hal yang personal maupun publik.
Karena, pada awalnya dunia barat melihat Islam tidak bisa dijadikan idiologi, karena Islam merupakan ajaran Tuhan. Hal ini dipengaruhi oleh paham sekularisme yang menyatakan bahwa agama semestinya dijauhkan dari kehidupan politik dan urusan duniawi. Namun pada kenyataannya, Islam bisa dan dapat dinilai sebagai ideologi itu sendiri.
Dalam pandangan umum, yang dimaksud dengan ideologi iyalah sebuah pemikiran mendasar yang akan melahirkan pemikiran cabang. Dalam hal ini Islam sudah mengatur mulai dari kehidupan pribadi maupun kehidupan bermasyarakat.
*Penulis Kader HMI Cabang Bandung asal Tangerang.