spot_img
spot_img

Jalan Pedang Komisioner KPU

Penulis: Endi Biaro.

Per detik ini, komisioner KPU masih dianggap selebriti. Padahal di balik itu, lembaga KPU juga adalah panggung intimidasi.

Sebagai selebriti Pemilu, Anggota KPU dianggap aktor utama dalam panggung kontestasi politik. Semua tatapan mengarah ke mereka. Politisi, aktivis, akademisi, praktisi media, netizen, pengawas, hingga pejabat publik, memantau tajam pergerakan para komisioner.

Namun teramat jarang yang melihat bahwa profesi KPU juga adalah panggung penuh intimidasi yang menjadi sasaran tembak banyak pihak.

Resiko yang akan ditadah, bisa datang beruntun. Dalam skala kecil, sasaran tudingan KPU tak netral, curang, titipan politisi, hingga olok-olok pemain proyek, adalah serangan ringan.

Baca Juga

Lalu berikutnya, intimidasi, godaan uang, ajakan kompromi, sampai ancaman serius, bisa datang dari pihak yang marah.

Paling berat ini: dilaporkan ke berbagai pihak. Atas tuduhan rupa-rupa: salah ambil keputusan, berpihak, melakukan tindak pidana, hingga melanggar kode etik.

Dalam sejarah hukum di Indonesia, hanya KPU yang menjadi subyek hukum di segala macam tuntutan, untuk sebuah kasus yang sama.

Teori hukum mengenal asas nebis in idem, seseorang tak bisa dituntut berkali-kali atas kasus yang sama. Tapi asas ini tak berlaku untuk KPU.

Mereka bisa menjadi terlapor, teradu, termohon, dan tersangka sekaligus, untuk sebuah kesalahan yang sama.

Misalnya: KPU menjadi teradu di DKPP lantaran dianggap melakukan pelanggaran etik (melanggar pedoman perilaku dan melanggar sumpah atau janji, pakta integritas).

Di saat bersamaan, mereka dilaporkan melakukan kejahatan pidana Pemilu ke Sentra Gakumdu (di sini ada Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan), dan minta disidang di pengadilan.

Belum selesai, ada lagi, keputusan KPU diadukan ke PTUN…

Kesemua itu bisa menjadi faktor intimidasi. Setidaknya merepotkan para komisioner, lantaran mereka wajib taat aturan, harus datang saat dipanggil DKPP, Bawaslu, Gakumdu, Pengadilan, dan juga PTUN

Dengan demikian, menjadi Komisioner KPU bukan perkara sepele. Keliru menafsir pekerjaan menjadi Anggota KPU semata adalah EO (even organizer).

Justru mereka harus cerdas, mampu menganalisis, bisa menghitung resiko, pandai meyakinkan publik, cerdas mengatasi masalah, seraya menprediksi plus minus sebuah keputusan.

Memang ada panduan kerja yang detil dan rigid, via Undang Undang, Peraturan KPU, atau Keputusan KPU (semacam Juknis kerja).

Namun sejatinya, semua panduan itu tak selalu mudah dan menyelesaikan semua tantangan. Karena bagaimanapun, kerja-kerja KPU adalah bernuansa politik, dan berkaitan langsung dengan kepentingan banyak pihak. Tak semua kalangan setuju dengan langkah, tindakan, kebijakan, dan keputusan KPU, meski itu sesuai dengan koridor regulasi.

Badai ketidakpuasan, kejengkelan, bahkan kemarahan bisa datang sewaktu-waktu. Celakanya tak semua bersumber pada kesalahan atau kekeliruan KPU. Sesekali itu muncul gara-gara salah persepsi.

Publik pasti ingat, bagaimana KPU dibombardir oleh isu kotak suara kardus, DPT siluman berjumlah 36 juta, surat suara sudah dicoblos sebanyak 17 truk besar, orang gila diberi hak suara, sampai bulan-bulanan salah input data dalam Situng.

Sejatinya, isu ini gorengan berlebihan.

Kotak suara kardus adalah lazim digunakan. Memenuhi standar teknis. Sudah disetujui oleh DPR. Demikian juga DPT siluman puluhan juta, saat disortir, nyatanya hanya belasan ribu saja. Sementara 17 truk surat suara telah dicoblos, malah tak terbukti. Pun dengan orang gila diberi suara, ini keliru. Yang benar adalah KPU mendata seseorang yang mengalami gangguan jiwa ringan, dan inipun atas rekomendasi dokter ahli.

Memang ada juga fakta-fakta komisioner KPU yang melanggar integritas, tidak independen, ikut praktek kotor, dan mau jadi boneka para politisi. Namun jika itu terjadi, biasanya nasib si komisioner berujung getir.

Bagaimanapun dialektika komisioner KPU menjadi niscaya. Malah publik luas wajib mengkritisi. Karena kualitas Pemilu salah satunya ditentukan oleh kualitas penyelenggara.

Semoga di Pemilu 2024, kita memiliki para komisioner KPU yang bukan sekedar tukang dan kuli profesi. Hanya mencari panggung, jual jabatan, atau kejar proyek. Melainkan komisioner yang punya daya intelektual, mencerdaskan, memiliki integritas, mampu berinovasi, serta cekatan dalam menggalang dukungan publik. Insya Allah.

Ditulis oleh: Endi Biaro. Penulis Buku Demokrasi Dalam Kardus, Kontroversi dan Solusi Pemilu 2024

Loading

VINUS TV

BERITA TERBARU

IKLAN

spot_img
spot_img

BERITA TERPOPULER

IKLAN

spot_img
spot_img

BERITA TERKAIT

Memberangus Rentenir Berkedok Koperasi

Nuzulul Qur’an dalam Bingkai Sejarah

Pesona Pinjol pada Bulan Ramadan

THR Tidak Merata, Islam Punya Solusinya

Ritual Usang Ramadan

Beras Mahal Saat Ramadan

Tangerang, Wilayah Tak Bertuan

IKLAN

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

SEPUTAR BANTEN

IKLAN

spot_img
spot_img
spot_img

SEPUTAR DESA

Masyarakat Pasir Bolang Demo Alfamart