spot_img
spot_img

Hari Santri Nasional

Oleh: Akhmad Basuni, MA

HARI SANTRI merupakan bentuk apresiasi negara terhadap eksistensi kaum sarungan yang telah mewarnai lembaran-lembaran sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Santri sebagai basis juang akar rumput, gigih berjuang secara fisik dan psikis (perlawan juga do’a), sementara kaum terpelajar bumi putra berjuang dengan spirit mempersatukan perjuangan akar-akar rumput yang berserak. Mempersatukan satu rasa senasib seperjuangan yang terjajah dan sejuta rasa derita akibat kolonialisme.

Kaum terpelajar modern dan santri berkoalisi membentuk barisan garda perlawanan terhadap penjajah. Sehingga terbentuk wadah-wadah perlawan terhadap segala bentuk kolonialisme.

Puncaknya pada tanggal 22 Oktober santri seantero pulau jawa bergelora menyatukan tekad garis juang sampai titik darah penghabisan. Menggelorakan semangat resolusi jihad yang di kobarkan melalui fatwa KH. Hasyim Asy’ari pucuk pimpinan Nadhlatul Ulama. Sekaligus ulama panutan nusantara kala itu.

Karena KH. Hasyim Asy’ari merupakan santri Syeikh Nawawi al-Bantani yang memiliki keistimewaan dan kecerdasan luar biasa. Sehingga membuat banyak kyai di pelosok nusantara berguru kepadanya. Imbas dari itu santri memiliki jejaring keterikatan antara satu pesantren dengan pesantren lain di seluruh nusantara.

Baca Juga

Ikatan emosional disamping ikatan sanad keilmuan. Bahkan tak sedikit diikat oleh kekeluargaan karena proses perkawinan antara sesama anak kyai. Ada juga santri yang diambil mantu oleh sang kyai.

Jejaring demikian semakin mengokohkan ikatan kuat. Sehingga ketika Sang Kyai memproklamirkan semangat resolusi jihad langsung disambut oleh semua santri seantero jawa. Santri memiliki keyakinan, membela tanah air merupakan kewajiban sekaligus tanda keimanan.

Resolusi Jihad tidak hanya sebagai pengobar semangat ulama dan santri, tetapi juga bertujuan mendesak pemerintah agar segera menentukan sikap melawan kekuatan asing yang ingin menggagalkan kemerdekaan.

Banyak terjadi  pertempuran yang melibatkan para kyai dan santri yang tergabung dalam Laskar Hizbullah dan Sabilillah. Disaat tentara negara belum efektif terutama jalur komandonya, laskar ulama dan santri telah sigap menghadapi berbagai ancaman yang terjadi.

Bahkan konsolidasi dan jalur komando laskar hizbullah dengan dukungan struktual NU & Masyumi  begitu masif hingga ke pedesaan. (lihat Masterpiece Islam Nusantara sanad dan Jejaring Ulama-Santri 1830-1945).

Foto: Laskar Hizbullah (Google/Istimewa).

Resolusi jihad telah membuahkan hasil kemerdekaan. Indonesia bisa dipertahankan dari rongrongan NICA dan sekutunya. Setelah kemenangan, santri kembali kepesantren dan kyai mengajar ngaji untuk membimbing umat.

Sedikit sekali santri perannya diakui oleh negara kala itu. Bahkan para pejuang komandan hizbullah yang sudah memiliki jabatan sebagai kepala Divisi teritorial dicopot dengan alasan tak memiliki ijazah formal.

Maka tak heran ada sebagian kecil komandan devisi lebih memilih bergerilya kembali ke hutan dengan kesatuannya karena kecewa dan bergabung dengan milisi Kartosuwiryo.

Kini, setelah lama santri disingkirkan dari panggung negara, bahkan keberadaannya dianggap “kolot” dan anti kemodernan. Ada secerca harapan, walaupun mungkin baru sebatas mimpi indah di musim semi.

Santri dan pesantren tradisional diperhatikan, tanpa harus dibebani setumpuk persyaratan ketika pesantren tradisional dan santri diperhatikan lembaganya, sanitasi dan pola hidup bersih.

Baca Juga

Adapun laporan penggunaan anggaran sebagai pertanggung jawaban moral, itu memang sangat perlu dan tidak akan dianggap beban. Itupun jika memang benar rezim ini peduli terhadap pesantren tradisional yang mayoritas tumbuh di masyarakat pedesaan.

Jangan berharap pesantren dan santri tradisional bisa menikmati perhatian pemerintah, jika dihadapkan dengan setumpuk admintrasi mulai dari izin operasional, nomor statistik dan luas area pesantren.

Yang diharapkan pesantren tradisional adalah kepedulian kepada pesantren dengan tanpa harus “mengemis” pada pemerintah.

Dari itu pemerintah yang semestinya aktif memetakan skala prioritas. Karena jika pesantren tradisional yang ‘mengemis’ tentu sampai kapanpun nasib pesantren tradisional tetap termarjinalkan.

Dan oleh oposan dijadikan ladang empuk provokasi bahwa pemerintah “anti Islam” dengan fakta-fakta pesantren tradisional yang nasibnya diabaikan. Dibiarkan hidup alami tanpa perhatian.

Sebagai catatan, janganlah pesantren tradisional diperlakukan sama dengan pesantren yang ada lembaga pendidikan formalnya. Karena bagaimana pun pesantren yang ada lembaga pendidikan formalnya otomatis dapat subsidi melalui BOP, BOS dan bantuan lainnya. Karena memang lembaga resmi berbadan hukum dan memiliki izin operasional.

Foto: Teks Resolusi Jihad (Google/Istimewa).

Pesantren tradisional tumbuh alami dari majlis tak’lim dan kemudian berdatangan santri warga sekitar untuk mengaji kitab-kitab klasik. Dasar-dasar pokok ajaran Islam juga akhlak prilaku kehidupan sehari-hari.

Pesantren tradisional jika negara mau jujur sesungguhnya telah ikut membantu pemerintah dalam menyiapkan sumber daya manusia yang beradab dan mandiri.

Santri itu hidup mandiri, karena pilihan pesantren tradisional tentu tidak banyak berharap terjun dalam  instansi formal yang mengandalkan kecakapan teknologi Informasi.

Demikian sekedar catatan di hari santri, semoga pemangku kebijakan lebih arif dan bijaksana memposisikan santri dan pesantren tradisional. Karena bagaimana pun saham santri dan pesantren tradisional bersama kyainya begitu berperan dalam pembentukan NKRI.

Jangan sampai nanti dari pesantren tradisional jadi militansi mengelorakan resolusi jihad karena kecewa terhadap sistem yang ada.

*Penulis adalah Ketua LAKPESDAM-NU Kabupaten Tangerang.

Loading

VINUS TV

BERITA TERBARU

IKLAN

spot_img
spot_img

BERITA TERPOPULER

IKLAN

spot_img
spot_img

BERITA TERKAIT

IKLAN

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

SEPUTAR BANTEN

IKLAN

spot_img
spot_img
spot_img

SEPUTAR DESA

Masyarakat Pasir Bolang Demo Alfamart