
AKU belum sembuh benar dari stroke. Tapi sudah bisa berjalan menggunakan tongkat. Bahkan sudah bisa naik tangga. O, nikmat berjalan itu sungguh dahsyat.
Sejak bisa berjalan menggunakan tongkat itu, aku sudah bisa salat berjamaah di masjid terdekat. Dan aku akan tetap berjuang agar bisa salat berjamaah di masjid.
Mengapa? Sebab salat berjamaah di masjid itu amat sangat istimewa nilainya/derajatnya. Aku yakin, itu salat yang selalu dirindukan kaum muslim dari perputaran waktu ke waktu, termasuk juga diriku.
Aku selalu berusaha sudah ada di masjid, satu jam atau satu setengah jam sebelum azan berkumandang.
Baca Juga
Aku memanfaatkan waktu menunggu azan itu dengan berzikir. Terutama zikir selawat.
Aku senang sekali melantunkan zikir selawat dalam hati/qolbu, karena banyak ulama mengatakan zikir selawat itu sangat hebat, dahsyat dan istimewa, karena zikir ini pasti diterima Allah Swt, dan pasti disampaikan oleh malaikat khusus kepada Yang Mulia Nabi Muhammad.
Lalu katanya, jika seorang muslim memperbanyak zikir selawat, maka ketika sakaratul maut akan didatangi ruh Nabi Muhammad sehingga puluhan setan dan iblis tak berani mengganggu seseorang yang sedang mengalami sakaratul maut itu.
Demikian ketika orang yang meninggal itu sudah dimasukkan ke dalam kubur. Ia akan didampingi ruh Nabi Muhammad.
Dan puncaknya akan mendapat pertolongan (safaat) dari Nabi Muhammad, hingga seorang muslim itu selamat dari api neraka. Ini yang kerap kupikirkan dan kurenungkan maknanya dalam-dalam.
Bagiku duduk sila di masjid sambil berzikir, sambil menunggu waktu azan itu sungguh nikmat. Namun seperti apa kenikmatan itu, diriku tak bisa menguraikannya dengan kata-kata. Yang jelas kenikmatan itu terasa dalam jiwa.
Zikir tersebut sudah aku niatkan sejak dari rumah hanya untuk beribadah kepada Allah, hanya untuk meraih rida Allah, hanya ingin turut memakmurkan masjid, hanya untuk mengagungkan Baginda Nabi Muhammmad Saw dengan penuh rasa hormat, penuh cinta dan kerinduan.
Demikian juga ketika sudah selesai salat subuh berjamaah, aku akan tetap semangat dan bahagia melanjutkan zikir selawat sampai pukul enam pagi.
Sepanjang zikir ini biasanya bendungan air mataku jebol. Aku amat takutnya dengan kematian yang sakitnya bagai seekor domba yang disisit kulitnya hidup-hidup. Terbayang pula jika diriku mati dan dimasukkan ke dalam kubur.
Setelah zikir itu, aku tunaikan selat sunah isroq dua rakaat. Salat sunah ini pahalanya sama dengan menunaikan ibadah haji secara sempurna.
Biasanya aku sendirian saja di masjid. Kadang-kadang ada satu orang jamaah yang juga melakukan zikir. Di waktu-waktu ini masjid kosong dan sunyi sekali karena para jamaah lain sudah pulang. Kadang lampu masjid dalam keadaan gelap dan redup.
Bagiku tak mengapa. Aku tetap melanjutkan zikir. Sebab zikir dalam keadaan terang atau gelap, sama nikmatnya dan sama indahnya.
Pernah suatu kali, ketika aku sedang zikir sambil memejamkan mata dan masjid dalam keadaan gelap, aku merasakan ada dua orang laki-laki yang duduk di samping kananku. Yang paling dekat kurasakan dengkulnya terasa nempel pada dengkul kananku. Yang paling dekat denganku itu menggunakan celana panjang warna coklat.
Pada lain waktu, ketika aku sedang berzikir dan lampu dalam keadaan redup, kurasakan di belakangku ada puluhan orang berpakaian putih-putih. Mereka mengenakan udeng-udeng bergaris hijau. Mereka duduk sambil menundukkan wajahnya, badannya pun agak membungkuk.
Tapi ketika kulihat ke belakang, orang-orang itu menghilang, tak bisa kulihat dengan kasat mataku.
Aku pun tetap melanjutkan zikir sambil memejamkan mata kembali. Tapi tiba-tiba orang-orang itu kurasakan muncul kembali. Mereka duduk dengan shaf yang sangat lurus dan sangat rapi. Mereka memenuhi shaf-shaf masjid di belakangku. Mereka tetap menundukkan kepalanya hingga badannya agak terbungkuk. Aku pun tak dapat melihat wajahnya.
Siapakah mereka? Aku tak tahu.
Ditulis oleh: Budi Sabarudin. Pendiri Taman Baca Masyarakat Budi Euy.