spot_img

Syekh Nawawi, Cermin Bening Sang Pelita

Foto: Syekh Nawawi (Istimewa).

Oleh: Endi Biaro*

KERINGKAN airnya, lalu tangkap ikannya! Atau racuni airnya, ikan akan menggelepar mampus. Begitulah seloka (perumpamaan) ringkas untuk “menaklukan” umat Islam.

Keringkan! Jauhkan umat dari telaga ilmu, air kolam hikmah, dan kotori atu racuni ajaran agama Islam. Maka umat Islam akan gampang ditaklukan.

Rumus jahat ini yang menjadi andalan. Pihak lawan tak akan membuang energi sia-sia dengan menghabisi muslim. Mereka cukup menjauhkan pemeluk Islam dari khazanah ilmu, ajaran, dan hikmah (yang bersumber dari Quran, hadis, ijma, dan qiyas).

Singkirkan berbagai kitab dan risalah para Ulama, agar tidak lagi dipelajari. Kalau metode ini tak cukup, ambil jalan lain, racuni (sesatkan) ajaran-ajaran yang sahih dengan pikiran-pikiran sesat.

Baca Juga

Sejak era Samudera Pasai, Demak, Mataram Islam, sampai Kesultanan Banten, perluasan wilayah dan penambahan jumlah pemeluk Islam sukses besar. Nyaris seantero Nusantara terislamkan. Para mubaligh periode awal dan Walisongo, melaksanakan formula canggih, hingga Islam diterima di mana-mana.

Namun mata rantai islamisasi ini terputus persis di jantung utama. Yakni kelambatan menciptakan tradisi berislam yang berbasis pada fikih, syariah, dan keilmuan.

Saat itu yang marak adalah Islam berbau klenik, mistik, kental aroma khurafat serta takhyul. Bukti terserak. Utamanya jika melacak pada fakta sosiologis Islam Nusantara di periode awal.

Kecenderungan umat yang gandrung pada kharisma magic, kesaktian supranatural, dan kisah-kisah mitologis, menjadi arus utama. Lapisan umat di berbagai tingkatan, memainkan peran ini.

Para raja (atau sultan) terkenal penganut sinkretisme, memadukan unsur-unsur tetinggalan Budha Hindu. Para Ulama juga cenderung menekuni tarekat dan tasawuf. Sementara khalayak awam, menikmati warisan tradisi lama, baik unsur pagan, animisme, atau dinamisme (kepercayaan pada roh leluhur, atau kekuatan tertentu).

Maka lanskap keislaman marak dengan pemujaan Nyai Roro Kidul, Syekh Siti Jenar, sesembahan laut, dongeng orang-orang sakti.

Sementara ketekunan menuntut ilmu yang berbasis pada teks (kitab, risalah, naskah, dan sumber-sumber referensi ilmiah) teramat kurang.

Foto: Kitab kuning karangan para Ulama (Istimewa).

Padahal senyatanya, di era itu, cukup banyak Ulama dan pemikir Islam yang produktif menyusun ilmu dan menulis kitab.

Sejak lama, lahir kitab, naskah, risalah ilmiah dari para Ulama. Sebut saja: Hamzah Fansuri, Nurudin Ar Raniri, Andurauf Singkil, mereka para penulis kitab, termasuk kitab tafsir.

Lalu di era kejayaan Banten, terjadi proses penulisan dan penyalinan naskah ilmiah dari para pemikir Islam. Sultan Abul Mufakir bahkan mengundang Ulama Makkah atau mengirim utusan ke tanah suci, hanya untuk menyalin kitab.

Beruntung, di saat darurat itu, sejumlah pemikir Islam briliant berlahiran. Salah satu yang menonjol adalah Syekh Nawawi Al Bantani.

Beliau menjadi jangkar kokoh. Menarik garis keilmuan klasik (salaf), mempopulerkan karya-karya Ulama abad pertengahan (dari mazhab hanafi), dan menyebarkan kitab-kitab penting yang menjadi penyelamat umat.

Beliau juga menjadi pilar yang memayungi sanad keilmuan ulama klasik dan ulama mutakhir. Guru-gurunya dan murid-muridnya, adalah pelindung dan pejuang Islam yang berhasil menanamkan Islam berbasis ilmu (bukan mistis).

Foto: Foto: Syekh Nawawi (Istimewa).

Jelas terlihat. Syekh Nawawi tidak membangun tarikat dan menggelontorkan tasawuf. Melainkan tekun menulis ilmu-ilmu aqidah, fikih, syariah, hadis, dan tafsir. Kalaupun menukil ajaran tasawuf, beliau selalu menggandengkan dengan syariat.

Puluhan kitab populer (dari ratusan kitab yang beliau tulis) nyata-nyata didedikasikan untuk mencerdaskan umat. Membebaskan umat dari kekeliruan ajaran. Menggairahkan umat untuk istiqomah dalam aktivitas ibadah praktis (yang sumber hukumnya jelas).

Beliau tahu persis masalah umat di Nusantara, yang cenderung gandrung pada nalar mistis. Olehnya, beliau berusaha keras mendidik umat agar berislam secara terib. Yakni mengamalkan ibadah harian berbasis fikih, mengutamakan syariah, dan kalaupun menganut tarekat maka harus hati-hati.

Ungkapan beliau yang terkenal tentang hal ini adalah: syariah itu perahu, tarikat itu lautan, dan hakikat itu adalah mutiara di laut dalam. Orang akan tenggelam mati kalau langsung ke hakikat. Yang benar adalah tertib dalam syariat dan tarikat, maka akan bertemu hakikat.

Itulah cermin bening Syekh Nawawi. Intelektual Islam raksasa, yang produktif menulis kitab. Mendidik para Ulama Nusantara. Dan mewariskan lautan ilmu untuk kita semua.

Islam tak akan hancur andai lautan ilmu, air hikmah dari Ulama, tidak kering. Serta selalu dipelajari dan diamalkan. Islam tak akan lemah, andai kita tahu mana ajaran murni dan mana yang beracun.

Wallahu’alam.

* Penulis adalah pegiat literasi.

Loading

VINUS TV

BERITA TERBARU

IKLAN

spot_img
spot_img

BERITA TERPOPULER

IKLAN

spot_img

BERITA TERKAIT

Mantra Kepemimpinan Dedi Mulyadi

Jebakan Nostalgia Media Sosial

Bahlil dan Polemik Gas Melon

Politik Matahari Kembar

IKLAN

spot_img

SEPUTAR BANTEN

IKLAN

spot_img

SEPUTAR DESA

Masyarakat Pasir Bolang Demo Alfamart