Oleh: Endi Biaro
BAGI orang Balaraja seperti Saya, maka PT PEMI adalah serangkaian sejarah yang tebilang indah.
Buruh di pabrik ini jauh dari kategori proleter (kaum tertindas) yang digaungkan ideologi komunis. Karyawan PT PEMI atau lingkungan sekitar situ, justru terkesan rada bagus.
Sejak saya lulus SMA sampai detik kemarin, kerumunan di luar pagar, terjejali muka-muka segar. Rata-rata perempuan muda, enak dilihat.
Dulu bagi kami anak kampung, barometer menjadi lelaki jantan adalah bisa memacari anak PEMI.
Dan tak perlu ditutup-tutupi, haru biru asmara, percintaan, perselingkuhan, tumplak blek di situ. Saya pernah jadi saksi mata, seorang lelaki dibanting helm pas di kepala oleh isterinya, karena menjemput anak PEMI (malam hari).
Petikan kisah itu adalah barometer sempurna, bahwa Karyawan PEMI jauh dari kesan kumuh, gaduh, dan keruh. Moncer malahan.
Tak tahu persis juga, apakah kesejahteraan karyawannya di atas rata-rata. Satu hal pasti, level kehidupan mereka di atas garis penderitaan. Bukti bisa di lihat kanan kiri. Teman, tetangga, sejawat, yang pernah mengabdi di situ, taraf ekonominya lumayan.
Akankah fakta-fakta itu berubah?
Kabar soal dua orang yang terjangkit corona, mendebarkan kita semua. Hitungan kasar, ada ribuan manusia mengais rezeki di situ. Interaksi fisik tentu berjalan deras. Sulit diprediksi penjalaran Covid-19. Meski PT PEMI shutdown dua minggu, namun tak ada standar meyakinkan apakah mereka yg kini di rumah steril?
Belum lagi meraba-raba dampak buruk lainnya. Misalnya PT PEMI tetap sehat, tetapi roda ekonomi di luar perusahaan tengah goncang.
Mungkin juga partner bisnis di luar negeri tengah terganggu. Masalahnya, tak ada informasi jelas, apakah perusahaan besar ini punya kemampuan bertahan di tengah gempuran bencana.
Seandainya Saya karyawan PT PEMI maka cara paling sedap adalah mengingat-ingat hari yang telah lewat.
Secara sosial, perusahaan ini menjadi bagian tumbuh kembang mental orang-orang Balaraja. Anak-anak lulusan SLTA berlomba ingin kerja di sana.
Cita-cita sosial mereka sebenarnya pendek saja, tetapi konkret. Daripada tidak kuliah dan menganggur, mending jadi karyawan saja. PT PEMI juga menjadi topangan hidup dan sekaligus gaya hidup.
Sejak dulu, era 90an, jika ada anak muda yang sanggup kredit motor, bisa dipastikan karena mereka kerja di situ.
Tetapi paling menonjol, orientasi kerja di PEMI sekaligus cermin daya juang anak-anak Balaraja dan sekitarnya. Entah berapa banyak bakat intelek dan kreatif yang harus parkir di sana, lantaran mereka tak lanjut kuliah. Kadung berada di zona nyaman.
Perusahaan ini, sudah berpuluh tahun, tak terdengar program atau strategi alih teknologi. Karyawan melulu sebagai “faktor produksi”, bekerja di bidang itu-itu juga. Risikonya, begitu ke luar, maka tak ada skill apapun yang terbawa.
Tak ada inovasi, pemberdayaan, peningkatan skill, pembangunan SDM, atau program serius dari perusahaan, agar karyawan menjadi ahli jempolan (bidang industri).
Kalau mau jujur, perusahaan ini juga seolah standar dalam “bakti sosial”. CSR untuk memajukan masyarakat sekitar, terkesan datar, seadanya. Bahkan kini, anak lokal untuk bisa masuk dan jadi karyawan tetap pun sulit.
Lain kata, kehadiran PT PEMI di Balaraja memang mengubah banyak hal, terutama di bidang ekonomi publik. Tetapi juga tak dahsyat.
Seandainya Saya karyawan PT PEMI maka kenangan terindah adalah terselamatkannya nafkah pribadi dan keluarga. Tetapi hanya itu saja. Yang lain tidak.