SERING kali kita mendengar tentang pluralisme khususnya dalam berkehidupan di masyarakat. Terutama Indonesia dengan berbagai macam agama, ras, suku, dan budaya berada di dalamnya. Sudah dipastikan keyakinan masyarakat dalam beragama berbeda-beda.
Pluralisme merupakan suatu paham atau pandangan hidup yang menerima adanya kemajemukan dalam masyarakat. Sudah dipastikan bahwa menerima kemajemukan pasti menerima perbedaan.
Menerima perbedaan bukan berati menyamaratakan, tetapi mengakui hal yang tidak sama. Menerima kemajemukan dalam agama bukan seperti mencampur bahan kue. Justru dalam kemajemukan, perbedaan value dalam agamalah yang ada dan dipertahankan.
Baca Juga
Hamid Fahmy Zarkasyi dalam Jurnal Insits menulis, paham pluralisme agama terdiri dari dua aliran besar, yaitu teologi global (global theology) atau teologi dunia (world theology) dan kesatuan transenden agama-agama (trancendent unity of religions).
Teologi global dalam penjabarannya berambisi untuk menyelsaikan masalah yang dihadapi proyek globalisasi barat. Pendekatan yang dipakai aliran ini terhadap agama-agama, pertama bersifat sosiologis, kultural, dan ideologis.
Bersifat sosiologis dan kultural karena agama-agama yang ada di dunia ini harus disesuaikan dengan kondisi sosial budaya masyarakat modern yang plural. Sedangkan ideologis, karena telah menjadi bagian dari program gerakan globalisasi yang jelas-jelas memasarkan ideologi barat.
Menurutnya, toleransi dalam Islam itu tidak saling mengganggu. Lakum dinukum waliyadin. Urusan agama anda ya agama anda, jangan saya ditarik-tarik ikut merayakan agama anda. Nah itu batas toleransi dalam Islam.
Dalam Fatwa MUI No.7 Tahun 2005, bahwa MUI sudah mengharamkan tentang pluralisme agama, yang dimana maksud MUI mengharamkan tentang pluralisme agama dan liberalisme antara lain:
Pertama Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif.
Oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar, sedangkan agama lain salah. Pluralisme agama justru mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.
Kedua Pluralitas agama merupakan sebuah kenyataan bahwa di negara atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan.
Sedangkan menurut Anis Malik Thoha dalam Tren Pluralisme Agama, menyebut bahwa pemikiran pluralisme agama muncul pada masa yang disebut pencerahan (Enlightenment) Eropa, tepatnya pada abad ke-18 Masehi.
Masa yang sering disebut sebagai titik permulaan bangkitnya gerakan pemikiran modern. Diwarnai dengan wacana-wacana baru pergolakan pemikiran manusia yang berorientasi pada superioritas akal (rasionalisme) dan pembebasan akal dari kungkungan-kungkungan agama.
Sampai di sini dapat dikatakan, pluralisme dapat bermakna dua hal: pertama ialah toleransi. Dimana masing-masing agama khususnya berpegang pada prinsip value yang dimiliki dan menghormati prinsip serta kepercayaan masyarakat.
Kedua, masyarakat harus menerima kenyataan bahwa tidak ada kebenaran tunggal. Artinya tidak ada yang salah atau semua benar. Sudah dipastikan bahwa masyarakat tidak boleh mengklaim agama dan keyakinannya itu yang paling benar. Berarti secara tidak langsung pluralisme mengajarkan kebenaran itu relatif.
Jadi, dalam arti pluralisme saja sudah skeptis terhadap kebenaran. Atau bisa disebut kebenaran yang relatif.
Sebab, menurut Nurcholish Madjid (Cak Nur) dalam Nilai Dasar Perjuangan (NDP), bahwa manusia memerlukan suatu bentuk kepercayaan. Ia akan melahirkan tata nilai guna menopang hidup dan budayanya. Sikap tanpa percaya atau ragu yang sempurna tidak mungkin dapat terjadi.
Oleh karenanya, kepercayaan itu diperlukan. Sebab dalam berkehidupan kita menemukan kepercayaan yang majemuk di tengah masyarakat.
Begitu pula dalam NDP Cak Nur, sudah disimpulkan bahwa kepercayaan di tengah masyarakat, ada dua kemungkinan: Kesemuanya itu salah atau salah satu saja diantaranya yang benar. Tetapi walaupun demikian, bukan kepercayaan salah yang benar-benar salah, melainkan kepercayaan yang relatiflah yang salah.
Kemudian, mengapa manusia membutuhkan agama? Karena hal tersebut merupakan fitrah manusia. Dengan fitrah tersebutlah yang menyebabkan manusia berhubungan dengan agama untuk mencari sandaran dalam kehidupannya.
Selain daripada fitrah, manusia memiliki ke-nisbian manusia juga yang mengharuskan bahwa manusia membutuhkan agama.
Lantas bagaimana konsep ketuhanan dalam Islam? Apa yang membedakan dengan konsep Agama lain? Konsep ketuhanan dalam Islam dapat ditemukan alam Al-Qur’an surah Al-A’raf ayat 172, yang artinya sebagai berikut:
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini.’
Manusia yang memiliki fitrah yaitu sifat kesucian harus dinyatakan dalam sikap suci dan baik kepada sesamanya. Kesucian manusia ialah kelanjutan perjanjian primordial antara manusia terhadap Tuhannya sebelum lahir ke dunia. Bahwa manusia mengakui Allah sebagai pelindung dan pemelihara satu-satunya (Esa).
Selain itu, dapat juga ditemukan dalam surah Al-Ikhlas ayat 1-4, yang artinya sebagai berikut:
“Katakanlah (Muhammad), “Dialah Allah, Yang Maha Esa (1). Allah tempat meminta segala sesuatu (2). (Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan (3). Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia. (4).”
Dalam kandungan surah tersebut menegaskan tentang ke-Esaan Allah (Rabb) dan sifatnya yang Ahad. Tidak ada hakikat selain hakikat Allah.
Dan Allah sebagai tempat untuk meminta segala sesuatu. Ia tidak beranak dan tidak diperanakkan, kemudian tidak ada yang setara dengan Allah.
Selain konsep ketuhanan dari pandangan Islam, juga dapat dilihat dari konsep Trinitas dalam Kristen, dan Trimurti dalam Hindu.
Dalam konsep wordlview Islam, kepercayaan, perasaan, dan apapun yang terdapat dalam pikiran manusia, berfungsi sebagai kendaraan bagi kelanjutan dan perubahan sosial dan moral.
Wordlview Islam (ru’yat al-islam li al-wujud) adalah pandangan Islam tentang realitas dan kebenaran yang nampak oleh mata hati kita dan yang menjelaskan hakekat segala sesuatu (wujud).
Visi tentang realitas dan kebenaran sebagai kesatuan mental yang aristektonik. Ia berperan sebagai asas yang tidak teramati bagi semua perilaku manusia.
*Ditulis oleh: Muhamad Akmal Al Mulk. Kader HMI Komisariat Insan Pembangunan.