Oleh: Endi Biaro
“Batas-batas bahasa kita adalah batas-batas pikiran kita,” kata Filsuf Berntrand Russel.
BAHASA adalah cahaya pikiran. Cahaya mengandung energi. Cahaya Mengubah suasana gelap jadi benderang. Cahaya menembus batas. Hatta cahaya laser, bisa memotong bongkahan baja setebal bantal.
Lalu apa cahaya terang dari kitab kuning?
Ilmu yang termaktub di kitab kuning, sudah pasti adalah cahaya. Bukan hanya nur ilmi, tapi juga nur qolbi. Garis waktu sejarah, membuktikan Kitab Kuning menjadi nur madina (cahaya peradaban).
Akan panjang wacana jika mengupas satu per satu butiran mutiara Kitab Kuning. Sisi yang paling berpendar adalah: aspek bahasanya. UU Pesantren, menyebut Kitab Kuning adalah: kitab yang berisi ilmu-ilmu ke-Islam-an yang berbahasa Arab.
Tentu semua mahfum, betapa dahsyat bahasa Arab dalam mengubah sejarah. Pakar peradaban dunia, Marshal G. Hodgson, sampai berkata seperti ini: Jejak Muhammad yang paling nyata hingga hari ini adalah tersebarnya Bahasa Arab.
Mesir, Senegal, Maroko, Aljazair, Turki, Yordania, Afghanistan, Iran, menjadi terarabisasi, lantaran Bahasa Arab. Negara-negara itu, tak semuanya punya gen Arab, namun menjadi berkultur Arab lantaran faktor Bahasa Arab.
Pun di Nusantara. Di kisaran Abad 16-19, manusia Indonesia sudah moderen sepenuhnya dari aspek bahasa. Mereka bergaul, berdagang, berkelana, via bahasa yang saling dimengerti?
Dan seumumnya, via Bahasa Arab. Anda boleh mengatakan Lingua Franca di Nusantara adalah Bahasa Melayu. Itu benar. Tapi cek, ditulis dengan apakah bahasa Melayu saat itu?
Jawabanya: dengan Arab Melayu, atau Arab Pegon. Genus yang sama, ada Arab Jawi, Arab Madura. arab Sunda (Banten). Ini yang disebut zeitgeits atawa semangat zaman. Para ulama, saudagar, santri, penganut tarekat, sampai para Sultan, adalah komunikator paling berpengaruh di nusantara era itu.
Mereka menemukan kecerdasan berbahasa, yakni memodifikasi huruf-huruf Arab Hijaiyah, agar cocok dengan lidah lokal. Disebut vernacularisasi.
Bukan jumawa, kelas sosial mereka juga beda. Mereka bisa baca tulis, kosmopolit (karena bergaul dengan sesama rekan senusantara, dan juga berporos Arab). Paling mencengangkan: mereka adalah individu pembelajar.
Di saat orang Jepang masih terisolasi karena Kaisar menolak orang asing, di saat suku Indian Amerika masih tinggal di atas pohon, di saat Eropa tercabik perang saudara, di saat kaum Yahudi dibantai di sana-sini, orang-orang Islam nusantara sudah belajar Jurumiyah dan Alfiyah.
Ulama Nusantara juga berhasil melahirkan pelbagai magnum opus, alias buku legendaris. Mulai dari Nurudin Araniri (Tajus Salatin), Hamzah Fansuri, Saleh Darat (Tafsir Quran pertama berbahasa Jawa), Yassin Al Fadani (penulis kaidah nasab para ulama nusantara), hingga Syeikh Nawawi Al Bantani. Karya-karya intelektual itu ditulis di rentang waktu: Abad 16-19.
Biar jelas, kita sandingkan kultur nusantara non ulama dengan keterpelajaran para ulama, di zaman itu. Orang Hindu atau Budha menulis pelbagai karya susastera, semacam macapat, babad, atau serat. Isinya: mitos, mantera, dongeng, dan puja puji dewata.
Jauh dari kaidah ilmiah. Sementara di kitab kuning, ada verifikasi untuk kutipan ayat atau hadis, atau ijma ulama. Penulis kitab kuning tak sembarangan mengonsep ilmu. Harus jelas sanad keilmuan dan harus jujur terhadap pendapatnya.
Gilanya, Kitab Kuning punya metode saling melengkapi. Yakni melalu syarah (kitab yang menjelaskan kitab sebelumnya), ada mukhtasar (kitab ringkasan atas kitab lain), ada hasyiah (komentar terhadap kitab lain), dan bahkan mandhumah atau nadhom (syair terhadap kitab lain).
Pertanyaannya: pernahkah Anda mendengar kaidah ilmiah Kitab Sutasoma? Adakah pujangga lain yang sezaman kitab itu yang membuat kitab penjelas dari Mpu Prapanca itu? Bisakah bait-bait Sutasoma dilacak sumbernya, atau fantasi pribadi si penulis? Adakah asal usul, tafsir, dan kaidah keilmuan lain yang membantu menjelaskan kitab itu?
Tak ada. Kitab itu dongeng halusinasi saja. Kalapun kitab itu jadi terkenal, tak lain karena unsur politik. Tak ada urusan keilmuan di situ.
Sementara Kitab Kuning yang ditulis Ulama Nusantara, bahkan bisa diuji kesahihan akademiknya hingga detik ini. Karena konsep, teori, paradigma, dan bahkan kata-katanya memang murni ilmiah, bukan dongengan kesurupan.
Memang ada juga yang berunsur hikayat, kisah, atau opini pribadi, tapi itu hanya bagian analogi saja. Fajar intelektual seperti itulah sesungguhnya yang beredar di nusantara, era Abad 16-19. Boleh dibilang, itu adalah the golden age (zaman keemasan Islam Nusantara). Bertopang pada bahasa komunikasi, bahasa ilmu, bahasa dakwah islamiyah, dan cahaya kitab kuning.