spot_img

Jebakan Nostalgia Media Sosial

Ilustrasi: Sosial Media (istimewa).

Hal-hal atau produk yang bernuansa retro begitu menarik bukan? Itu terjadi karena naluri alamiah kita atau hal tersebut sudah dikondisikan?

DEWASA ini, manusia tidak bisa dipisahkan –dalam kehidupannya- dengan teknologi. Hadirnya teknologi dalam kehidupan manusia juga sangat membantu kehidupan manusia itu sendiri. Oleh karenanya, jika harus membayangkan manusia yang terpisah dengan teknologi di hari ini tentu sangat sulit.

Tidak hanya itu, dengan adanya teknologi manusia tidak lagi hidup dalam satu dimensi saja, melainkan hidup juga dalam dimensi virtual. Manusia dapat dengan mudah mengakses informasi dan berinteraksi dengan orang lain tanpa harus meninggalkan tempat tidur.

Teknologi digital telah menghadirkan dunia yang tidak terbayangkan sebelumnya. Di mana manusia bisa berinteraksi dengan dunia tanpa harus khawatir batasan ruang dan waktu. Dengan adanya berbagai platform digital, seperti facebook, twitter, instagram, youtube, tiktok, dan lain sebagainya, manusia bisa dengan bebas mengekspresikan dirinya dan menunjukannya pada dunia.

Baca Juga

Tidak heran hal tersebut sangat diminati oleh berbagai macam kalangan masyarakat. Bayangkan hanya dengan satu device, yaitu ponsel pintar atau komputer, manusia bisa melakukan banyak hal didalamnya.

Berdasarkan data dari DataIndoneisa.id, pengguna media sosial di Indonesia pada tahun 2023 mencapai 167 juta pengguna. Tentunya hal ini setara dengan 60,4% dari keseluruhan jumlah populasi manusia yang ada di Indonesia.

Sedangkan menurut data terbaru yang diterbitkan oleh Datareprtal.com dalam laporan “Digital 2023 Indonesia” menunjukan bahwa secara signifikan pengguna media sosial pada tahun 2023 bisa meningkat sampai 215 juta pengguna.

Total populasi manusia di Indonesia mencapai 276,4 juta, sedangkan pengguna internet mencapai 212,9 juta orang dengan perangkat yang terhubung sebanyak 353,8 juta, dan pengguna media sosial aktif sebanyak 167 juta orang.

Waktu yang digunakan dalam menggunakan internet dan media sosial pun relatif lama dengan rata-rata 7-8 jam per hari. Dari data ini kita bisa menyimpulkan bahwa memang media digital khususnya media sosial sangat diminati oleh masyarakat Indonesia pada umumnya.

Dalam kenyataannya, teknologi digital memberikan kita akses tak terbatas pada informasi dan perubahan yang terjadi di seluruh dunia. Namun, dampaknya juga bisa membuat masyarakat merasa tertekan atau kewalahan dengan laju perubahan yang cepat.

Perasaan kehilangan kendali atas kehidupan sehari-hari bisa menjadi hal yang dirasakan oleh sebagian orang. Adakalanya, akselerasi yang terlalu cepat dari perubahan teknologi dan informasi membuat beberapa orang merasa sulit untuk menyesuaikan diri. Bagi sebagian orang, nostalgia akan masa lalu muncul sebagai respons terhadap perubahan yang begitu cepat dan mendalam ini.

Salah satu penelitian paling awal yang dilakukan untuk meneliti dampak dari penggunaan media sosial, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Ethan Kross dan tim psikologinya pada tahun 2013. Kross menyebutkan dalam penelitiannya bahwa memang jika dilihat secara sekilas, media sosial khususnya dalam hal ini facebook seolah-olah memberikan sesuatu yang berharga dalam bentuk pemenuhan kebutuhan dasar manusia, yaitu hubungan sosial.

Namun, alih-alih memberikan kesejahteraan, hal tersebut malah mengikis kesejahteraan tersebut. Bagaimanapun komunikasi yang cepat dan tanpa batas, ditambah dengan ekonomi perhatian dan pengawasan yang terus-menerus. Hal tersebut dapat mengikis kesehatan mental penggunanya.

Kapitalisme Akhir

Suatu kondisi yang tidak kalah mengerikan yaitu kapitalisme akhir. Ini merujuk pada fase terakhir atau bentuk puncak dari sistem kapitalisme. Dalam konteks ini, kapitalisme akhir menggambarkan suatu kondisi di mana elemen-elemen fundamental dari sistem ini mencapai tingkat perkembangan yang maksimal

Beberapa ciri khas kapitalisme akhir termasuk dominasi ekonomi oleh korporasi besar, pertumbuhan tak terbatas yang mengarah pada ketidaksetaraan yang signifikan, dan penetrasi yang mendalam dari teknologi dan media korporat ke dalam kehidupan sehari-hari.

Di tengah-tengah kemajuan teknologi dan globalisasi, kapitalisme akhir dapat menciptakan ketidaksetaraan sosial yang semakin melebar dan meresap ke dalam berbagai aspek kehidupan. Beberapa teoretikus mengkritik kapitalisme akhir karena dianggap memperkuat ketidaksetaraan dan mengorbankan kepentingan manusia demi keuntungan ekonomi. Meskipun menciptakan kemajuan ekonomi, kapitalisme akhir juga menimbulkan pertanyaan etis dan menantang tatanan sosial yang adil.

Pada akhirnya terjadi sebuah kebingungan, dimana kita mendambakan kemudahan dalam bingkai kemajuan teknologi, akan tetapi hal tersebut pula yang membuat kita kebingungan, merasa semuanya tidak stabil, serta sulit membayangkan bahkan memiliki ketakutan akan masa depan. Hingga pada akhirnya kita sangat menginginkan untuk kembali ke masa lalu.

Sehingga tidak heran beberapa konten yang berisikan mengenai kenangan masa lalu, seperti menceritakan apa saja yang sering kita lakukan dimasa lalu mampu menarik perhatian banyak orang. Tidak hanya itu, kita sangat tertarik untuk membeli produk-produk yang memiliki nuansa masa lampau, begitupun dengan musik dan lain sebagainya.

Di saat kita seharusnya lebih percaya diri akan masa depan, karena kita hidup diera yang serba mudah karena adanya kemajuan teknologi, tetapi pada nyatanya kita malah sangat merindukan masa lalu. Sialnya, hasrat nostalgia yang seharusnya menjadi cara kita sejenak melarikan diri dari ketidakstabilan hari ini, itu dimanfaatkan oleh para pemilik modal, khususnya Big tech sebagai sarana meraup keuntungan.

Pada tulisan kali ini, penulis akan berfokus pada persoalan nostalgia yang diproduksi sebagai barang atau lain sebagainya yang kemudian itu menjadi keuntungan bagi para pengusaha, khususnya pengusaha di bidang digital atau Big Tech. Sebagai fokus penulisan, maka pembahasan akan dimulai dengan pertanyaan “bagaimana Big Tech ini memonopoli hasrat nostalgia dalam diri kita?“

Nostalgia Dalam Dekapan Kapitalisme

Ketika membicarakan nostalgia ini, Grafton Tanner membagi dua jenis nostalgia, yaitu instan dan personal. Nostalgia personal merujuk pada yang secara reaksioner muncul sebagai respon terhadap kekacauan dan ketidakstabilan kenyataan hari ini, yang mana akhirnya kita mengingat masa lalu yang menurut kita stabil.

Sedangkan nostalgia instan merupakan nostalgia yang telah dikondisikan, dimana memang ia sengaja dipicu dan dirawat. Dalam nostalgia instan ini, kita dipaksa merindukan sesuatu di masa lalu yang bahkan kita tidak pernah mengalami hal tersebut. Namun, perasaan itu disebarkan lewat kanonisasi konten-konten yang menggambarkan masa lalu yang indah, damai, dan emosi positif lainnya, sehingga kita akan terjebak dalam nostalgia.

Siapa yang memicu dan merawat hal tersebut? Tentu saja itu adalah perusahaan dengan sebutan Big Tech. Tanner menyebutkan dua hal yang berkaitan dengan dengan Big Tech ini, yaitu teknologi persuasif dan kapitalisme pengawasan.

Kapitalisme pengawasan merupakan bentuk ekonomi baru yang tidak hanya bergantung pada eksploitasi tenaga kerja atau sumber daya alam, tetapi juga pada eksploitasi data. Perusahaan-perusahaan besar menggunakan teknologi untuk mengumpulkan data secara besar-besaran dari perilaku online kita. Kemudian menganalisisnya untuk memprediksi perilaku, mengarahkan preferensi, dan bahkan memanipulasi pilihan kita dengan tujuan mendapatkan keuntungan ekonomi yang lebih besar.

Perusahaan-perusahaan ini menggunakan data untuk menciptakan prediksi perilaku yang sangat rinci tentang individu, yang kemudian digunakan untuk menyesuaikan iklan, menentukan harga, dan mengontrol informasi yang kita lihat secara online. Ia juga menyoroti risiko-risiko terkait privasi, manipulasi, dan kekuatan besar perusahaan-perusahaan ini dalam memengaruhi tidak hanya ekonomi tetapi juga proses politik dan sosial.

Sedangkan teknologi persuasif ini merujuk pada metode yang dikembangkan oleh B.J Fogg, di mana metode ini mampu mengubah perilaku manusia sesuai dengan apa yang diinginkan melalui desain teknologi. Metode ini menggabungkan antara desain teknologi, psikologi, dan layanan pengguna untuk mempengaruhi seseorang agar melakukan hal tertentu.

Big Tech menggunakan metode ini dalam platform yang mereka buat, sekecil apapun elemen atau fitur yang ada dalam platform yang mereka buat telah dipikirkan secara matang guna mempengaruhi para penggunanya, serta memaksa penggunanya untuk selalu menggunakan platform tersebut. Sehinga tidak heran banyak dari pengguna media digital ini mengalami kecanduan.

Dengan menggunakan metode persuasif yang memaksa kita untuk terus-menerus pada ruang-ruang digital, mereka bisa mengeksploitasi data-data yang kemudian data tersebut dijadikan komoditi dalam pasar dalam pola ekonomi kapitalisme pengawasan seperti yang Zuboff katakan.

Dari data-data tersebutlah mereka melakukan prediksi terhadap perilaku atau apa yang ingin dilakukan oleh seseorang dimasa depan. Maka mereka akan menjual hasil prediksi tersebut kepada para pemilik modal lainnya guna dijadikan acuan pembuatan produk yang dianggap akan diminati banyak orang.

Begitupun dengan produk-produk yang bernuansa nostalgia yang hari ini sangat diminati, seperti musik-musik bernuansa 80-90 an yang kembali mendapat banyak peminat zaman sekarang, hingga produk-produk digital seperti pengiklanan yang dilakukan dengan memasukan unsur nostalgia didalamnya.

Hal ini disebabkan dari data-data kita yang Big Tech dapatkan selama kita berselancar di media digital, mereka mampu membaca perilaku dan emosi kita –dimana kita sedang dilanda kerinduan akan masa lalu- yang kemudian itu dijual kepada para pemilik modal.

Setelah itu nostalgia ini dirawat agar tetap ada dan mendapatkan pasarnya, kita pun masih terus menerus berada dalam lingkaran nostalgia tersebut. Karena bagaimanapun kita sudah dimanipulasi, dan dibiarkan terus menerus seperti ini. Hal itu –manipulasi- menjadi mungkin karena sebagaimana yang disebutkan oleh Tanner dalam bukunya circle of the snake bahwa Big tech berhasil memanipulasi dan memprogram otak manusia. Karena bagi mereka otak manusia itu layaknya mesin yang dapat diprogram dan dimanipulasi.

Tidak hanya itu, Big tech ini membuat kita berlarut-larut dalam nostalgia dengan cara menampilkan gambaran di masa lalu yang indah dan stabil, sehingga kita terjebak dalam nostalgia yang dipersenjatai. Algoritma media sosial sebenernya menggunakan nostalgia, hal itu tergambar dalam fitur postingan, di mana kita dapat memposting kegiatan hari ini dan kita bisa mengakses atau melihat itu dikemudian hari dengan tujuan mengenang masa-masa menyenangkan dahulu kala. Konsekuensi lebih jauhnya adalah manusia mengalami homogenitas perasaan dan lebih jauhnya manusia salah dalam memaknai atau membaca sejarah.

Pandangan Grafton Tanner tentang nostalgia menekankan hubungan antara teknologi modern dan cara kita mengingat masa lalu. Bagi Tanner, perkembangan teknologi, terutama media digital, memengaruhi cara kita merayakan dan menggambarkan nostalgia. Kritiknya terhadap penggunaan nostalgia dalam budaya populer menyoroti kemungkinan manipulasi dan dampaknya terhadap cara kita melihat sejarah dan realita saat ini.

Dalam penelitiannya, Tanner menjelajahi bagaimana nostalgia mempengaruhi cara kita memahami diri dan berinteraksi secara sosial di era digital. Dia menggunakan analisis budaya populer dan penelitian untuk memahami peran nostalgia dalam mengubah cara kita melihat masa lalu dalam dunia yang semakin terhubung secara digital. Hasrat kita akan kembali ke masa lalu itu dimonopoli dan dimanipulasi oleh para pemilik modal.

*Ditulis oleh: Mohammad Fajar Setiawan. Mahasiswa UIN Bandung. Aktif di HIMATANGBAR.

Loading

VINUS TV

BERITA TERBARU

IKLAN

spot_img
spot_img

BERITA TERPOPULER

IKLAN

spot_img

BERITA TERKAIT

Mantra Kepemimpinan Dedi Mulyadi

Bahlil dan Polemik Gas Melon

Politik Matahari Kembar

Mengakhiri Feodalisme Birokrasi

IKLAN

spot_img

SEPUTAR BANTEN

IKLAN

spot_img

SEPUTAR DESA

Masyarakat Pasir Bolang Demo Alfamart