spot_img

Ancaman Perang Dunia Maya

Foto: Ilustrasi perang dunia maya (Istimewa).

INTERNET dan dunia maya tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Adanya internet, maka terciptalah dunia maya dan bila tidak ada dunia maya, maka internet ini menjadi tidak menarik.

Namun, hal ini pula membuat problematika baru di tatanan dunia. Sebabnya, konflik antar negara yang terjadi di dunia nyata beralih ke dunia maya. Banyak negara mulai memperkuat sistem siber masing-masing dan mengembangkan persenjataan canggih dunia maya. 

Jauh sebelum perang antara Ukraina dan Rusia terjadi, banyak negara yang sudah melakukan perang secara digital. Banyak referensi yang bisa dicari mengenai masalah ini

Taufiqurrahman dalam Meninjau Perang Siber: Dapatkah Konvensi-Konvensi Hukum Humaniter Internasional Meninjau Fenomena Ini? menyatakan bahwa sudah banyak terjadi perang digital antar negara, maka dari itu sudah semestinya Hukum Humaniter Internasional (HHI) menyediakan payung hukum yang mengatur hal ini.

Baca Juga

Fakta yang terjadi adalah pada tahun 2016, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) NATO mendeklarasikan dunia maya telah menjadi domain operasi atau wilayah konflik. Ini artinya, harus ada sistem yang memperkuat pertahanan dengan seefektif mungkin di darat, udara, dan  laut.

Dengan adanya deklrasi ini, sudah memperjelas ancaman di dunia maya tidaklah sesederhana kelihatannya. Melainkan sudah menjadi sebuah ancaman yang kompleks dan berpotensi merusak.

Hal ini bisa dibuktikan berdasarkan pada pengembangan terhadap sistem perang informasi yang dilakukan oleh 120 negara. Termasuk Peru, Iran, Uni Emirat Arab, Kroasia, Vietnam, dan Rusia.

Pada tahun 2006 presiden Amerika Serikat, Goerge W. Bush, ingin memperlambat program nuklir Iran. Akan tetapi, ia tidak ingin melakukan penyerangan secara langsung dan akhirnya ia menyelesaikan sebuah program siber yang mampu mengacaukan sistem kontrol di fasilitas pengayaan nuklir Iran.

Sedangkan pada pertengahan tahun 1990-an, pakar keamanan internasional mulai menaruh perhatiannya pada kemungkinan perang siber. Baik sebagai senjata konvensional maupun senjata bersifat berdiri sendiri.

Kemudian pada tahun 2007, terjadi penyerangan berskala besar kepada negara anggota NATO. Yaitu Estonia yang membuat masalah perang dunia maya ini kembali mencuat.

Akibat yang ditimbulkan dari keberhasilan teknologi digital dalam mengembangkan aktivitas sosial, ekonomi, dan budaya membuat batas-batas konvesional kedaulatan  negara tidak terkendali.

Hal ini terjadi karena sudah tidak adanya batas status kewarganegaraan dan berubah menjadi masyarakat digital yang tidak memandang batas-batas geografis dari sebuah negara. Atau sering dikenal dengan digital society.

Hal ini yang membuat banyak negara membutuhkan regulasi untuk mengontrol perkembangan dunia digital. Berdasarkan hal tersebut mengindentifikasikan bahwasanya perkembangan teknologi merupakan sebuah eksperimen yang melibatkan entitas anarki. Sehingga dalam meengatasinya harus melibatkan otoritas negara yang kuat.

Serangan siber yang pernah terjadi beberapa tahun ke belakang menunjukkan bahwa negara yang menggunakan teknologi modern lebih kuat dalam melemahkan infrastruktur vital pihak lawan.

Hal tersebuut membuat kekhawatiran tingkat internasional yang relevan, bahwa negara-negara yang saling menyerang hampir meluncurkan serangan berbasis komputer atau serangan siber terlebih dulu pada pihak lawan.

Kasus tersebut menunjukkan bahwa senjata siber tidak sama dengan senjata tradisional setiap daerah yang ada di negara. Akan tetapi ia lebih mematikan.

Foto: Ilustrasi perang dunia maya (Istimewa).

Senjata siber bisa memilih dari berbagai opsi baik semantik maupun sintaksis. Karena senjata siber lebih menargetkan sistem-sistem operasi yang ada dikomputer, termasuk kode berbahaya seperti halnya virus, worm, trojan 44 horses, DdoS, dan spyware.

Perangkat yang terinfeksi oleh jenis-jenis kode berbahaya tersebut akan menaati perintah yang diberikan oleh penyerang. Efek yang dihasilakn dari proses serangan ini menjadikan serangan siber menjadi lebih efektif dan berbahaya daripada serangan konvensional.

Ada 4 fokus yang harus diperhatikan ketika menyusun regulasi ketahanan siber. Pertama, keamanan data digital harus menjamiin tidak ada pihak lain yang bisa memanfaatkan data tersebut, baik tanpa hak maupun diberi hak oleh negara.

Kedua, kemanfaatan digital yang ikut meliputi pengembangan infrastruktur digital dan pengaturan persaingan usaha berbasis digital.

Ketiga, kerja siber dalam rangka penegakan kedaulatan digital mengingat sifat nirbatas dunia digital. Terkhir, penegakan hukum berupa ketegasan sanksi terhadap pelanggaran kedaulatan digital supaya perlindungan kedaulatan digital benar-benar memberi dampak.

Hukum HHI merupakan salah satu cabang hukum internasional yang go public. Harus berupaya memoderasi perilaku konflik bersenjata serta mengurangi penderitaan yang disebabkannya.

HHI ini merupakan salah satu dari 2 pembagian prinsip hukum perang yang disebut dengan jus in bello (hukum saat perang). Ia juga mengatur tentang law to war sebagai legalitas untuk menggunakan angkatan bersenjata dalam peperangan.

HHI didirikan dengan dasar gagasan bahwa korban konflik bersenjata berhak akan perlindungan. Penulis artikel yang saya review ini percaya arsitektur normatif dari proses peninjauan senjata HHI akan berada di ujung tanduk setiap adanya perubahan. Di mana HHI ini harus terus menerus menyempurnakan juga beradaptasi dengan perkembangan zaman yang kian terjadi.

Komunitas hukum internasional wajib untuk terus bekerja sebagai upaya untuk mengatasi ambiguitas eksklusif yang ada pada penerapan HHI. Sehingga banyak negara yang memiliki pemahaman jelas mengenai bagaimana cara mempertahankan diri terhadap serangan siber.

Kunci untuk setiap negara dan organisasi internasional di tahun yang akan datang, ialah menemukakn cara yang lebih efisien untuk memilih siapa yang bertanggung jawab atas serangan siber.

Disisi lain juga diperlukan menyusun kebijaksanaan nasional masing-masing negara yang lebih transparan tentang evolusi perang siber. Efek yang dihasilkan berdasarkan serangan siber akan menentukan apa yang akan diklasifikasi menjadi permasalahan bersenjata yang diatur oleh HHI.

Oleh sebab itu, negara-negara dan organisasi internasioanl diwajibkan untuk merogoh sikap agresif dalam menciptakan taktik keamanan siber nasional. Dan mengikuti norma hukum internasional menggunakan pengakuan, bahwa perang siber akan terus terjadi.

Ditulis oleh: Mohammad Fajar Setiawan. Mahasiswa UIN Bandung. Aktif di HIMATANGBAR.

Loading

VINUS TV

BERITA TERBARU

IKLAN

spot_img
spot_img

BERITA TERPOPULER

IKLAN

spot_img

BERITA TERKAIT

Bahlil dan Polemik Gas Melon

Politik Matahari Kembar

Mengakhiri Feodalisme Birokrasi

Krisis Keteladanan Pejabat Negara

Jokowi di Persimpangan: Golkar atau Gerindra?

IKLAN

spot_img

SEPUTAR BANTEN

IKLAN

spot_img

SEPUTAR DESA

Masyarakat Pasir Bolang Demo Alfamart