Oleh: Ida Nurhayati
HARI minggu kemarin (08/03), tepat 43 tahun yang lalu International Women Day (IWD) diresmikan sebagai perayaan tahunan oleh perserikatan bangsa-bangsa (PBB). Tujuannya untuk memperjuangkan hak perempuan dan mewujudkan perdamaian dunia.
IWD tidak hanya dirayakan di Amerika Serikat saja, tetapi secara global di seluruh dunia. Tak ketinggalan juga di Indonesia. Meski kini perempuan sudah bisa mengenyam pendidikan tinggi, bekerja bahkan menduduki kursi kementrian Negara Republik Indonesia, tapi masih banyak isu lain terkait kesejahteraan perempuan yang perlu mendapatkan perhatian agar bisa diselesaikan. Beberapa isu perempuan yang masih marak di Indonesia adalah kekerasan seksual, pernikahan anak, serta budaya misoginis dan patriarki yang mendiskriminasi perempuan.
Seperti kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP). Menurut Catatan Tahunan (CATAHU) Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), jumlah kasus KTP 2019 sebesar 431.471, jumlah ini meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 406.178. Artinya ada kenaikan angka sebesar 6% dari tahun 2018.
Di samping itu, relasi romantis kerap kali menjebak dengan mengatasnamakan pembuktian keseriusan, atau pembuktian cinta. Dengan modus meminta pasangan untuk mengirimkan foto-foto pribadi. Sehingga, akhirnya berujung petaka pada kasus kekerasan terhadap perempuan (red, kasus KTP) berbasis Gender Online. Perempuan korban cyber crime sering mengalami pengancaman penyebarluasan informasi pribadi seperi foto, video dan lainnya. Jika tidak mengikuti keinginan pelaku.
Sementara itu, di Kabupaten Tangerang kasus kekerasan terjadi pada perempuan dan anak di bawah umur. Pada awal tahun 2020 sudah ada 12 kasus yang sudah dilaporkan. Sebagian besar korbannya adalah anak dibawah umur dengan rata-rata kasus adalah pelecehan seksual. (sumber: DP3A Kabupaten Tangerang).
Pelecehan seksual adalah perilaku pendekatan-pendekatan yang terkait dengan seks yang diinginkan. Termasuk permintaan untuk melakukan seks, dan perilaku lainnya yang secara verbal maupun fisik merujuk pada seks. Seperti tindakan siulan, main mata, komentar atau ucapan bernuansa seksual, colekan atau sentuhan di bagian tubuh, gerakan atau isyarat yang bersifat seksual, sehingga mengakibtakan: ketidaknyamanan, tersinggung, merasa direndahkan martabatnya dan dapat menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan jiwa.
Dalam pemahaman masyarakat di Kabupaten Tangerang dewasa ini, perempuan seringkali di tempatkan di posisi kedua. Bahwa perempuan adalah sosok yang selalu harus tunduk dan patuh dalam segala hal. Bahkan dalam berbagai masyarakat atau kalangan tertentu, beberapa nilai atau adat kebiasaan yang seakan tidak bisa lagi ditawar, ‘ini yang tepat bagi perempuan dan ini yang tepat bagi laki-laki’.
Akibat dari adanya budaya patriari yang mayoritas dianut dalam masyarakat, mengakibatkan adanya pembatasan ‘gerak’ yang wajar dan tidak wajar dilakukan oleh perempuan. Pola pikir tersebut sangat mempengaruhi pandangan masyarakat akan kedudukan yang layak bagi perempuan. Tak jarang perempuan menjadi kaum yang di nomorsekiankan dalam masyarakat.
Yang perlu digaris bawahi dari jumlah tersebut, adalah bahwa data tersebut diperoleh karena korban melakukan pelaporan atau gugatan secara hukum. Data tersebut tidak termasuk kasus-kasus yang tidak dilaporkan oleh korban maupun keluarga korban yang entah berapa jumlahnya.
Pemerintah Kabupaten Tangerang kurang memberikan perhatian lebih bagi perlindungan terhadap perempuan, baik diruang publik, maupun beratnya hukuman yang diberikan kepada pelaku.
Selain itu, masyarakat sendiri perlu merubah cara berpikir dalam menyikapi kasus kekerasan seksual. Alih-alih menyalahkan pelaku, seringkali korbanlah yang disalahkan. Apapun alasannya, perempuan tidak boleh dilecehkan. Justru korban harus diberi perlindungan bukan dikutuk atau di olok.
Dengan kata lain, saya katakan perjuangan perempuan mencapai kesetaraan belum selesai. That’s why. IWD penting untuk dirayakan, karena selain untuk mengingat jasa para perempuan yang telah berhasil mendobrak stigma. Perayaan IWD pun untuk mengangkat kembali isu pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender.
Dalam peringatan IWD ini, saya berharap para perempuan lebih sadar dan bijak dalam menggunakan media sosial, dan berhati-hatilah dalam memberikan informasi pribadi kepada siapapun.
Penulis adalah aktivis perempuan Kabupaten Tangerang & Sekertaris Umum Kohati Badko Jabodetabeka Banten