Puisi untuk Nyimas Titih Nugraha
Ramadan
berdiri di teras rumahku.
“Sudah waktunya aku pulang,” katanya. Suaranya pelan sekali serupa kesiur angin yang tipis.
Aku tak dapat menjawab, tak dapat mencegahnya, hanya tertegun
Mematung di ambang pintu.
Di rumah-rumah, ini hari begini sunyi dan berkabut, banyak orang masih pulas dalam dengkur.
Ramadan
Memeluk tubuhku yang kaku
Lalu pergi sambil melambaikan tangan
Ada segaris senyum yang selalu kurindukan.
“Engkau pergi terlampau cepat,” kataku, nyaris tanpa suara.
Di ujung gang, Ia memandangku
Lalu melambaikan tangan kembali.
“Mungkinkah itu lambaian tangannya yang terakhir,” tanyaku, dalam hati.
Kukejar Ia
Kukejar lagi
Kukejar terus.
Kakiku terpaku ke bumi.
Aku lupa aku tak bisa berlari.
Sejak ratusan hari. O Ilahi.
Akhirnya
Ia pergi, benar-benar pergi
Dan aku tak sanggup membalas
Lambaian tangannnya, tak sempat membalas dekapannya, tak sempat mencium harumnya.
Aku tertegun dengan tubuh ngilu.
Aku
menangis
Menjerit
sendiri
Parakansaat-Bandung, 2023
Puisi ditulis oleh: Budi Sabarudin. Penulis buku Si Lidah Emas Dirampok Begal.