Oleh: Endi Biaro
MAAF, tiga kalimat di bawah ini berisi rentetan pertanyaan filsafat!
Etiskah pemegang otoritas politik di Kabupaten Tangerang tiba-tiba mengambil tahta puncak sebuah partai di wilayah lain?
Apa nilai kebaikannya?
Lantas bagaimana alur pikir kita untuk menjelaskan fenomena ini?
Pertanyaan paling depan, soal etik. Akar tunjang etika politik hanya satu: moralitas.
Sumbernya banyak: moral agama, moral sosial, moral intelektual, dan moral pragmatis.
Sulit untuk menguak pelanggaran etis akan hal ini.
Terlebih kita jauh dari fakta-fakta konkret, tentang proses pengambilan posisi Golkar, dengan cara normal atau “sangat normal”. Kata dalam tanda petik tadi, tak perlu diurai. Lantaran semua mahfum, kompetisi politik sangat normal jika dilakukan dengan pelicin.
Meski begitu, agaknya posisi paling terang benderang yang bisa menjelaskan diskusi kita ini, adalah bahwa yang bersangkutan memakai moral pragmatis. Yakni, sesuatu tindakan terkategori pantas (etis) dikerjakan jika memang ada manfaatnya.
Berikut, penalaran kedua, menjawab pertanyaan: apakah baik?
Filsafat pragmatisme akan mengatakan semua hal baik jika ada utility (asas daya guna) yang bisa dipetik. Berhubung tokoh kita ini adalah pejabat publik, maka mari kita hitung.
Ketua Golkar DKI adalah kekuasaan besar dengan gangguan besar.
Bagi publik, ini penting digugat. Kabupaten kita yang diberi atribut Gemilang adalah segunung masalah. Konyol bila diurus tanpa totalitas tindakan dan pikiran. Kata lain, butuh waktu fokus, perlu kejeniusan khusus.
Sejauh ini, indikator yang mencuat, pengelolaan atas berbagai masalah adalah biasa-biasa saja. Dan kini sang pemegang otoritas memiliki beban tambahan.
Senyatanya: masalah dari Kronjo-Balaraja-Kelapa Dua terbilang luar biasa!
Banjir. Sampah. Pengangguran. Kemacetan. Silakan tambahi.
Nasihat Einstein: jika masalah luar biasa dihadapi dengan cara biasa-biasa saja, maka layak disebut gila.
Paling akhir, peta nalar memahami langkah politik Zaki. Ini bagian paling ramai.
Bisa disebut mengagetkan nalar.
Logika lazim, akan memahami jika Zaki justru mengokohkan kaki di sini, bukan di DKI. Semisal menguasai Golkar Provinsi (Banten). Trek politik beliau mestinya: Bupati dua kali lalu bertarung di Gubernur (Banten). Via rekom Golkar Banten — bukan DKI.
Atau merebut partai lain, sejauh bisa jadi kendaraan di Pilkada nanti. Paling tidak, partai sekelas Golkar.
Opsi nalar lainnya: Zaki memperlebar panggung. Di Kabupaten, jaring-jaring kekuasaannya kuat. Beliau butuh ekspansi. Targetnya tetap di kontestasi Pilkada Banten, tetapi dengan tenaga tambahan berlipat ganda.
Ketua Golkar DKI adalah kunci pembuka pada para penguasa utama. Termasuk ke para bandar.
Ini memang hanya spekulasi. Harap catat: salah satu ciri filsafat adalah spekulasi.