Oleh: Endi Biaro
ILMU dalam kategori ilmiah adalah: bisa diverifikasi, diuji, dan diaplikasikan.
Pentakshihan atau pemeriksaan derajat kebenaran kitab kuning, berkali lipat lebih kuat tinimbang buku ilmiah lain.
Literatur sekuler, paling bertumpu pada quotasi, atau catatan kaki. Tapi kitab kuning, bukan hanya catatan kaki detil, malah menjelalajar ke berbagai bentuk.
Sebuah Kitab Induk yang masyhur dan jadi rujukan, bisa diperiksa dan dijelaskan ke berbagai versi.
Dalam bentuk: syarah (penjelasan), mukhtasar (ringkasan), hasyiah (ulasan,komentar), dan bahkan nadhom (dibuat syair lagu, agar mudah dihapal).
Pernahkah buku sekuler secanggih itu? Das Capital, karya Karl Marx, yang jadi babon kaum komunis pun tak secanggih itu.
Kita tak pernah mendengar lagu tentang The Wealth of Nation, kan? Karya Adam Smith yang menjadi rujukan kaum liberal.
Versi lain dalam metode kritik karya ilmiah adalah kejujuruan akademik dan kejelasan sumber kutipan.
Kitab Kuning punya akurasi tinggi. Para mushonif (pengarang), tak pernah memalsukan kutipan, membuat klaim itu pendapat sendiri, atau mengubah-ubah kaidah yang sudah terbukti kebenarannya.
Kitab Kuning meletakan kejujuran kutipan dengan takjim, penuh hormat.
Berikut kita masuk pada derajat kemanfaatan sebuah karya ilmiah.
Dalam tradisi sekuler, misalnya di kampus, kita akrab dengan konsep “manfaat teoritis” dan “manfaat praktis”.
Di bagian Bab Pendahuluan, lazim ditemukan: skripsi ini bertujuan memperkaya teori dan guna memenuhi syarat jadi sarjana.
Di Kitab Kuning tak begitu. Manfaat teoritis dan konseptual begitu ajeg dan jelas, memastikan kekuatan dalil dan argumen pendapat tertentu.
Sementara manfaat praktisnya, sangat nyata bagi ummat. Boleh dibilang, alam pikir Ummat Islam, terpengaruh kerangka teoritis kitab kuning.