
INDONESIA, negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, akan menggelar pemilihan umum. Diklaim terbesar di dunia pada 2024 mendatang. Jumlah pemilih diperkirakan mencapai 74% dari total populasi.
Sebagian di antaranya ialah pemilih pemula. Lebih dari 200 juta pemilih di dalam negeri dan 1,75 juta diaspora Indonesia di seluruh dunia akan mendatangi tempat pemungutan suara pada 14 Februari 2024 untuk memilih presiden dan wakil presiden berikutnya.
Pemilihan legislatif juga akan digelar bersamaan pada hari yang sama. Pemilu 2024 bukan hanya sebagai bagian dari rutinitas pesta demokrasi lima tahunan dalam rangka melakukan pergantian para calon pemimpin, baik di tingkat legislatif maupun eksekutif.
Namun, lebih dari itu, Pemilu pada tahun depan diharapkan akan terpilih pemimpin dan wakil rakyat yang berpihak pada masyarakat lemah. Menguatnya pemilih muda yang cerdas, anti politik uang, dan menguatkan politik dan diskursus di era demokrasi.
Baca Juga
Penyelenggaraan Pemilu 2024 seharusnya bisa lebih baik dibandingkan pemilu sebelumnya. Sebab, idealnya setiap penyelenggaraan Pemilu memiliki terobosan baru, seperti menguatkan diskusi dan kontestasi politik, adu gagasan bukan sebaliknya munculnya politik uang, depolitisasi, oligarki politik dan politik identitas.
Namun, pada kenyataannya dalam beberapa tahun belakangan ini, depolitisasi semakin menguat di kalangan antar partai. Depolitisasi melahirkan Pemilu jadi agenda rutinitas.
Kita kaum muda harus kembalikan pertarungan antar partai itu bukan lagi konspirasi membentuk blok politik, tapi bertarung ide dan gagasan. Sementara KPU sebagai penyelenggara Pemilu terjebak pada hal teknis dan prosedural.
Ia tidak menguatkan kualitas Pemilu dengan melakukan edukasi ke calon pemilih muda, memberikan pencerahan mengenai larangan politik uang, hingga mencegah terjadinya kampanye politik identitas.
Jika Pemilu terus begini, yang terjadi hanya pergantian formasi, pergantian orang dan rutinitas. Pemilu kita terjebak pada rutinitas, terjebak pada teknokrasi
Selain itu, partai politik selama ini tidak menguatkan perannya dalam melahirkan calon pemimpin berkualitas, tetapi berebut mencari aktor politik dari kalangan pengusaha, artis, atau mantan tentara yang berasal dari luar partainya.
Seharusnya di era reformasi, peran partai itu menguat dalam melahirkan calon pemimpin bangsa. Elite politik kita harus keluar dari zona nyaman dari rutinitas pemilu ini.
Sementara Pemilu 2024 sepertinya tidak akan menjawab harapan masyarakat untuk menguatkan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, meski ada partai yang kampanye anti korupsi. Namun, seperti sebelumnya justru saat berkuasa para elite dan kadernya melakukan praktik korupsi.
Tidak hanya di tingkat partai, juga lembaga pemberantasan korupsi seperti KPK sekarang ini dilumpuhkan perannya sebagai lembaga antirasuah di Indonesia.
Sekarang KPK sebagai punggawa pemberantasan korupsi tidak seperti dulu lagi, sudah kehilangan kemampuan untuk melakukan kontroling. Jadi keberpihakan politisi dan partai pada kelompok masyarakat yang lemah dalam segi ekonomi, sangat sulit diwujudkan sepanjang transaksi politik uang antara calon pemimpin dengan pemilih masih saja berlangsung.
Kita tidak bisa berharap banyak. Apapun yang dikampanyekan Caleg dan calon pemimpin, kita masih terperosok dalam lubang yang sama dalam setiap Pemilu.
*Ditulis oleh: Muhamad Iskandar. Demisioner Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Insan Pembangunan Cabang Kabupaten Tangerang.