spot_img

Bedah Retorika Gus Baha

Oleh: Endi Biaro

SEORANG kader militer berpangkat kopral, hanya dalam hitungan lima tahun berhasil mengguncang dunia. Tepatnya menebar teror mengerikan sepanjang sejarah manusia.

Dia tentara yang kecewa dan marah. Negeri yang ia banggakan di tubir jurang. Kalah perang.

Manusia pendek berkumis Charlie Chaplin ini pun berontak. Salah satu “peluru” mematikan yang ia gunakan adalah: retorika!

Hari ini penduduk dunia merinding jika mengingat namanya: Adolf Hitler.

Dogma Das Ich Ubber Ales (bahwa ras Jerman adalah paling mulia) yang ia propagandakan, menyihir publik Jerman dan membunuh jutaan Yahudi, serta mengubur ratusan ribu tentara dalam Perang Dunia Kedua.

Poinnya: agitasi, propaganda, dan retorika, jika dilakukan sistematis, bisa berdampak dahsyat.

Siapa yang tak kenal enigma pidato Winston Churcil, Perdana Menteri Inggris di era tahun 40-an? Atau, setiap kepala di Nusantara pasti mengagumi gelegar pidato Bung Karno. Cara berbahasa yang penuh tenaga dan menabur pesona, bisa menggerakan perubahan besar.

Nama-nama di atas adalah figur politisi. Senyatanya, di kolam intelektual dan keagamaan pun, para jago pidato tak kurang-kurang banyaknya. Ajaran mereka menghunjam di batok memori hingga saat ini.

Semisal Socrates, 2.300 tahun lalu, memukau anak-anak muda dengan “gaya komunikasinya” yang “penuh pertanyaan”. Hingga muncul sebutan: Socrates adalah si lalat pengganggu. Karena dia mengganggu pikiran banyak orang saat itu (melalui pidato-pidatonya).

Tahukan Anda, tak sepotongpun Socrates menuliskan pikirannya. Buku Republic yang kita kenal tak lain adalah tulisan murid sang filsuf, yakni Plato.

Riwatat sejarah retorika (atau balaghah), bermula dari sini. Dalam beberapa hal, nama-nama yang disebut menetes dalam metode retorika Gus Baha.

Kyai muda NU ini tuntas dalam menampilkan gaya retorika dari segala sisi. Dia kuat dalam aspek logos (isi pikiran, gagasan). Gaya bertuturnya juga asyik, dalam retorika moderen disebut pathos.

Serta semangat beliau dalam berceramah juga sangat percaya diri (disebut ethos, alias menjiwai). Ini perspektif retorika kuno, atau Oracles versi Socrates.

Lalu bagaimana analisis “gaya tausiyah” Gus Baha dari aspek retorika modern?

Sangat mumpuni. Intelektual muda NU ini fasih memunculkan analogi (perumpamaan, qiyas, atau dalam istilah pesantren di Banten adalah Siloka).

Gus Baha mampu meracik dalil Ushul Fiqh yang rumit menjadi sederhana, bahkan jenaka.

Simak kelakarnya yang cerdas ini:

Seorang Guru SMA bertanya, apakah haram membocorkan rahasia soal-soal Ujian Nasional?

Dijawab: yang boleh membocorkan soal ujian hanya para Kyai. Kenapa? Karena para Kyai bahkan wajib membocorkan jawaban untuk soal ujian dari Malaikat kepada mayat di dalam kubur. Man Robbuka?

Berikut, tokoh yang kini viral itu, pandai pula memainkan logika. Apa yang dibenak kita salah, bisa dibalikan menjadi benar, melalui dalil dan argumennya.

Paling mengesankan, Gus Baha juga sanggup menggairahkan retorika yang dialogis, resiprokal (penuh umpan balik).

Retorika kuno bersifat dogmatis monoton. Retorika modern adalah partisipatif.

Catatan lain, sangat kental public speaking Gus Baha bernuansa kultur Nahdliyin tulen.

Apa itu? Pertama, multi perspektif, tidak bernalar tunggal. Kedua, adaptif, alias menyesuaikan isu aktual. Ketiga, penuh guyon. Keempat, penuh kisah. Tak melulu dalil kering yang mengutip kitab klasik. Tapi juga memapar cerita-cerita menarik di masa lalu.

Tentang yang ini, Gus Baha bahkan punya “fatwa”, bahwa dakwah itu harus menghibur, agar orang tak bosan.

Namun sisi penting yang sesungguhnya adalah beliau jadi penyelamat sejati.

Betapa saat ini ceramah agama begitu terkotak, bernalar sempit. Kalaupun ada yang netral, terjejali oleh Kyai Selebriti. Atau jikapun ada yang liberal, tetapi miskin narasi.

Gus Baha bermain di wilayah dakwah yang basah, enak disimak, dan penuh warna. Dia menjadi sosok hidup yang memastikan bahwa para ahli kitab kuning bisa mempesona di era medsos ini.

Meski begitu, kita juga tak harus mengkonfrontasikan antara Gus Baha dengan misalnya Ustadz Abdul Somad. Mereka saling melengkapi. Yang satu berkultur khas Jawa, satu lagi Melayu.

Loading

VINUS TV

BERITA TERBARU

IKLAN

spot_img
spot_img

BERITA TERPOPULER

IKLAN

spot_img

BERITA TERKAIT

Mantra Kepemimpinan Dedi Mulyadi

Jebakan Nostalgia Media Sosial

Bahlil dan Polemik Gas Melon

Politik Matahari Kembar

IKLAN

spot_img

SEPUTAR BANTEN

IKLAN

spot_img

SEPUTAR DESA

Masyarakat Pasir Bolang Demo Alfamart