
TANGERANG | Wacana perpanjangan masa jabatan presiden lebih dari 2 periode terus mendapat sorotan dari berbagai kalangan.
Kali ini datang dari aktivis mahasiswa Tangerang Fahrizal. Dia menilai, munculnya wacana presiden 3 periode merupakan bentuk tindakan atau upaya inkonstitusional karena bertentangan dengan Pasal 7 UUD Tahun 1945.
Kepada Vinus, Fahrizal menyampaikan, dalam setiap Pemilu pasti terjadi persaingan kurang sehat antar calon. Oleh karena itu, konstitusi harus menjamin agar persaingan dapat berjalan secara seimbang dan adil.
Baca Juga
- Aktivis Banten Pertanyakan Klaim Jayabaya Terkait Presiden 3 Periode
- Perekat Demokrasi Inisiasi Perubahan Kebijakan Sektor Kesehatan Melalui Advokasi
Dia mengingatkan konstitusi telah membatasi masa jabatan presiden dan wakil presiden selama 2 periode, tapi sekarang ada pihak yang menyuarakan agar masa jabatan itu dapat diperpanjang.
“Saya melihat Presiden Jokowi tidak tegas merespons wacana tersebut, karena hanya menyebut bahwa dirinya akan taat konstitusi,” ujarnya.
Masih kata mahasiswa Fakultas Hukum STISNU Nusantara Tangerang ini, pernyataan Jokowi tersebut bersayap dan tidak tegas.
Seharusnya, lanjut Rizal, Jokowi melihat sikap yang dicontohkan mantan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama terhadap tawaran memperpanjang masa jabatan presiden.
Saat itu, Obama secara tegas menyatakan menolak karena alasan keluarga dan konstitusi yang tidak membolehkannya.
Menurut Rizal, godaan memperpanjang masa jabatan selalu ada dalam sistem presidensial. Dia mengutip Pasal 7 UUD Tahun 1945 yang menyebutkan masa jabatan presiden hanya 2 periode yakni 5 tahun dan dapat dipilih lagi dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.
Bahkan jangka waktu masa jabatan presiden ini sudah ada dalam naskah UUD RI pada masa sebelum kemerdekaan.
“Konstitusi sudah sangat jelas membatasi (red: masa jabatan Presiden 2 periode),” kata Fahrizal dalam diskusi bertema “Ambang Batas Calon dan Pembatasan Masa Jabatan Presiden”
Rizal melanjutkan, soal ambang batas pencalonan presiden, Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 mengatur pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu sebelum pelaksanaan Pemilu.

Menurutnya, ketentuan pasal itu sudah adil untuk memberikan kesempatan bagi setiap partai politik peserta Pemilu untuk mengajukan pasangan calonnya.
Tapi sayangnya Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 mengatur lain, di mana pasangan calon diusulkan oleh Parpol atau gabungan Parpol peserta Pemilu yang memenuhi syarat perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR.
“Atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada Pemilu legislatif sebelumnya,” sambungnya pada Jumat (08/04).
Rizal menilai, Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu melanggar Pasal 6A ayat (2) UUD Tahun 1945. Ada perbedaan konsep yang sangat berbeda dan saling bertentangan antara kedua pasal itu.
Persyaratan ambang batas pencalonan presiden itu hanya memberi ruang bagi Parpol besar. Akibatnya, jumlah pasangan calon yang akan maju dalam Pemilu nanti sangat minim, sehingga pilihan masyarakat sangat terbatas.
Dia juga melihat ada kecenderungan kalangan oligarki sudah nyaman dengan pemerintahan saat ini. Tapi oligarki tidak akan pernah puas karena mereka ingin terus mengumpulkan kekayaan dan mengamankannya melalui kekuasaan.
“Oligarki tidak mau kekuasaan yang nyaman bagi mereka ini dibongkar karena ketika terpilih presiden baru nanti jaringan mereka akan berbeda,” katanya.
Masih kata Rizal, adapun wacana perpanjangan masa jabatan presiden dengan menggunakan dalih keadaan darurat. Menurutnya, itu tidak bisa serta merta dilakukan karena kondisi darurat karena harus ada pernyataan.
“Mengacu UU No.23/Prp/1959, saat ini tidak masuk rezim kondisi darurat, melainkan bencana nonalam dan kedaruratan kesehatan masyarakat,” pungkasnya. |We