Oleh: Ade Firdiansyah (Ketua Umum IMKT)
TANGERANG kembali heboh. Kabar soal pencabulan kian menyeruak. Membuat Tangerang tercoreng di mata publik. Sebuah tragedi yang bukan saja tidak pantas, tapi memalukan. Padahal kasus “Inggris” belum usai.
Akhir-akhir ini sedang ramai diperbincangkan masyarakat. Terutama soal pencabulan anak. Masalah sosial yang tak pernah usai. Seperti akrab di telinga kita. Setiap saat, terus muncul. Kini di kota pinggiran Jakarta: Tangerang. Padahal, konon, ada program ramah anak.
Seorang pelatih futsal tega melakukan aksi bejat terhadap anak di bawah umur. Kelas 3 Sekolah Menengah Pertama. Tidak tanggung-tanggung: 6 kali. Betul-betul biadab.
Pelaku menggauli selama rentang waktu November 2019 hingga Januari 2020. Parahnya, selalu mengancam. Menakuti dengan informasi seolah, korban: sudah tidak perawan. Untuk kemudian kelakuan bejad itu terus terulang. Sampai enam kali. Sungguh miris.
Korban yang tidak tahan dengan kejadian itu, segera menceritakan. Pada keluarga. Soal apa yang terjadi selama ini. Medenger kejadian keji, sang keluarga kaget tentunya, seraya melapor pihak berwenang. Dan pada akhirnya tersangka ditangkap. Oleh polisi, atas dasar pengaduan.
Lebih parah lagi. Tak lama setelah itu, Kapolres Tangerang kembali menangkap pelaku pencabulan anak. Dengan kasus berbeda. Hal ini terbongkar saat salah satu keluarga korban melapor ke Mapolsek Balaraja. Begitu menyayat hati. Dalam rentang waktu dua pekan, kejadian pencabulan terjadi. Di Kabupaten Tangerang.
Untuk yang kedua, pelaku melakukanya sejak tahun 2017 dengan jumlah korban sebanyak 4 orang. Kisaran usia 12-15 tahun. Betul-betul di bawah umur. Usia yang seharusnya terayomi oleh orang tua dan negara. Dalam hal ini pemerintah daerah kabupaten Tangerang.
Pelaku melancarkan aksi tidak senonoh di rumahnya. Yang hanya ada dua orang penghuni. Rumah besar dengan sedikit penghuni. Hanya ditingali ayah dan pelaku. Tidak ada yang lain.
Dengan modus bermain Game Mobile Legend. Ketika lengah, karena asyik bermain, pelaku kemudian memegang alat kelamin korban. Memaksa untuk melakukan hubungan badan sesama jenis dengan menyodomi. Dan bukan pada satu orang. Sodomi itu terjadi pada banyak anak.
Kasus ini menjadi rantai panjang. Sebab pemerintah pusat maupun daerah masih belum bekerja secara optimal. Untuk mencegah hal seperti ini. Pengawasan semacam ini harus betul-betul dioptimalkan.
Padahal, dalam hukum positif, pelaku pencabulan anak diancam hukuman yang sangat berat. Sebagaimana dimaksud undang-undang nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Di dalamnya mengatur soal sanksi. Ancaman perlindungannya paling lama 15 tahun dan minimal 5 tahun.
Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak Kabupaten Tangerang mencatat, pada awal tahun 2020 banyak sekali kasus serupa. Belum ada sebulan, sudah 12 laporan yang diterima instansi tersebut. Ini sangat mengerikan. Artinya Kabupaten Tangerang dipenuhi predator anak. Atau jangan-jangan masih banyak kasus, namun para korban belum berani berbicara.
Setiap korban sudah pasti memiliki efek trauma, depresi, luka batin, dan lebih dahsyat menyerang psikis. Bahkan bisa sampai bunuh diri. Tidak sedikit juga yang pada akhirnya terjadi penyimpangan seksual.
Padahal, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak Kabupaten Tangerang memiliki program terkait sosialisasi pencegahan kekerasan dan seksual terhadap anak. Namun, ini belum terlaksana secara optimal. Ini menjadi PR penting untuk pemerintah daerah Kabupaten Tangerang.
Seharusnya, sosialisasi pencegahan gencar dilakukan. Bukan hanya di sekolah-sekolah saja. Tapi juga di kecamatan bahkan sampai ke desa. Kalau dianggap perlu setiap kampung.
Perlu juga memberikan edukasi atau mengingatkan kepada orang tua, agar lebih memperhatikan anaknya. Terkait aktivitas keseharian dan pergaulannya. Salah satu terjadinya kasus pencabulan karena lengahnya pantauan orang tua terhadap anak.
Untuk masyarakat, jangan sungkan melapor. Jika di lingkungannya terjadi kasus pencabulan. Kabupaten Tangerang harus menjadi daerah aman serta layak bagi anak. Bukan hanya peduli anak melalui: taman anak. Harus lebih dari itu. Soal pengawasan misanya.
Program Pemda Tangerang soal taman bermain, sesungguhnya tidak subtantif. Jika fokus pada ramah anak, bukan itu yang menjadi program primernya. Tangerang ramah anak tidak cukup dengah membangun taman anak di sudut-sudut kecamatan atau di area puspemkab. Itu menyederhanakan persoalan namanya.