
LEBIH kurang sembilan tahun UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa lahir. Dianggap cukup berhasil mendongkrak perekonomian masyarakat desa.
Dengan dibuatnya UU Desa, memberikan kepastian hukum kepada masyarakat desa, yang tujuannya untuk meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat desa. Guna mewujudkan masyarakat desa yang mampu memelihara kesatuan sosial.
Selain itu, sebagai bagian dari ketahanan nasional, memajukan perekonomian masyarakat desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan nasional, dan memperkuat masyarakat desa sebagai subjek pembangunan.
Desa, menurut UU Nomor 6 Tahun 2014 merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Baca Juga
- Wacana 10 Persen APBN: Bukti Nyata Desa Gagal Berdaulat
- Refleksi 7 Tahun UU Desa: Ingat, Desa Membangun, Bukan Membangun Desa
Keunikan dan dinamika desa terus menjadi warna tersendiri di dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia. Baru-baru ini, topik yang sedang ramai diperbincangkan terkait dengan proses revisi UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, banyak menuai polemik seta mengundang pro dan kontra di kalangan elite politik, para ahli, serta masyarakat umum.
Saat ini proses revisi UU Desa terus bergulir, rapat paripurna DPR ke-29 masa sidang V tahun 2022-2023 resmi mengesahkan revisi UU Nomor 6 Tahun 2014. Pengesahan RUU Desa menjadi usul inisiatif DPR yang merupakan lanjutan dari rapat panja di Badan Legislasi DPR.
Dari beberapa poin yang menjadi sorotan penting di antaranya; penambahan hak Kades yang sebelumnya disebutkan, “Kades hanya menerima penghasilan tetap setiap bulan, tunjangan dan penerimaan lainnya yang sah, serta menerima jaminan kesehatan.” sesuai pasal 26 ayat (3) huruf C.
Dalam draf RUU terbaru “Kades menerima penghasilan tetap setiap bulan, tunjangan dan penerimaan lainya yang sah, mendapat jaminan sosial di bidang kesehatan dan ketenaga kerjaan, serta mendapat tunjangan purna tugas satu kali di akhir masa jabatan.”
Selain itu perpanjangan masa jabatan kepala desa dari enam menjadi sembilan tahun. Merevisi pasal 39 ayat (1) Kepala Desa memegang jabatan selama 6 (enam ) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan.
Ayat (2), kepala desa sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.”
Hal ini banyak menarik perhatian masyarakat dan menjadi perbincangan hangat semua kalangan. Bukan persoalan secara akumulasi delapan belas tahun kepala desa bisa menjabat jika dikehendaki oleh masyarakat, akan tetapi lebih kepada alat ukur publik untuk mengevaluasi kinerja kepala desa menjadi panjang.
Sehingga, ada beberapa kalangan masyarakat yang menuding, bahwa revisi UU Desa sebagai transaksi politik antara elite politik dengan para kepala Desa.
Akan tetapi jika dilihat dari aspek hukum, saya menilai apa yang dilakukan DPR adalah hal yang normatif. Sebab diatur secara teknis oleh UU, karena revisi UU Nomor 6 Tahun 2014 menjadi kumulatif terbuka akibat putusan mahkamah konstitusi No.15/PUU-XXI/2023, yang mengembalikan kepada pembuat undang-undang.
Tentunya ini telah sejalan lurus dengan pasal 23 UU No. 12 tahun 2011 yang telah diubah menjadi UU No. 15 tahun 2019 dan perubahan kedua menjadi UU No. 13 tahun 2022 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Kalaupun demikian, harusnya DPR juga dapat mempertimbangkan ayat setelahnya, tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Bahwa DPR atau presiden hanya dapat mengajukan RUU di luar Prolegnas, apabila untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam, serta keadaan tertentu lainya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu rancangan undang-undang.
Hal ini pun menjadi sorotan tajam hingga banyak memunculkan persepsi masyarakat. Akan tetapi, kembali kepada bagaimana dan dari sudut pandang mana kita menilai proses revisi UU Desa.
Memperdalam Pasal 39 UU No.6 tahun 2014 tentang masa jabatan kepala desa, yang di revisi dari enam menjadi sembilan tahun. Banyak masyarakat yang keliru mengartikan dan bahkan sebagian kepala desa yang saat ini mejabat berpandangan bahwa masa jabatanya akan diperpajang tiga tahun setelah revisi UU Desa di undangkan.
Namun harapan ini akan menjadi sulit karna UU tidak akan berlaku surut, dan jika ini dipaksakan untuk berlaku surut, maka revisi UU ini akan merusak konsep ketatanegaraan. Karna dalam pelaksanaanya, tentu harus memiliki barometer yang jelas, untuk mengukur seberapa jauh UU ini berlaku surut.
Tegasnya, revisi UU Desa hanya menambah masa jabatan kepala desa di dalam klausul pasal, dan akan diberlakukan setelah diundangkan. Bukan memperpanjang jabatan kepala desa yang saat ini menjabat.
Kemudian bagi para kepala desa yang saat ini sedang menjalani masa jabatan periode kedua, apabila revisi UU Desa diundangkan pada tahun 2023 atau 2024, maka setelah habis masa baktinya, tentu sudah tidak diperbolehkan kembali untuk mengikuti kontestasi Pilkade periode berikutnya.
Poin setelahnya yang cukup menguntungkan bagi masyarakat desa yaitu, penambahan alokasi dana desa yang diatur besaranya 20 persen, yang berasal dari dana transfer daerah. Kisaran nilainya tentu bervariasi tergantung pada luas wialayah dan jumlah penduduk masyarakat desa.
Penambahan ini tentunya diharapkan dapat membuat desa menjadi mandiri, dengan menerapkan tata kelola pemerintahan desa yang baik dan terukur.
Mulai dari proses perencanaan, proses pelaksanaan, pengawasan dan pengoperasionalanya harus sejalan lurus dengan anggaran yang diterima. Terutama harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat desa.
Prayogo Ahmad Zaidi. Mahasiswa Pascasarjana Program Studi MIA Konsentrasi Kebijakan Publik Unis Tangerang.