Oleh: Yani Suryani*
SUDAH hampir dua tahun pembelajaran daring dilakukan. Sebagai metode yang dilakukan di masa pandemi. Menggunakan sekaligus memanfaatkan jaringan internet dalam pelaksanaannya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang dikeluarkan oleh Kemendikbud, daring adalah akronim dalam jaringan, terhubung melalui jaringan komputer dan internet.
Pembelajaran daring adalah metode belajar yang menggunakan model interaktif berbasis internet dan Learning Manajemen System (LMS) seperti menggunkan Zoom, Geogle Meet dan aplikasi lainnya.
Berkaitan dengan TikTok, ini merupakan aplikasi yang ada dan banyak digunakan oleh sebagian besar pengguna gawai (smartphone). TikTok adalah sebuah jaringan sosial dan platform video musik Tiongkok yang diluncurkan pada September 2016 oleh Zhang Yiming, pendiri Toutiao. Aplikasi tersebut membolehkan para pemakai untuk membuat video musik pendek mereka sendiri.
Baca Juga
- Syekh Nawawi, Cermin Bening Sang Pelita
- Gandeng UNTARA, Ananta Gelar Kursus Pancasila dan Sosialisasi Ultra Mikro
Sebenarnya apa hubungan pembelajaran daring dengan aplikasi TikTok? Belum lama ini ada seorang guru yang bercerita, bagaimana sedihnya ibu guru tersebut kala melihat anak didiknya. Kala itu guru tersebut berkesempatan bertatap muka dengan dua siswa untuk mengambil soal dan buku tugas.
Kedua siswa tersebut sering menggerakkan tangannya tanpa ada rasa malu. Ketika ditanyakan kamu sering melihat dan memainkan TikTok ya? Dengan santai keduan anak tersebut mengiyakan.
Aplikasi TikTok memang tidak semua mengandung unsur ketidakbaikkan. Namun melihat fakta yang terjadi sangat miris dan memprihatinkan. Siswa yang seharusnya menggunakan gawai sebagai alat yang dapat membantu dalam pembelajaran daring, malah lebih asyik dan sering mempraktekkannya. Sehingga tidak sedikit yang kecanduan.
Bahkan, dari pemberitaan media massa, seorang pemuda bernama Kaesar mengaku jika mengalami perubahan drastis usai kecanduan memainkan aplikasi TikTok. Ia mengalami TikTok Syndrome. Kaesar tidak bisa mengendalikan gerakan tangannya dengan baik dan benar. Saat beraktivitas tangan dan badannya terus bergerak.
Ini hanya sebagian kecil saja. Jika kita telusuri pasti masih ada Kaesar-Kaesar lain yang terjangkit TikTok Syndrome. Memang aplikasi ini bisa menjadikan manfaat yang besar jika dipergunakan dengan baik.
Misalnya untuk konten yang berisi pelajaran dan ilmu pengetahuan serta informasi atau bahkan untuk konten yang dapat menginspirasi. Namun pada kenyataannya masih banyak yang belum mampu dan siap untuk memanfaatkan TikTok ini dengan bijak.
Jika seperti ini terus, tentu sangat dikhawatirkan. Nantinya siswa-siswi yang belum bisa melakukan pembelajaran dengan tatap muka malah menjadi generasi TikTok. Karena bebasnya memegang gawai di rumah, dengan waktu yang begitu panjang, dan kesempatan besar bagi anak dalam menggunakan aplikasi ini.
Artinya, sudah semestinya pemerintah melalui kementerian terkait ikut andil dengan semua ini. Pembentukan karakter akan tidak bernilai jika masyarakat dan negara tidak bersinergi.
Pembelajaran daring saat ini pun begitu banyak dampak yang ditimbulkan. Saat ini krisis karakter bagi usia anak didik pun menjadi dilema bagi semua pihak. Ketegasan harus kita miliki tak terkecuali para pemangku kebijakan.
Jangan hanya ditinjau dari banyaknya materi yang dihasilkan. Namun tetap menjadi prioritas hal yang berkaitan dengan immaterial. Apalagi yang berkaitan dengan karakter peserta didik.
Agar tujuan pendidikan yang menjadi amanat Undang-undang bisa terwujud, dalam rangka mengembangkan potensi peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
* Penulis adalah tenaga pendidik MIN 2 Tangerang.