Oleh: Muhdi Perdiansyah
(Jamaah Majlis Opini Tangerang)
TANGERANG religius dan aman. Begitulah sebagian misi daerah yang dijuluki kota seribu industri ini. Namun itu hanyalah sebuah tulisan semata.
Maraknya pemberitaan di media sosial, kini Tangerang kerap dihantui oleh predator seksual anak. Cukup membuat masyarakat terkejut. Fenomena ini bagaikan air mengalir tiada henti.
Melansir dari salah satu media online, awal tahun 2020 saja, pelecehan seksual pada anak di Tangerang mencapai belasan kasus. Itu belum genap dua bulan. Jumlahnya sudah sangat banyak.
Pada dasarnya, pelecahan seksual merupakan tindakan yang tidak diinginkan. Misal permintaan, tindakan lisan ataupun fisik, berikut juga isyarat yang bersifat seksual. Sehingga membuat seseorang merasa terganggu ataupun terintimidasi.
Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kabupaten Tangerang mencatat, hingga 14 Februari 2020, terdapat 12 kasus anak menjadi korban pelecehan seksual.
Dari belasan kasus yang telah tercantum memang sebagian besar korbannya adalah anak di bawah umur. Yang baru tercatat sebagian korban di wilayah Rajeg, Cikupa, Balaraja, dan Cisoka.
Apabila dibandingkan dengan tahun lalu, kasus pelecehan pada anak di kabupaten ini tercatat 49 kasus. Artinya hanya ada 4 sampai 5 kasus setiap bulannya. Dan diawal tahun 2020, jumlahnya semakin meningkat.
Secara umum, tindakan tersebut merupakan penyiksaan terhadap anak. Di mana pelakunya adalah orang dewasa atau remaja. Bahkan teman sebaya. Untuk sekadar melampiaskan rangsangan atau nafsu syahwatnya.
Sungguh miris memang. Korban pelecehan merupakan generasi penerus dan tumpuan yang akan menggerakkan roda bangsa ini. Akibat yang ditimbulkan, jika tidak tuntas dalam penanganan dan penyembuhannya, maka menjadi awal kehancuran anak tersebut. Dan secara tidak langsung juga menghancurkan masa depan bangsa.
Tentu sangat perlu tindak lanjut dari aparat hukum. Pelaku ditindak atas perbuatannya sesuai dengan hukum, peraturan, dan pasal yang berlaku. Agar jera dan menjadi contoh bagi yang lain.
Banyak faktor yang melatarbelakangi seseorang melakukan tindakan tersebut. Perubahan lingkungan sosial, ekonomi, dan teknologi. Determinan pelaku adalah faktor fornografi, pengaruh teman, obat terlarang, pengaruh historis-pernah menjadi korban atau trauma masa kecil, dan bahkan ada faktor yang timbul dari keluarga.
Pergeseran penyebab kekerasan pada anak ini, nyatanya bukan hanya faktor keluarga. Namun kenyataannya, akses pornografi yang sebagian besar dapat diperoleh dari gadget lebih membahayakan bahkan mengancam terjadinya hal tersebut.
Maka perlu pengawasan dari semua pihak, agar anak tidak berpotensi menjadi korban. Pelaku biasanya cenderung mengincar anak yang bersifat penakut, berpakaian mini, atau ketat, dan bahkan anak yang hiperaktif.
Orangtua sebaiknya lebih mengawasi tindakan anaknya. Waspadai jika anak sering bermain di luaran, bermain gadget yang berlebihan, bergaul dengan orang yang belum dikenal, serta perbuatan yang menjerumus pada kasus tersebut.
Dampak yang sangat berbahaya, anak yang mengalami kekerasan seksual, bisa berimbas pada kesehatan, taruma yang berkepanjangan, hilangnya kepercayaan diri anak, baik fisik maupun mental.
Selain itu, dampak psikis akibat kekerasan seksual, haruslah mendapat perhatian dari pihak terkait. Mulai dari keluarga, masyarakat, sampai negara.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kabupaten Tangerang pernah mengatakan: “Sejauh ini telah melakukan beberapa penanganan. Mulai dari pendataan atau assessment kasus secara lengkap dan detail, memberikan pendampingan pada korban, hingga gencar melakukan sosialisasi”.
Adapun pendampingan bisa dilakukan secara medis dan non medis. Seperti visum ke rumah sakit umum, trauma healing ke psikolog, dan yang lainnya. Itu semua harus dilakukan. Agar tidak menjadi lebih buruk.