Oleh: Akhmad Basuni
TEPAT pada tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno pidato tentang dasar negara yang merdeka. Kemudian, satu juni ditetapkan sebagai hari lahir Pancasila.
Pancasila merupakan lima prinsip “meja statis dan leitstar dinamis” yang mengkristal dalam lima hal.
Kebangsaan Indonesia, Prikemanusiaan, Mufakat (Demokrasi), Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan yang Berkebudayaan. Kelima prinsip itu disebut Soekarno dengan Pancasila.
Di atas lima dasar itulah didirikan negara Indonesia. Kekal dan Abadi (lihat, Yudi Latif, Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, 2011).
Soekarno Lebih Mengedepankan Pancasila.
Ia tak ingin terjebak pada normatif agama yang bersifat privat. Dari itu dikedepankan nilai-nilai luhur substansi Islam. Dalam rangka merajut kemajemukan bangsa.
Bagi Soekarno, ber-Islam bukan menjadi arab, tetapi mengambil spirit Islam. Sehingga Soekarno menyindir kelompok islamisme dengan “Islam Sontoloyo”, yaitu kelompok Islam yang tak mampu membedakan substansi Islam dengan formalisme Islam.
Pancasila mutiara falsafah nenek moyang sejak dahulu kala. Ini didasarkan atas catatan manuskrif kuno kitab sutasoma “bhineka tunggal ika“.
Pancasila itu adalah pluralisme, lewat pancasila, adalah infrastruktur budaya dari persatuan Indonesia.
Pancasila sebagai titik temu kalimatun sawa antar berbagai agama dan keyakinan yang ada di Indonesia begitulah Nurcholis Madjid mengemukakan dalam bukunya kehampaan spiritual masyarakat Modern: respons dan transformasi nilai-nilai Islam menuju masyarakat Madani (2000).
Pancasila merupakan reasoning atau penalaran moral dari agama-agama, karena substansi agama sebagai etika dalam demokrasi, begitu Dawam Raharjo menjelaskan.
Dengan pancasila negara menjadi jalan tengah, dimana negara tidak sepenuhnya sekuler dan tidak juga menjadi totaliter agamawi.
Dalam syariat dikenal “maqasid at–tasyri al–khamsah” atau lima jenis tujuan syariat yang dikemukakan oleh “Hujatul al–Islam” dalam kitab “Al–Mustasyfa“. Yaitu, melindungi agama dan keyakinan, jiwa raga, pemikiran, serta keturunan, dan harta.
Dari kelima jenis itu semuanya terkandung dalam Pancasila.
Rasulullah memberikan teladan agung yaitu, cikal bakalnya konstitusi modern. dalam konstitusi tersebut termaktub nilai luhur kemanusian, kebebasan beragama, keadilan, juga egalitarian.
Dimana konstitusi itu merupakan konsensus bersama yang diterima oleh semua golongan termasuk kaum Yahudi juga Majusi. Kesepakatan itu populer dengan nama Piagam Madinah.
Pancasila pada kenyataannya dapat dibandingkan dengan Piagam Madinah dengan alasan, secara substantif baik Piagam Madinah maupun Pancasila mengakui kaitan antara nilai-nilai agama dan masalah-masalah kenegaraan.
Kemudian secara fungsional, kedua rumusan politik tersebut mencerminkan titik-titik temu (common platfrom, kalimah sawa) yang berfungsi sebagai prinsip-prinsip yang mengatur sebuah masyarakat politik dengan latar sosial keagamaan yang beragam (lihat, Budhy Munawar-Rachman, Reorietasi Pembaharuan Islam, 2010).
Piagam Madinah bagi seorang muslim merupakan aktualisasi ajaran Al-Qur’an dalam kehidupan sosial politik juga dalam sosial budaya. Ini sebagai entry point dari Pancasila.
Sebagai objektivikasi Islam, karena tidak ada nilai-nilai pada Islam dan Pancasila yang bertentangan.
Kemanakah Keadilan Sosial?
Secara ideologi dan dasar negara Pancasila telah dan sedang dinikmati buahnya sebagai bingkai merajut kebhinekaan antar etnis, suku, dan agama.
Namun Indonesia sebagai bangsa berdaulat belum cukup mampu melaksanakan amanat rakyat Indonesia secara keseluruhan sebagaimana pernyataan Soekarno:
“Masyarakat adil dan makmur, cita-cita asli dan murni dari rakyat Indonesia yang telah berjuang dan berkorban berpuluh-puluh tahun. Masyarakat adil dan makmur tujuan akhir dari revolusi kita. Masyarakat adil dan makmur yang untuk itu, sebagai yang telah saya katakan berulang-ulang, berpuluh-puluh ribu pemimpin-pemimpin kita menderita. berpuluh-puluh ribu pemimpin kita meringkuk di dalam penjara. Dan berpuluh-puluh ribu pemimpin-pemimpin kita meninggalkan kebahagiaan hidupnya. Beratus ribu, mungkin jutaan rakyat kita menderita tidak lain dan tidak bukan ialah mengejar cita-cita terselenggaranya suatu masyarakat adil dan makmur yang disitu segenap manusia Indonesia Sabang sampai Merauke mengecap kebahagiaan (Soekarno, 1959)”.
Setelah 74 tahunan Indonesia merdeka, tanda-tanda masyarakat adil dan makmur mandiri secara ekonomi masih samar terasa kalau bukan tidak ada sama sekali.
Bahkan kapitaliame kian terasa begitu menggejala dalam semua lini perekonomian Indonesia.
Dari konsekuensi logis menguritanya kapitalisme ekonomi ini sejalan apa yang dirasakan oleh Mohammad Hatta diawal Indonesia merdeka.
“Kapitalisme liberal Indonesia dipandang suatu ondereneming besar untuk menghasilkan barang-barang bagi pasar dunia. Dasar ekonominya ialah export economy. Pasar didalam negeri diabaikan semata-mata sebab tak mendatangkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Oleh karena Indonesia dipandang sesuatu onderneming besar, masyarakat Indonesia dipandang semata-mata sebagai daerah persediaan buruh yang murah. Soal menimbulkan tenaga beli rakyat dengan sendirinya tersingkir dari perhitungan. Ini kelanjutan daripada sistem kapitalisme yang mendasarkan perekonomian Indonesia kepada Export Economy” (Hatta, 1946).
Padahal Indonesia bangsa bahari yang kaya sumber daya, yang pernah berjaya dalam perdagangan internasional selama ribuan tahun lamanya. Kini berubah apa yang disebut Soekarno “sebagai bangsa kuli dan kuli diantara bangsa-bangsa”.
Lebih dari itu, serbuan kapitalisme juga merobohkan tatanan persekutuan sosial yang ada tanpa menghidupkan tatanan sosial yang baru.
Kini ekonomi pancasila yang berbasis sosial kemasyarakatan yaitu usaha bersama berdasar asas kekeluargaan. Segala kekayaan alam yang penting untuk kepentingan negara dikuasai oleh negara. Seakan terlupakan oleh perjalan panjang negeri ini.
Jadi tak berlebih kiranya jika ekonomi kerakyatan kembali dipertanyakan. Sebagai pengingat negeri ini dibangun untuk keadilan sosial. Agar “Gemah Ripah Loh Jinawi, Tata Tentram Kereta Raharja” nyata tidak hanya sebatas angan-angan rakyat kebanyakan.
*Penulis adalah Ketua Lakpesdam-NU Kabupaten Tangerang.