spot_img
spot_img

Buruh Dalam Perspektif Islam

Oleh: Moh. Bahri, S.Pd.I., S.H.

DALAM Islam, bekerja atau aktivitas melakukan sesuatu yang produktif, mendapat apresiasi mulia.

Nilai dan moralitas bekerja, menurut Islam, berada dalam takaran seimbang. Yakni untuk manfaat (keuntungan) duniawi serta juga ukhrowi (akhirat).

Sebuah hadis berbunyi: “Bekerjalah kamu seakan-akan hidup selamanya, dan beribadahlah kamu, seakan-akan mati besok.”

Di sisi lain, aspek bekerja, berikhtiar sungguh-sungguh berusaha, juga mendapat posisi mulia.

Sangat populer hadis Nabi tentang buruh atau pekerja. Misalnya: Berikanlah upah kepada seseorang pekerja, sebelum keringatnya kering (HR. Ibnu Majah).

Ada juga riwayat yang menceritakan bahwa Nabi mencium tangan kasar yang digunakan untuk menumbuk batu (bekerja mencari nafkah keluarga). Lalu Nabi bersabda: “Tangan ini sangat dicintai Allah dan Rosulnya” (HR Bukhori-Muslim).

Lebih tegas dari itu, Al Quran memberi petunjuk jelas, agar orang-orang beriman selalu bekerja. Seperti dalam Surat At Taubah, Ayat 105: Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu.

Satu hal yang mengagumkan, bahwa Al Quran, Hadis, Kisah Sahabat, bukan hanya memberi posisi terhormat pada buruh atau pekerja, melainkan juga membuat sistem yang adil, dalam relasi buruh dan pemodal.

Islam mengharamkan penghisapan yang zalim, yang hanya menguntungkan sepihak, serta metode kerja yang menjerat buruh dalam kemiskinan pedih.

Al Quran menghendaki sistem yang adil, agar pada hasil aktivitas produksi dari pemilik modal dan orang-orang kaya, keuntungannya tidak berputar di antara mereka saja. Melainkan buruh juga berkesempatan menikmati keuntungan signifikan. Kesempatan terjadinya mobilitas sosial (perubahan nasib) menjadi sangat terbuka.

Sistem yang dikehendaki Islam adalah relasi saling membantu, melindungi, dan memuliakan antara buruh dan pemodal.

Makanya jelas ada sistem kerjasama, berbagi keuntungan, zakat, dan melarang riba serta spekulasi modal yang rawan dimanipulasi (seperti praktik permainan saham).

Berbeda dengan perspektif buruh dalam ideologi komunis ataupun kapitalis. Dalam komunisme, buruh adalah kaum tertindas, dan solusi untuk membebaskan diri adalah dengan revolusi (berdarah).

Sementara dalam kapitalisme, buruh semata faktor produksi, yang harus ditekan efisien, lantas posisi buruh diserahkan pada mekanisme pasar bebas.

Hubungan, sistem, pola kerjasama, antar pengusaha dan buruh bukan hanya dipandu secara jelas dalam Islam. Tetapi bahkan keteladanan yang praktis, telah ada dalam berbagai riwayat.

Nabi sendiri, serta para sahabat, adalah orang-orang yang bekerja, alias produktif. Mereka ada dalam pelbagai posisi, ada yang memang murni bekerja, ada yang menjadi pengusaha ada juga yang menjadi saudagar.

Seorang cendekiawan Islam, Nurcholis Madjid, pernah mengungkapkan bahwa Islam bukan agama kerahiban (bertapa, menjauhi dunia). Islam adalah agama praktis.

Sistem kerahiban adalah mendorong orang menjauhi dunia konkret, lalu hidup menyendiri. Sementara dalam Islam, tantangan dunia harus dihadapi, dicari jalan ke luar.

Boleh memang sewaktu-waktu kita uzlah, untuk proses penjernihan pikiran. Tetapi tak boleh permanen bertapa dalam gua.

Singkat kata, orang Islam wajib bekerja semampunya! Tetapi juga jangan lupakan urusan akhirat. Selamat Hari Buruh.

BACA JUGA  Ramadan Dan Kemenangan Sejati

*Penulis adalah anggota DPRD Provinsi Banten.

Loading

VINUS TV

BERITA TERBARU

IKLAN

spot_img
spot_img

BERITA TERPOPULER

IKLAN

spot_img
spot_img

BERITA TERKAIT

Menularkan Optimisme Sirekap Pilkada 2024

Nomor Urut dan Persepsi Publik

Quo Vadis Sirekap Pilkada 2024

Stagnasi Rekrutmen Kader Baru PMII Di Kampus

Dialektika Kaum Muda di Pilkada

Data Bersih, Pilkada Rapih

IKLAN

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

SEPUTAR BANTEN

IKLAN

spot_img
spot_img
spot_img

SEPUTAR DESA

Masyarakat Pasir Bolang Demo Alfamart