
DEMOKRASI tidak cukup menghasilkan keputusan yang baik. Namun, prosesnya harus melalui prosedur yang demokratis pula. Salah satunya inklusivitas. Atau melibatkan semua pihak. Secara terbuka.
Saat sebuah keputusan politik hanya dibuat elite pemerintah tanpa melibatkan warga dan kajian mendalam, (meski keputusan itu memiliki tujuan baik) maka hasilnya tidak akan memuaskan banyak pihak. Karena telah mengeksklusi suara rakyat yang notabene merupakan aktor terpenting dalam proses demokrasi.
Termasuk soal ibu kota baru. Proses pemindahannya diperkirakan menghabiskan 466 trilun. Sebagian bersumber dari pajak rakyat. Sebagian lagi melalui skema pinjaman.
Penulis tidak mengatakan bahwa pemindahan ibu kota merupakan keputusan kurang tepat. Karena memang terdapat berbagai permasalahan pelik di Jakarta yang tidak terselesaikan: banjir, kemacetan lalu lintas, dan kepadatan penduduk.
Baca Juga
Dalam hal ini, yang ingin dikemukakan soal adanya keengganan pemerintah mendengar suara-suara beda. Tentang penolakan. Pemerintah belum terlihat membuka ruang diskusi. Padahal sistem demokrasi mensyaratkan suara rakyat.
Disisi lain, pemerintah justru gerak cepat mengambil langkah-langkah besar. Seperti menentukan dewan pengawas ibu kota baru dan membuka investasi bagi asing untuk melegitimasi bahwa pemindahan ibu kota sudah harga mati.
Dalam posisi publik yang lemah seperti ini, satu-satunya harapan adalah media massa. Konon, ia memiliki fungsi sebagai pilar keempat demokrasi dan penjaga suara publik.
Namun, bagaimana jika media massa justru memilih menyuarakan suara elite pemerintah dari pada membawa suara warga. Bagaimana?
Saat data difokuskan pada media online di Indonesia yang memiliki follower lebih dari 1 juta, mereka tidak memiliki wacana kritis terkait langkah besar pemerintah menarik investor Internasional.
Mereka memiliki informasi serupa, menyampaikan visi dan misi dari sudut pandang pemerintah semata. Tanpa mengindahkan angle lain yang berseberangan.
Seperti zaman Orba, ada beberapa media massa online yang nyaris menjadi corong pemerintah. Mereka seolah mengesahkan bahwa pemindahan ibu kota merupakan langkah yang telah disetujui seluruh elemen masyarakat Indonesia.
Wacana yang dibawa oleh media sosial atau media massa online itu, sebagain besar masuk dalam kategori sentimen positif.

Dalam hal, penulis mendefinisikan bahwa sentimen positif di media online nasional diartikan sebagai berita yang dibuat merupakan informasi dengan bingkai positif. Hanya dari satu sudut pandang, yakni pemerintah dan tidak mengandung kritik.
Jika dilihat sekilas, berita tersebut nampak netral. Namun, karena informasinya hanya berasal dari sudut pandang yakni pemerintah, maka media menjadi tidak kritis dan cenderung membangun sentimen positif.
Masih banyak kontroversi yang belum diselesaikan secara jernih dalam proses pemindahan ibu kota baru ini. Mulai dari transparansi alasan pindah, elite yang diuntungkan dari pemindahan ibu kota, hingga masalah sengketa dengan nasib penduduk lokal, yakni Suku Balik yang ada di pusat lokasi.
Masalah lain yang dibicarakan para netizen, tentang kekhawatiran membengkaknya hutang Indonesia dan campur tangan Asing. Serta kontroversi Tony Blair yang ditunjuk Jokowi sebagai dewan pengawas. Padahal dia pernah terlibat dalam kesalahan invasi ke Irak, kerusakan hutan, dan lain sebagainya.
Dalam konteks negara demokrasi, ada dua hal penting yang harusnya diperhatikan. Pertama dilakukan oleh publik secara langsung. Di era digital saat ini, seharusnya tetap menjadi pertimbangan penting dalam mengambilan setiap kebijakan strategis pemerintah.
Kedua, media massa online di Indonesia yang semain memilik banyak pengaruh. Sebab semakin tingginya penetrasi internet, harus diikuti dengan meningkatkan kualitas jurnalistiknya.
Dalam konteks ini, sebagaimana disampaikan Bill Kovach, media seharusnya memberikan loyalitasnya pada publik. Bukan pada pihak lain, apalagi pemerintah.
*Penulis saat ini sedang magang di Vinus. Sebuah media online dan televisi.