spot_img

Prabowo, “Two-State Solution”, dan Jerat Pragmatisme yang Melupakan Akar Masalah

Foto: Presiden Terpilih, Prabowo Subianto.

Beberapa waktu lalu, pernyataan Presiden Terpilih, Prabowo Subianto, terkait “two-state solution” sebagai jalan keluar konflik Israel-Palestina menuai perdebatan.

Di tengah keganasan agresi yang terus meluluhlantakkan Gaza, di mana ribuan nyawa melayang dan kemanusiaan terancam punah, usulan ini terasa gamang, bahkan ironis. Seolah ada yang luput dari ingatan, atau sengaja disingkirkan demi pragmatisme politik.

Mari kita jujur pada diri sendiri. Persoalan Palestina bukan sekadar sengketa teritorial biasa yang bisa diselesaikan dengan membagi dua kue.

Baca Juga 

Ini adalah penjajahan. Ya, penjajahan dalam arti yang paling telanjang, paling biadab. Tanah dirampas, hak asasi diinjak-injak, dan martabat sebuah bangsa direnggut secara sistematis. 

Dalam kacamata ini, “two-state solution” yang diutarakan Prabowo, yang berarti mengakui eksistensi Israel di atas tanah Palestina, terasa seperti legitimasi atas perampasan itu sendiri.

Bukankah Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 kita dengan gamblang mengamanatkan bahwa “penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan”? 

Frasa ini bukan sekadar bunga kata, melainkan manifestasi jati diri bangsa yang lahir dari rahim perjuangan melawan kolonialisme. Ini adalah kompas moral kita dalam menyikapi setiap bentuk penindasan, di mana pun di muka bumi ini.

Pernyataan “two-state solution” dalam konteks ini, dengan segala hormat, tampak abai terhadap fondasi moral tersebut. Seolah-olah kita diajak berkompromi dengan sebuah kejahatan, menormalisasi sebuah anomali. 

Bagaimana mungkin kita menengahi pihak yang menjajah dengan pihak yang dijajah, lantas menawarkan pembagian wilayah seolah keduanya memiliki kedudukan yang setara dalam konteks moral?

Ini bukan menengahi, ini cenderung menenggelamkan keadilan. Tentu, realitas politik internasional memang kompleks. Namun, sebagai bangsa yang pernah merasakan pahitnya penjajahan, mestinya kita memiliki kepekaan yang lebih tajam. 

Solusi atas persoalan Palestina tidak bisa berangkat dari asumsi bahwa Israel adalah entitas yang sah tanpa mempertimbangkan bagaimana ia lahir dan terus bertahan. 

Solusi yang adil harus bermula dari pengakuan akan hak asisten rakyat Palestina untuk menentukan nasibnya sendiri, di atas tanahnya sendiri, tanpa tekanan dan tanpa penjajahan.

Ketika Prabowo mengemukakan “two-state solution”, apakah ini murni upaya mencari jalan damai, ataukah sebuah langkah pragmatis demi menjaga keseimbangan diplomatik?

Jika yang kedua, maka kita perlu bertanya, sampai kapan kita mengorbankan prinsip demi stabilitas semua? Stabilitas yang dibangun di atas penderitaan dan ketidakadilan tidak akan pernah langgeng.

Kita perlu mengembalikan narasi konflik Israel-Palestina pada hakikatnya: ini adalah perjuangan pembebasan dari penjajahan. Selama narasi ini tidak menjadi landasan utama, maka segala bentuk “solusi” akan terasa hambar, bahkan menyakitkan. 

Indonesia, dengan sejarah dan konstitusinya, memiliki posisi moral yang kuat untuk menyuarakan ini. Bukan sekadar menengahi, tetapi berada di garis depan membela keadilan.

Mengakui “two-state solution” di tengah situasi saat ini sama saja dengan menerima premis bahwa penjajahan adalah sesuatu yang bisa dinegosiasikan, bahkan dilegitimasi. 

Ini adalah jalan sesat yang akan mengkhianati amanat konstitusi dan melukai hati nurani bangsa. Lebih dari sekadar solusi, kita butuh keberanian moral untuk berdiri tegak di sisi yang benar, di sisi kemanusiaan dan keadilan.

**Ditulis Oleh: Hamzah Sutisna

Loading

VINUS TV

BERITA TERBARU

IKLAN

spot_img
spot_imgspot_imgspot_img

BERITA TERPOPULER

IKLAN

spot_img
spot_img
spot_img

BERITA TERKAIT

IKLAN

spot_img

SEPUTAR BANTEN

IKLAN

spot_img

SEPUTAR DESA

Masyarakat Pasir Bolang Demo Alfamart