spot_img

Mau Ngucapin Selamat Natal?

Oleh: Ulum Wongliana

DISKURSUS klasik setiap akhir tahun di Indonesia mengenai perbedaan pandangan, menjadi perdebatan antara pro dan kontra bagi umat Islam, terkait ucapan “Selamat Natal” untuk saudara kita yang non Islam. Bagi saya, ini merupakan kekayaan ilmiah yang mempunyai dalilnya masing-masing.

Perbedaan pendapat para ulama tentu bukan hal yang baru dalam khazanah Islam. Sejarah mencatat, dalam Islam sendiri ada empat mazhab, yang ke-empatnya tersebut bermanhaj kepada baginda Rasulullah saw. Artinya bahwa perbedaan itu adalah rahmat.

Saya mencoba medudukkan kedua argumentasi tersebut menjadi basis hujjah, baik yang memperbolehkan maupun yang tidak memperbolehkan untuk mengucapkan selamat Natal. Hemat penulis, ini penting menjadi sebuah pembelajaran positif dimana umat Islam diramaikan dengan hal-hal yang bersifat ilmiah.

Baca Juga

Pertama, bagi yang memperbolehkan, biasanya merujuk pada QS Al-Mumtahanah Ayat 8, yang artinya sebagai berikut:

“Allah Swt. tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah Swt. menyukai orang-orang yang berlaku adil”.

Di Indonesia, dalam konteks umat kristiani, gereja mengucapkan selamat lebaran. Melalui spanduk atau media lainnya. Menurut yang memperbolehkan, kita juga tidak dilarang mengucapkan perayaan umat kristiani.

Baginya ini merupakan muamalah demi menjaga dan menghormati umat agama lain. Untuk mempererat atau menghangatkan hubungan diantara umat Islam dan umat kristiani dalam kesatuan kenegaraan secara aspek sosiologis.

Tidak berhenti di situ, dalam aspek psikologis umat Islam juga diajarkan untuk berbahagia atas kebahagiaan orang lain, apapun momentumnya.

Ulama-ulama yang memperbolehkan biasanya para ulama yang kontemporer, diantaranya Syeikh Ali Jumah (Al-Azhar), Habib Ali Jufri, Habib Umar bin Hafidz, Syeikh Ibn Bayyah Dll. Adapun di Indonesia sendiri, seperti Qurais Shihab, Gus Dur, Cak Nur, dan lain sebagainya.

Kedua, bagi pendapat yang mengharamkan, biasanya mereka berbasis pada argumentasi bahwa Natal adalah perayaan kelahiran Yesus yang merupakan anak Tuhan dalam keyakinan umat kristiani. Sehingga, kita mengucapkan selamat Natal dikhawatirkan akan mengganggu atau merusak iman umat Islam yang meyakini Yesus (Nabi Isya a.s.) merupakan Nabi sebelum Nabi Muhammad saw.

Perbedaan keyakinan ini menyebabkan umat Islam dilarang untuk mengucapkan selamat Natal. Dikhawatirkan mengakui bahwa Isya adalah anak Tuhan yang diyakini sebagai Yesus oleh umat kristiani.

(Google/Istimewa).

Diantara yang melarang itu biasanya merujuk pada ulama-ulama klasik, rata-rata ulama tersebut hidup pada era setelah abad ke 12. Kala itu yang terbesar dan populer adalah Ibn Taimiyah.

Dalam aspek sosiologis, kenapa mereka mengharamkannya karena pada masa itu umat Islam mengalami serangan besar. Dari barat mereka menerima serangan Pasukan Salib dan dari timur mereka menerima serangan dari Dinasti Mongolia.

Sehingga, kemudian ulama-ulama pada zaman itu harus mempertegas identitas umat Islam sebagai bagian dari upaya membangun kekuatan dan kebanggaan akan Islam. Di mana Islam sedang berperang dengan umat kristiani yang dikenal dengan Perang Salib. Kemudian munculah fatwa larangan untuk mengucapkan selamat Natal, memakai atribut agama lain, dan lain sebagainya.

Pertanyaan berikutnya, apakah berarti orang-orang yang mengharamkannya adalah orang-orang yang tidak toleran kepada umat agama lain?

Secara umum, bagi mereka ini tidak ada hubungannya dengan toleransi. Mereka beranggapan toleran dengan umat kristiani bisa dalam bidang lain. Namun, ini merupakan masalah akidah, maka bagi mereka tidak diperbolehkan untuk kemudian menegosiasikan.

Sebab akidah merupakan urusan yang pokok dalam Islam, sehingga tidak boleh dinegosiasikan dalam konteks toleransi karena ini urusan keyakinan dasar umat Islam. Dalam hal ini mereka mengacu pada ayat “Lakum dinukum waliyadin”.

Pertanyaan kedua, apakah bagi yang memperbolehkan rusak keimanannya? Tentu tidak, karena mengucapkan selamat Natal bukan berarti kita membenarkan iman umat kristiani.

Kita tetap berdiri dengan iman kita sendiri. Adapun mengucapkan selamat Natal hanyalah bagian dari upaya untuk membangun hubungan baik dengan umat kristiani.

(Google/Istimewa).

Ketika kita berucap kata selamat bukan berarti kita mengakui keimanan mereka sebagaimana umat kristiani. Demikian juga dengan mengucapkan selamat lebaran kepada kita, bukan berarti mereka mengakui keimanan kita. Itu hanyalah bagian dari hiasan menjaga hubungan baik antar sesama warga negara.

Lantas, apakah jika orang mengucapkan selamat Natal mereka tidak merujuk pada ulama-ulama klasik? Tidak juga. Lantaran bagi mereka ulama klasik adalah ulama yang sangat cerdas, terhormat, dan mereka sangat menghormati.

Zaman sudah berubah, umat Islam dan kristiani tidak berada pada zaman perang, sehingga mengkristalkan identitas keislaman via a vis dengan identitas kristiani itu tidak diperlukan lagi. Toh, karena itu bukan sesuatu yang pokok dalam ajaran islam.

Sebab Islam itu agama, sedangkan identitas itu bagian dari kebudayaan. Tidak ada kaitannya dengan aspek dasar dalam Islam yang sifatnya absolut.

Bagitu pun bagi mereka yang mengharamkannya, apakah mereka tidak mengikuti perkembangan zaman, apakah mereka jumud? Tentu juga tidak. Mereka menilai, pengharaman ucapan selamat Natal kepada kristiani itu tidak ada kaitannya dengan zaman juga bukan soal identitas dan lain sebagainya.

Bagi mereka, itu prinsip akidah kita yang sudah final. Tidak bisa diganggu gugat dan umat kristiani tidak boleh tersinggung ketika kita tidak mengucapkan selamat Natal. Karena itu merupakan akidah kita dan dilarang bagi agama kita, bagi mereka orang-orang yang setuju pada ulama yang mengharamkannya.

Perlu dijadikan catatan, umat kristiani tidak boleh merasa tersinggung ketika ada umat Islam tidak mengucapkan selamat Natal. Pun sebaliknya, umat Islam juga tidak boleh merasa tersinggung dengan beberapa umat kristiani yang tidak bisa dimasukkan dalam aspek yang boleh ditoleransikan.

(Google/Istimewa).

Maka dari sini, kita bisa mengambil konklusi. Keduanya memiliki dalil sebagai dasar dari argumentasinya dan didukung dengan ulama-ulamanya masing-masing. Sehingga, bukan suatu yang perlu diributkan atau sesuatu yang membuat keributan diantara umat Islam.

Bagi kita, jalani saja apa yang menurut kita sesuai dengan keyakinan dan konteks kita, karena sama-sama memiliki rujukannya. Yang terpenting, ketika kita memilih untuk mengucapkan selamat Natal atau tidak mengucapkan, jangan pilihannya karena nafsu, tapi memang kita tahu bahwa yang terbaik bagi iman kita dan konteks kita adalah mengucapkan atau tidak mengucapkan.

Sebab keduanya tidak mengganggu toleransi diantara umat Islam dan kristiani, karena umat kristiani juga tidak keberatan ketika ada ummat Islam memilih tidak mengucapkan.

Satu hal yang perlu sangat diperhatikan, dalam perdebatan ini harus kita sadari bahwa ini murni perbedaan terhadap hal-hal yang sifatnya furu’ cabang dalam Islam. Sehingga, perdebatannya harus bersifat ilmiah tidak dengan emosi, nafsu, ngotot, apalagi sampai mengkafirkan atau menyesatkan.

Pada akhirnya, mengucapkan selamat Natal dibolehkan atau diharamkan keduanya punya pendapat ulamanya masing-masing. Jika ada pertanyaan, lalu apa yang benar-benar halal secara mutlak? Maka yang benar-benar halal secara mutlak, kita berbuat baik kepada siapa saja apapun keyakinannya sebagaimana Allah Swt. RahmatNya meliputi segala sesuatu apapun tanpa melihat perbedaan.

Kemudian apa yang benar-benar haram mutlak? Yaitu yang diharamkan ketika kita bertengkar di antara sesama umat Islam hanya karena perbedaan boleh atau tidak mengucapkan selamat Natal.

*Penulis adalah alumni pesantren kilat.

Loading

VINUS TV

BERITA TERBARU

IKLAN

spot_img
spot_img

BERITA TERPOPULER

IKLAN

spot_img

BERITA TERKAIT

Jebakan Nostalgia Media Sosial

Bahlil dan Polemik Gas Melon

Politik Matahari Kembar

Mengakhiri Feodalisme Birokrasi

IKLAN

spot_img

SEPUTAR BANTEN

IKLAN

spot_img

SEPUTAR DESA

Masyarakat Pasir Bolang Demo Alfamart