Oleh:
Dadang Sumarna, S.H., M.H. & Surya Oktarina, S.H., M.Hum.*
UNDANG-UNDANG Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dapat dilaksanakan guna menyelesaikan permasalahan Covid-19 secara menyeluruh dan komprehensif.
Konsekuensi dengan dibentuknya Undang-undang ini, tentunya telah melalui berbagai tahapan serta melalui pertimbangan yang matang. Sebab dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan, bahwa dalam membentuk Undang-undang harus berlandasakan pada asas “kejelasan tujuan” dan asas “dapat dilaksanakan”. Tanpa mengesampingkan hak asasi manusia sebagai sebuah norma fundamental, sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945.
Lebih lanjut, pasal 2 Undang-undang No.6 Tahun 2018, menyatakan pelaksanaan kekarantinaan kesehatan harus berlandaskan pada sembilan asas: Perikemanusiaan, manfaat, perlindungan, keadilan, non-diskriminatif, kepentingan umum, keterpaduan, kesadaran hukum, dan kedaulatan negara.
Selanjutnya pasal 7 menerangkan setiap orang mempunyai hak memperoleh perlakuan yang sama dalam penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan, serta mendapatkan pelayanan kesehatan dasar sesuai kebutuhan medis, kebutuhan pangan, dan kebutuhan kehidupan sehari-hari lainnya selama karantina berlangsung.
Pasal 9 menyatakan bahwa setiap orang wajib mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan serta berkewajiban ikut serta dalam penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan. Sedangkan terkait dengan pelaksanaan karantina wilayah, hal tersebut diatur dalam Pasal 49 ayat 1 UU Kekarantinaan Kesehatan.
Karantina wilayah merupakan salah satu dari empat opsi yang bisa diambil pemerintah bila ingin menerapkan kebijakan karantina dalam menyikapi suatu masalah kesehatan di tengah masyarakat, selain karantina rumah, karantina rumah sakit, atau pembatasan sosial berskala besar.
Karantina wilayah sebagaimana telah diatur dalam pada pasal 53 disebut sebagai bagian respons dari kedaruratan kesehatan masyarakat yang bisa dilaksanakan kepada seluruh masyarakat di suatu wilayah apabila dari hasil konfirmasi laboratorium sudah terjadi penyebaran penyakit antar-anggota masyarakat di wilayah tertentu.
Pasal 54, disebutkan terkait kewajiban pemerintah dan masyarakat selama karantina wilayah berlangsung. Seperti pejabat yang melakukan karantina kesehatan wajib memberikan penjelasan kepada masyarakat sebelum menerapkan kebijakan karantina wilayah. Kemudian, wilayah yang dikarantina harus diberi garis dan dijaga terus menerus oleh pejabat yang melakukan karantina kesehatan serta kepolisian yang berada di luar wilayah karantina terkait.
Selanjutnya, anggota masyarakat yang dikarantina tidak boleh keluar masuk wilayah karantina. Lalu, dinyatakan juga masyarakat yang menderita penyakit yang sedang diantisipasi penyebarannya akan langsung diisolasi serta segera dirujuk ke rumah sakit.
Berdasarkan ketentuan diatas, penulis sedikit skeptis atas kebijakan karantina yang dibuat oleh pemerintah saat ini. Mengingat ketersediaan fasilitas sarana dan prasarana khususnya kepada tenaga medis seperti Alat Pelindung Diri (APD), obat-obatan dan lain sebagainya. Dalam menangani pasien Covid-19 masih membutuhkan peran uluran tangan dari masyarakat, serta seluruh pihak yang terlibat dalam menanggulangi permasalahan ini
Seyogyanya pelaksaan kebijakan karantina dalam realisasinya tidak mengabaikan serangkaian hak-hak masyarakat seperti hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dasar sesuai kebutuhan medis. Seperti kebutuhan pangan, dan kebutuhan kehidupan sehari-hari lainnya selama karantina, serta hak memperoleh perlakuan yang sama atau tidak diskriminatif.
Apakah negara mampu menanggung kebutuhan pangan seluruh warga negaranya selama masa karantina, mengingat Pasal 2 yang menyatakan, “bahwa pelaksanaan kekarantinaan kesehatan harus berlandaskan pada sembilan asas yaitu perikemanusiaan, manfaat, perlindungan, keadilan, non-diskriminatif, kepentingan umum, keterpaduan, kesadaran hukum, dan kedaulatan Negara”.
Selanjutnya merujuk kepada Pasal 9 UU Kekarantinaan Kesehatan yang menerangkan bahwa “setiap orang wajib mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan serta berkewajiban ikut serta dalam penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan”.
Dalam pasal tersebut terdapat kalimat wajib yang dapat diartikan bahwa karantina menjadi sebuah keharusan dilaksanakan oleh seluruh masyarakat Indonesia baik yang status Orang dalam Pengawasa, Pasien dalam Pengawasan atau masyarakat yang sama sekali tidak terjangkit virus corona/covid-19.
Apabila tidak di patuhi, maka harus disiapkan konsekuensi logis atas tidak mengikuti penyelenggraan kekarantinaan yang bersifat wajib. “Berapa lama kami dirumahkan, karena diluar masih banyak yang berkeliaran. Apa konsekuensi logisnya?”
* Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum UNPAM