
BASIS argumentasi Gus Ulil, intelektual NU, sebenarnya memenuhi kaidah ilmiah. Beliau menyodorkan perspektif agar kita tidak anti industri ekstraktif secara membabi buta (ekstrem).
Poros logika Gus Ulil adalah: kenyataan faktual, bahwa pertambangan (bahan-bahan material di perut bumi), juga membawa maslahat.
Kira-kira saat ini ada tiga buku best seller international, yang paralel dengan dalil Ulil. Kebetulan ketiga buku ini kembali viral.
Masing-masing: Sapiens (Yuval Noah Harari), The Demon Haunted World (Carl Sagan), dan Guns, Germ and Steel (Jared Diamond). Ketiga buku ini memetakkan fakta bahwa ciri penegas dominasi ras manusia bermodalkan pada bahan-bahan logam (besi, emas, perunggu, dan kini nikel). Bangsa Eropa maju dan menguasai dunia, dulu, karena piawai menciptakan peralatan teknologi berbahan tambang.
Baca Juga
Kasarnya, era penaklukkan penjajahan dimenangkan pihak yang di tubuhnya bersandar bedil, di tasnya ada mesiu, di pinggangnya ada pedang kuat dan tajam, serta berangkat dengan kapal besar bermuatan logistik perang. Penuh besi dan logam.
Catat, Eropa tak punya banyak emas, logam dan material lain saat itu. Tapi mereka punya otak emas. Maka, terjadilah peristiwa maha besar yang selalu dikenang, yakni penaklukan Bangsa Inca, Maya, dan Aztek oleh petualang Spanyol Portugis, dipimpin Francesco Pizaro dan Hernando Cortez. Dua jenderal perang Eropa ini, hanya menyertakan ratusan tentara, berhasil meruntuhkan kekaisaran yang ada di benua Amerika, dalam waktu sangat cepat.
Kini kita bedah konteks argumentasi Ulil Abshar Abdalla.
Sumber kontroversi adalah talk show di sebuah stasiun televisi, menghadirkan aktivis dari GreenPeace. Kebetulan suasana panas di publik menyorot soal penambangan di Raja Ampat, Papua.
Lima lapis konteks bisa kita urai. Diantaranya, atmosfer percakapan publik yang bernuansa polaritas, hanya anti dan pro, atau oposition binner, hitam putih. Kedua, percikan atau letupan kemarahan atas praktik negara yang memang gegabah dan rakus, dalam ekstraksi tambang. Ketiga, minimnya debat akademik terkait isu tambang. Keempat, pengolahan wacana debat yang acak, semata emosional, dan tak fokus. Terakhir kelima, perbedaan karakter akademik antara Gus Ulil dan aktivis GreenPeace.
Kita fokus pada dua tipologi itu, Gus Ulil dan juru bicara Greenpeace.
Gus Ulil, masuk dalam tataran etik, norma agama, dan nilai-nilai spiritual dalam membahas pokok perkara. Sementara Greenpeace, menyuarakan dampak kehancuran dan perlawanan terhadap praktik barbar dalam pemanfaatan lingkungan. Dalam filsafat, keduanya masuk di tataran ontologis (untuk apa sebuah aksi, apa dampaknya, bagaimana sisi moralitasnya).
Semestinya publik bisa memberi ruang kebenaran untuk kedua pihak ini. Gus Ulil tak keliru saat membedah sisi keuntungan dan faedah dari industri keruk. Karena kekayaan alam juga bagian dari sumber daya. Sementara Greenpeace juga memang wajib meneriakkan perlawanan atas buruknya tata kelola pertambangan.
Idealnya justru dari perdebatan ini lahir sintesis, bahwa industri keruk bukan aktivitas haram bulat-bulat, tetapi butuh kehati-hatian. Kalangan masyarakat sipil mestinya ada di belakang dua pihak. Kalaupun marah, bolehlah, tetapi ada reasoning, dan kemudian membangun barisan advokasi, agar perlawanan publik terhadap industri tambang yang destruktif bisa dihadang.
Karena konteks diskusi kita pada Gus Ulil, dari serangkaian pernyataan beliau, memang ada yang melewati garis pelanggaran. Entah karena posisi debat yang terlampau tajam, atau entah karena gaya intelektual NU yang kadang terlalu bermain-main dengan peristilahan, keluarlah kosa kata Wahabi Lingkungan.
Kata-kata ini memang tak menyumbang apapun bagi debat akademik. Malah terkesan labeling, stereotype, atau melekatkan citra buruk bagi lawan debat. Dalam formula logika, istilah itu masuk dalam kategori argumentum ad hominem. Yakni menyerang lawan debat pada aspek personal atau kelompok, bukan pada saripati gagasan.
Tentu, ini berlebihan. Lantaran hanya memberi umpan kepada buzzer atau haters, kepada pihak tertentu. Serta mengentalkan sisi polaritas (perpecahan) di publik luas.
Nah, kita sebagai insan tercerahkan, tak perlu mengikuti ungkapan Gus Ulil yang soal Wahabi ini. Tetapi boleh dan bisa menyerap perspektif beliau soal potensi maslahat dalam industri tambang, tentu saja dengan cara sangat hati-hati.
*Ditulis Oleh: Endi Biaro, Pegiat Literasi.