
PERNAHKAH Anda merasa tidak enak hati atau serba salah saat bersenang-senang, sementara di dekat kita ada orang lain yang sedang kesusahan? Rasanya seperti ada dinding tak terlihat yang memisahkan dunia nyaman kita dari kenyataan pahit di luar sana.
Cerpen klasik “The Garden Party” (1921) karya Katherine Mansfield bukan cuma cerita tentang pesta kebun yang indah, tapi juga cermin tajam yang menunjukkan perbedaan status sosial, pandangan kelas, dan ironi rasa empati kita.
Ini semua sangat relevan dengan apa yang terjadi di kehidupan kita sehari-hari, bahkan di Indonesia. Cerita ini fokus pada keluarga Sheridan yang sangat kaya, khususnya Laura Sheridan, seorang gadis muda yang idealis dan punya jiwa seni.
Hari itu adalah hari pesta kebun yang sempurna. Cuaca cerah, bunga-bunga bermekaran, dan semua persiapan berjalan lancar.
Tapi, di tengah kemewahan itu, tiba-tiba ada kabar duka: seorang buruh, tetangga mereka yang tinggal di “gubuk kecil” di bawah bukit, meninggal karena kecelakaan. Tragedi ini langsung mengusik batin Laura dan membuka mata kita pada kenyataan sosial yang sebenarnya.
Mansfield dengan cerdik menggambarkan bagaimana perbedaan kelas begitu mencolok. Rumah keluarga Sheridan berdiri megah dan “terpilih”, sementara di bawahnya terdapat “gubuk-gubuk kecil yang kotor”.
Anak-anak Sheridan bahkan dilarang mendekat ke area itu karena “bahasa yang menjijikkan” dan takut “tertular sesuatu”.
Narator cerita ini menggambarkan desa kumuh di bawah bukit sebagai “pemandangan yang paling menyakitkan” dan seolah “tidak berhak ada di lingkungan itu sama sekali. Asap dari cerobong rumah-rumah miskin itu terlihat “miskin” dan “tidak seperti bulu-bulu perak besar yang melingkar dari cerobong asap Sheridan”.
Ini bukan cuma soal harta, tapi juga soal cara pandang. Bagi keluarga Sheridan, orang-orang di bawah sana adalah “mereka”, sekelompok orang yang terpisah dan tidak penting, kecuali sebagai pekerja atau objek belas kasihan sesaat.
Mereka merasa tidak terganggu oleh keberadaan orang miskin, bahkan cenderung menganggapnya “aib”.
Fenomena ini sangat mirip dengan kondisi di Indonesia, di mana sering kita lihat kompleks perumahan mewah berdiri megah bersebelahan dengan pemukiman padat penduduk.
Jarak fisik ini seringkali mencerminkan jurang empati dan pemahaman yang dalam antara berbagai kelompok masyarakat.
Laura, dengan kepekaan seninya, ingin sekali menghentikan pesta. Ia merasa “tidak punya hati” jika mereka terus berpesta di tengah suasana duka.
Namun, idealismenya langsung berhadapan dengan sikap realistis keluarganya yang terkesan kejam. Jose, saudarinya, dengan tegas berkata: “Hentikan pesta kebun? Laura sayang, jangan konyol.
Tentu saja kita tidak bisa melakukan hal semacam itu. Tidak ada yang mengharapkan kita. Jangan terlalu berlebihan.
Bahkan ibunya, yang awalnya seperti mendukung Laura, justru mengalihkan perhatian Laura dengan memuji topinya dan mengatakan bahwa “orang-orang seperti itu tidak mengharapkan pengorbanan dari kita”.
Percakapan ini menunjukkan konflik antara suara hati individu dan tekanan dari lingkungan sosial.
Di Indonesia, kita sering melihat hal serupa: ajakan untuk berempati seringkali terhalang oleh tuntutan acara, citra yang harus dijaga, atau bahkan keyakinan bahwa “mereka sudah biasa” dengan penderitaan.
Artikel opini ini bisa mengkritik bagaimana kita, sebagai masyarakat, sering lebih mementingkan “kesenangan” dan “keberhasilan” acara daripada kepedulian yang tulus terhadap sesama.
Yang lebih ironis adalah ketika Ibu Sheridan punya “ide brilian” untuk mengirim sisa makanan pesta ke rumah duka.
Tindakan ini, yang sekilas terlihat baik, sebenarnya adalah cara untuk membuang sisa makanan yang tidak terpakai sekaligus membuat hati mereka “lega”. Itu akan menjadi suguhan terbesar bagi anak-anak. Bukankah Anda setuju?”.
Bahkan, Laura diminta membawa bunga arum lily karena “orang-orang dari kelas itu sangat terkesan dengan bunga arum lily.” Ini bukan empati yang jujur, melainkan “kebaikan” yang didorong oleh keinginan untuk merasa diri sendiri baik dan menjaga citra di mata orang lain.
Laura, saat mendekati rumah duka, merasa “seolah ia diharapkan”. Pemandangan mayat yang tenang dan “jauh dari segala hal” memberi Laura semacam pencerahan, tapi juga membuatnya merasa terpisah dari kenyataan penderitaan. Ia kembali ke dunia pesta dan kemewahan, merasakan kekosongan yang dalam.
Ini menggambarkan bagaimana kita seringkali memandang penderitaan orang lain secara objektif, mengubahnya menjadi cerita yang “bisa diterima” atau bahkan alat untuk membuat diri kita nyaman, tanpa benar-benar mencari tahu akar masalahnya.
“The Garden Party” mengingatkan kita bahwa dinding-dinding yang memisahkan kita—baik secara fisik maupun batin—seringkali jauh lebih kuat dari yang kita kira.
Cerpen ini menantang kita untuk merenungkan: Seberapa tulus empati yang kita miliki? Apakah kita berani mempertanyakan kebiasaan sosial yang membuat kita mengabaikan penderitaan orang lain?
Di tengah kesibukan hidup modern di Indonesia, di mana pamer kekayaan dan citra seringkali lebih penting daripada kenyataan, kisah Laura Sheridan menjadi sangat relevan.
Kita membutuhkan lebih dari sekadar “kebaikan” yang pura-pura atau “sumbangan” yang hanya sekadar melegakan hati.
Kita butuh keberanian untuk, seperti Laura, menghadapi kenyataan yang tidak nyaman, menembus ilusi, dan menyadari bahwa kebahagiaan sejati tidak bisa dibangun di atas ketidakpedulian.
Ini adalah ajakan untuk benar-benar keluar dari “pesta kebun” pribadi kita, memahami, dan berinteraksi dengan dunia di sekitar kita secara lebih jujur dan penuh kepedulian.
In English:
How Close Are We to Social “Wounds”? Lessons from The Garden Party
Have you ever felt uneasy or conflicted when you’re having fun while others nearby are suffering? It’s as if there’s an invisible wall separating our comfortable world from the harsh reality outside. The classic short story The Garden Party (1921) by Katherine Mansfield is not just a tale about a beautiful garden party—it is a sharp mirror that reflects social class differences, class perspectives, and the irony of our empathy. All of this is deeply relevant to what we experience in our everyday lives, even here in Indonesia. The story focuses on the wealthy Sheridan family, especially Laura Sheridan, an idealistic young girl with an artistic soul. It’s a perfect day for a garden party: the weather is bright, the flowers are in full bloom, and everything is going according to plan. But amid the luxury comes tragic news: a working-class man, their neighbor who lives in a “little cottage” down the hill, has died in an accident. This tragedy deeply unsettles Laura and opens our eyes to the reality of social inequality.
Mansfield cleverly portrays the stark contrast between social classes. The Sheridan house stands tall and “privileged,” while below it are “little dirty cottages.” The Sheridan children are even forbidden from going near that area due to the “disgusting language” and fear of “catching something.”
The narrator describes thes lum village as “the greatest eyesore” that seemingly “had no right to be in that neighborhood at all.” Even the smoke from the chimneys of the poor houses is described as “poor” and unlike the “great silvery plumes” that rise from the Sheridans’ chimney. This is not merely about wealth—it’s about worldview. For the Sheridan family, the people down the hill are “them”—a separate, insignificant group, relevant only as laborers or objects of fleeting pity. Their presence does not trouble the Sheridans; in fact, they are often viewed as an “embarrassment.” This phenomenon closely mirrors social conditions in Indonesia, where luxury housing complexes often stand right next to densely packed settlements. This physical distance often reflects a deep emotional and empathetic divide between different segments of society.
Laura, with her artistic sensitivity, earnestly wants to cancel the party. She feels it would be “heartless” to go on celebrating amid mourning. However, her idealism quickly clashes with the seemingly cruel pragmatism of her family. Her sister Jose firmly says: “Stop the garden party? My dear Laura, don’t be absurd. Of course we can’t do anything of the kind. Nobody expects us to. Don’t be so extravagant.” Even her mother, who at first appears supportive, distracts Laura by complimenting her hat and insists that “people like that don’t expect sacrifices from us.” This exchange illustrates the conflict between an individual’s moral conscience and social pressure. In Indonesia, we often witness similar situations: calls for empathy are frequently overridden by the demands of events, social image, or the belief that “they’re used to” suffering. This opinion piece can serve as a critique of how we, as a society, often prioritize “celebration” and “success” over genuine compassion for others.
What’s even more ironic is when Mrs. Sheridan has the “brilliant idea” of sending the leftover party food to the grieving family. This act, which at first glance appears kind, is actually a way to dispose of unused food while easing their own conscience. “It will be the greatest treat for the children. Don’t you agree?” she says. Laura is even asked to bring arum lilies because “people of that class are so impressed by arum lilies.” This is not honest empathy—it is a form of “kindness” driven by the desire to feel good about oneself and maintain appearances. As Laura approaches the mourning house, she feels “as though she were expected.” The sight of the still corpse, “far removed from everything,” gives Laura a kind of revelation—but also a sense of detachment from real suffering. She returns to the world of luxury and celebration with a deep emptiness. This illustrates how we often view others’ suffering from a distance, turning it into a narrative that’s easier to digest or even use as a tool for our own emotional comfort, without truly addressing the root causes.
The Garden Party reminds us that the walls separating us—both physically and emotionally—are often far stronger than we realize. This short story challenges us to reflect: How sincere is our empathy? Are we brave enough to question the social norms that lead us to overlook the suffering of others? Amid the hectic pace of modern life in Indonesia—where displays of wealth and curated images often take precedence over reality—Laura Sheridan’s story becomes especially relevant. We need more than just superficial “kindness” or token “donations” meant to ease our own guilt. We need the courage to, like Laura, face uncomfortable truths, break through illusions, and recognize that true happiness cannot be built on indifference. This is a call to step out of our own “garden party,” to truly understand, and to engage with the world around us with honesty and compassion.
*Ditulis Oleh: Nada Chryzelda, Mahasiswi Sastra Inggris, Universitas Pamulang.