Oleh: Saeful Haer
KABUPATEN Tangerang menjadi surga bagi ritel modern. Begitu kira-kira kalimat yang relatif tepat untuk memotret keadaan hari ini. Tidak begitu membutuhkan waktu lama, warga Tangerang bisa menghampiri. Sangat dekat. Betul-betul di depan mata.
Begitu menjamur. Setiap tikungan. Bahkan jumlahnya sulit dihitung. Alfamart & Indomaret merupakan dua perusahaan raksasa paling mudah ditemukan. Ada disetiap desa. Bahkan lebih dari satu. Sampai ada yang empat. Begitu luar biasa.
Keberadaanya tentu membantu masyarakat. Terutama soal kebutuhan sehari-hari. Kemudahan akses menjadi salah-satu alasan mengapa publik begitu menerima. Serba ada. Konsumen begitu dimanjakan. Apa yang dicari tersusun rapih dalam etalase. Mudah dan cepat mencarinya.
Waralaba memang menjadi semacam kebutuhan. Karena bukan saja menyediakan kebutuhan pokok. Jauh dari itu, juga menyuguhkan segala keperluan hajat hidup orang banyak. Apa saja ada. Mulai dari minuman sampai keperluan balita.
Selain positif tentu ada dampak lain dari menjamurnya toko modern, baik sekala mikro maupun makro. Kehadiran ritel modern bisa “membunuh” pedagang kecil. Ukuran pedagang dengan modal seadanya, pasti akan kalah. Terlebih tanpa disertai manajemen yang profesional.
Warung tradisional begitu terpukul dengan keberadaan perusahaan yang asetnya triliunan itu. Bahkan, tidak jarang, pedagang kecil gulung tikar karena “hantaman” Indomaret, Alfamidi, Toko Yan, Alfamart, dan yang serupa. Mereka hidup enggan mati tak mau. Betul-betul sekarat. Tentu oleh persaingan tidak sehat.
Padahal, Tangerang memiliki landasan yuridis. Berupa perda. Peraturan daerah nomor 14 tahun 2011. Aturan soal Penataan Toko Modern & Pembinaan Pedagang Kecil. Semua diatur. Setidaknya dalam dua aspek: penataan dan pembinaan. Dua kutub yang bersebrangan.
Dalam hukum positif yang dibuat oleh pemerintah daerah Kabupaten Tangerang itu, mengatur soal banyak hal. Mulai dari Jarak ritel satu dengan yang lain, aturan soal izin usaha, jarak ritel modern dengan pedagang tradisoonal, lokasi parkir, rekrutmen karyawan, sampai soal pembinaan pedagang kecil.
Jauh panggang dari api. Setelah membedah Perda tersebut, ternyata aturan dengan fakta tidak berbanding lurus. Ada banyak sekali pelanggaran. Bahkan pasal demi pasal terkesan tidak bertuah. Tumpul dan sama sekali tidak berarti.
Ditemukan tidak sedikit kejanggalan. Bahkan soal lemahnya penegakan aturan oleh pemerintah daerah Kabupaten Tangerang pun sangat tinggi. Ternyata, menjamurnya ritel modern, menabrak banyak persoalan. Alih-alih membantu masyarakat setempat, ternyata malah membuat ekonomi sekitar kian memburuk.
Warung kecil tidak bisa bertahan. Tidak berdaya melawan gempuran toko modern. Karyawannya bukan warga sekitar. Bahkan banyak yang enggan memberi kesempatan bagi UKM mengembangkan produknya. Tidak ada stand atau pojok bagi UKM Tangerang. Padahal aturannya begitu jelas. Pemerintah daerah betul-betul lalai soal pengawasan.
Potensi keberadaan ritel modern begitu besar. Selain pajak dan retribusi, juga dampak positif bagi warga sekitar. Harusnya pemerintah memiliki nilai tawar tinggi. Tentu digunakan untuk sebuah keberpihakan. Berpihak pada rakyat kecil. Agar kehadiran negara nyata adanya. Tidak samar.
Setiap satu toko modern sesunggunya bisa menyelesaikan masalah patologi sosial. Setidaknya bisa menyerap 15-30 warga sekitar. Mulai dari karyawan sampai soal pemberdayaan. Tapi ini belum dilakukan. Padahal sangat mudah. Asal ada keinginan. Dari dua belah pihak: pemerintah dan dunia industri.
Publik menaruh curiga, jangan-jangan ada semacam pembiaran. Mengapa pelanggaran begitu masif? Sedangkan pemerintah daerah tidak menindak. Apakah karena ada upeti? Atau memang kepemimpinan Zaki Iskandar tidak peduli rakyat kecil? Hanya pemerintah yang paham soal deretan pertanyaan ini.
Selanjutnya, soal penegakan aturan, masyarakat menduga sangat tumpul jika berhadapan dengan pemilik modal. Sebaliknya, tajam bagi rakyat kecil. Istilah ini betul-betul benar adanya. Bukan pemanis belaka.
Harus ada semacam action untuk bagaimana kemudian perda tersebut bisa optimal. Menjadi penengah atas persoalan yang sudah begitu kusut. Kehadiran waralaba memang penting. Jauh lebih penting menjaga dan membina pedagang kecil. Pemerintah daerah dan stakeholder harus memiliki goodwill soal yang satu ini.
Diskusi yang diselenggarakan Visi Nusantara begitu menarik. Membedah peraturan daerah yang berkaitan langsung dengan kebutuhan publik. Membaca ulang aturan yang sudah berlaku. Menilai efektifitasnya. Juga memberi catatan dan koreksi untuk perbaikan. Hasilnya bisa menjadi rekomendasi. Untuk perbaikan dan penyempurnaan.