Oleh: Akhmad Basuni
Baznas merupakan lembaga yang dibentuk Pemerintah berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 8 Tahun 2001 yang memiliki tugas dan fungsi menghimpun dan menyalurkan zakat, infaq, dan sedekah (ZIS) pada tingkat nasional.
Sementara tingkat daerah dibentuk atas usulan gubernur/bupati/walikota sesuai tingkatan kewilayahan kepada Badan Bimbingan Penyuluhan Islam.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat semakin mengukuhkan peran Baznas sebagai lembaga yang berwenang melakukan pengelolaan zakat secara nasional.
Dalam UU tersebut, Baznas dinyatakan sebagai lembaga pemerintah nonstruktural yang bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Agama.
Salah satu misi Baznas adalah mengoptimalkan pendistribusian dan pendayagunaan zakat untuk pengentasan kemiskinan, peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan pemoderasian kesenjangan sosial.
Peran Utama Baznas
Pertama , peran moderasi kesenjangan sosial yang dapat dilakukan oleh zakat tampak secara konkret dalam distribusi harta dari para wajib zakat (muzaki) kepada orang yang berhak menerima zakat (mustahik), dengan amil zakat sebagai perantara.
Dengan distribusi harta non-transaksional ini, zakat secara teoritik dapat mengurangi kesenjangan kemakmuran antara golongan kaya dan golongan miskin.
Implementasi zakat secara benar diyakini dapat mengurangi ketimpangan ekonomi yang ada selama ini.
Kedua , peran kebangkitan ekonomi kerakyatan merupakan agenda zakat yang secara bahasan bermakna tumbuh dan berkembang.
Penyaluran zakat kepada mustahik memiliki agenda untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam mencukupi kebutuhan hidupnya, baik dalam bentuk pendistribusian zakat bersifat karitatif maupun pendayagunaan zakat yang bersifat produktif.
Memberdayakan mustahik merupakan agenda memberdayakan ekonomi masyarakat miskin, membangkitkan ekonomi kerakyatan.
Ketiga , zakat memiliki peran dalam mendorong munculnya model terobosan dalam pengentasan kemiskinan.
Program penanggulangan kemiskinan yang ada selama ini merupakan program belas kasih dari pemerintah kepada orang-orang miskin.
Program tersebut sangat bergantung pada keberpihakan pemerintah dalam upaya peningkatan keadilan dan kesejahteraan sosial.
Berbeda dengan zakat yang merupakan syariat wajib yang harus ada dalam kehidupan.
Dengan demikian, zakat memiliki kerangka filosofi yang lebih jangka panjang dan dengannya diharapkan mampu mendorong munculnya model terobosan dalam pengentasan kemiskinan yang berkelanjutan.
Keempat , zakat merupakan sumber pendanaan pembangunan kesejahteraan umat di luar APBN maupun APBD.
Jika selama ini program penanggulangan kemiskinan sangat bergantung pada kucuran dana pemerintah, maka sejatinya, ummat Islam di Indonesia memiliki potensi dana 286 triliun rupiah setiap tahunnya yang dapat dipergunakan secara spesifik bagi kelompok orang yang tidak berdaya dalam 8 ashnaf (kategori) mustahik.
Jika dapat dioptimalkan, maka potensi dana zakat ini dapat menjadi pelengkap agenda program penanggulangan kemiskinan dengan sinergi pada program pemerintah yang sedang dijalankan.
Namun, ada sejumlah tantangan yang menghambat pengelolaan zakat di Indonesia hari ini.
Pertama , kesadaran masyarakat untuk berzakat masih relatif rendah. Kondisi ini ditambah dengan kewajiban zakat masih bersifat sukarela dalam tata peraturan perundang-undangan di Indonesia. Kedua, ada fenomena umum bahwa masyarakat cenderung menunaikan zakat secara langsung kepada mustahik. Ketiga, kepercayaan masyarakat kepada lembaga pengelola zakat masih rendah.
Semua faktor tersebut memberikan pengaruh terhadap rendahnya angka pengelolaan zakat yang dilakukan oleh Baznas, baik dari pusat maupun daerah, juga LAZ dari potensi zakat yang tersedia.
Penutup
Mengingat kedudukan, peran, dan tantangan Baznas kedepan. Maka diperlukan pemimpin visioner.
Baznas hendaknya dimanage dengan semangat zaman yang menghendaki dinamisasi agar visi misi Baznas yang dicanangkan oleh pusat sebagai guide bisa direalisasikan .
Baznas daerah tidak semata memberikan ikan melainkan memberikan “pancing”. Sehingga mal (harta) yang dititipkan muzaki (orang yang berzakat) memiliki daya manfaat maksimal.
Dengan memberikan “pancing” tadi, mata rantai kemiskinan lambat laun bisa terurai.
Masuk kategori pemberian pancing dalam hal ini adalah memberikan edukasi penguatan ekonomi dan ketahanan pangan.
Baznas kabupaten bisa bekerja sama dengan kelompok tani atau membentuk kelompok tani (prasejahtera) untuk menggarap tanah yang mati menjadi produktif.
Di Kabupaten Tangerang misalnya, masih begitu luas tanah yang terlantar. Melalui koordinasi baik dengan pemerintah daerah dan perusahaan pemilik tanah, tentu lahan tersebut bisa digunakan sebagai lahan pertanian walaupun hanya bersifat sementara.
Disamping pemberdayaan ekonomi, Baznas juga perlu memberikan program beasiswa. Program tersebut diperuntukan bagi mereka anak kurang mampu dan berprestasi agar bisa menikmati pendidikan ke jenjang perguruan tinggi.
Hanya dengan pemerataan pendidikan sesungguhnya obat ampuh untuk memutus mata rantai kemiskinan khususnnya di Kabupaten Tangerang.
Untuk itu siapapun yang terpilih dan diusulkan oleh pemerintah daerah, hendaknya bisa menciptakan Baznas ideal. Sehingga keberadaannya tidak hanya sebagai pelengkapan administratif perangkat daerah semata. Semoga.
*Penulis adalah Ketua Lakpesdam-NU Kabupaten Tangerang