spot_img

Kampanye Kotak Kosong Pilkada Tangerang


wahyudin arief

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan proses kedaulatan rakyat di tingkat lokal. Ia diatur berdasarkan pasal 18 ayat 4 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilihan Kepala Daerah merupakan hak konstitusional seluruh warga negara Indonesia.

Pada Pilkada serentak tahun 2018, sebanyak 171 daerah akan berpartisipasi pada ajang pemilihan kepala daerah. Dari sekian banyak itu, diaantaranya, 17 Provinsi, 39 Kota, dan 115 Kabupaten. Semuanya akan menyelenggarakan Pilkada 27 Juli mendatang, termasuk Kabupaten Tangerang di dalamnya.

Saat ini perhelatan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Tangerang tengah memasuki tahap akhir pendaftaran. Namun, satu catatan penting dalam penyelenggaraan Pilkada kali ini ialah potensi calon tunggal cukup besar. 12 partai politik mendukung perahana.

Hal ini ditandai dengan banyak penampakan baliho-baliho disepanjang jalan serta banyak beredar kabar dimedia masa bahwa pasangan yang maju pada pemilihan Bupati dan Wakil Bupati hanya pasangan Ahmad Zaki Iskandar-Mad Romli. Duet ini nampaknya tidak ada penantang.

Fenomena calon tunggal pada Pilkada bukanlah suatu hal yang asing dan baru, pasalnya pada pemilihan serentak tahun sebelumnya saja ada beberapa daerah yang melaksanakan dengan calon tunggal. Ini artinya, proses pesta demokrasi melalui pemilihan dengan calon tunggal atau hanya satu kandidat saja bukan berarti tidak mungkin untuk tetap dilaksanakan.

Karena berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 100/PUU-XIII/2015, calon tunggal tetap bisa mengikuti pilkada. Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) akan menyediakan kertas suara dengan kolom pernyataan “Setuju atau “Tidak Setuju” yang bisa sicoblos oleh masyarakat.

Apabila kolom “Setuju” lebih banyak maka pasangan calon akan ditetapkan sebagai kepala daerah terpilih. Jika ternyata kolom “Tidak Setuju” lebih banyak, maka pelaksanaan pilkada akan ditunda.

Ironi Demokrasi

Jika Pilkada Kabupaten Tangerang memang hanya diikuti oleh satu kandidat saja atau bumbung kosong (red: calon tunggal), ini merupakan suatu indikasi dari ironi demokrasi. Alasannya lantaran sejumlah partai politik enggan mengusung jagoannya dalam kontestasi pesta demokrasi.

Partai politik dianggap telah abai menjalankan fungsinya dalam merekrut dan mencalonkan kadernya. Karena fungsi partai politik, selain memberikan pendidikan politik kepada masyarakat juga untuk memberikan kepastian bahwa kader-kadernya bisa mendusuki posisi strategis, termasuk dalam hal ini menyiapkan kader terbaiknya untuk menjadi pempimpin di daerah.

Selain itu, fenomena calon tunggal ini lahir disebabkan mahalnya mahar yang diajukan oleh partai pengusung. Logika sederhanya, jika ada calon petahana yang kuat, maka calon lain akan berkalkulasi secara rasional. Daripada persentase kemenangan kecil, lebih baik mengurungkan niat untuk menjadi calon. Karena untuk menjadi calon saja mereka sudah harus membayar mahar.

Sehingga Pilkada dengan calon tunggal menandakan tidak adanya kompetisi, padahal semakin banyaknya calon yang bersaing, maka kualitas demokrasi akan semakin baik. Mulai dari debat kandidat, penyampaian visi-misi, hingga masyarakat yang mendukung kandidat tersebut akan ikut serta merayakan pesta demokrasi.

Implikasi Calon Tunggal

Banyak faktor yang menyebabkan munculnya calon tunggal. Bila kita berpikir positif, mungkin saja calon yang paling layak memang hanya calon tersebut. Sedangkan untuk petahana, bisa saja dibumbui dengan program kerja pada periode sebelumnya dianggap berhasil. Atau jika ingin jujur, mungkin para elit partai sudah kadung nyaman dengan petahana.

Namun, jika kita dilihat dari kacamata skeptis, kita patut mempertanyakan praktik demokrasi seperti apa yang hendak dilaksanakan oleh politisi daerah? Putusan MK tentang calon tunggal sejak awal memang tidak menutup mata terhadap kemungkinan akan melahirkan liberalisasi para pemilik modal untuk menyokong partai politik agar hanya mencalonkan satu kandidat saja. Sehingga, dengan cara itu kemenangan akan dapat mudah diraih.

Pada hakikatnya, Pilkada harus memberikan pilihan bagi masyarakat untuk memilih pemimpin yang mempunyai visi-misi yang dibutuhkan bagi daerahnya melalui kontestasi yang baik, jujur dan transparan. Karena kekuasaan bukanlah tujuan, melainkan alat untuk melaksanakan visi-misi guna mensejahterakan masyarakatnya.

Calon tunggal sesungguhnya bukan kehendak rakyat, ia adalah keinginan segelintir elit parpol pengusung. Jika dihadirkan secara berimbang, “Kotak Kosong” tidak mustahil akan menang. Dan hal ini pernah dibuktikan pada salah satu daerah di Jawa.

KPUD Tangerang harus memberikan ruang bagi civil society untuk mengkapanyekan “Kotak Kosong” sebagai manifestasi dari kampanye-kampanye ketidaksetujuan. Baik yang setuju maupun tidak harus diberikan porsi yang sama.

Gerakan memilih kotak kosong bisa menjadi model baru perlawanan terhadap petahana yang sejak awal dinilai sudah mencederai demokrasi. Merajut simpul, menyuarakan bersama bahwa memilih atau mencoblos kolom “Tidak Setuju” adalah pilihan benar. Ini bisa terus digaungkan.

Oleh: Wahyudin Arief

Loading

VINUS TV

BERITA TERBARU

IKLAN

spot_img
spot_img

BERITA TERPOPULER

IKLAN

spot_img

BERITA TERKAIT

Ikon Kartini dan Pemanjaan Belanda

Mantra Kepemimpinan Dedi Mulyadi

Jebakan Nostalgia Media Sosial

Bahlil dan Polemik Gas Melon

IKLAN

spot_img

SEPUTAR BANTEN

IKLAN

spot_img

SEPUTAR DESA

Masyarakat Pasir Bolang Demo Alfamart